Saya mendengarkan dengan saksama saat Om Rudi melanjutkan, "Misalnya, pendamping profesional didorong untuk sertifikasi dan peningkatan kapasitas mandiri. Itu penting supaya mereka punya standar kerja yang jelas. Lalu, Gus Halim juga membangun jenjang karier, fokus penerimaan hanya untuk Pendamping Lokal Desa (PLD), dan kinerja mereka diukur dengan aplikasi. Kalau mau profesional, ya begitu caranya."Â
"Jadi, kenapa penting hanya menerima PLD?" tanya saya, ingin tahu lebih dalam.Â
Om Rudi mengangguk mantap. "Karena biaya pelatihan dan peningkatan kapasitas itu nggak murah, Cah Bagus. Kalau terus menerima orang baru, mereka butuh waktu lama untuk memahami desa dampingan. Padahal, desa itu punya karakteristik unik. Gus Halim sudah meletakkan dasar yang baik. Jangan sampai ini tidak diteruskan."Â
Saya mencatat poin pentingnya dalam kepala, lalu menambahkan, "Seperti Presiden Prabowo, ya, yang komit meneruskan hal baik yang sudah dimulai Presiden Jokowi?"Â
"Persis," kata Om Rudi sambil tersenyum. "Pak Prabowo paham pentingnya kesinambungan. Menteri Desa juga harus begitu."Â
Kami berbincang hingga sore, ditemani secangkir lagi Kopi Mamaku Lampung. Pembicaraan ini bukan hanya soal kopi, tapi tentang bagaimana desa-desa di Indonesia bisa bangkit dan mandiri. Saat kami berpisah, saya merasa ada semangat baru untuk terus memperjuangkan desa dan pendampingnya.Â
Di luar kedai, Jakarta mulai sibuk dengan lampu-lampu kendaraan yang menyala seperti kunang-kunang. Tapi di kepala saya, cerita tentang pendamping desa dan secangkir kopi tetap hangat, mengingatkan bahwa di balik setiap perjuangan, selalu ada potensi besar yang menunggu untuk diwujudkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H