Mohon tunggu...
Suryokoco Suryoputro
Suryokoco Suryoputro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Desa - Kopi - Tembakau

Berbagi pandangan tentang Desa, Kopi dan Tembakau untuk Indonesia. Aktif di Organisasi Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Koperasi Komunitas Desa Indonesia, Komunitas Perokok Bijak, Komuitas Moblie Journalis Indonesia dan beberapa organisasi komunitas perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengenal Politik Kecil dan Politik Besar Istilah Mbah Manten

5 Januari 2025   07:12 Diperbarui: 5 Januari 2025   07:12 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit malam menyelimuti lereng Gunung Garuda, tapi di beranda rumah Mbah Manten, percakapan kami terus mengalir hangat. Kopi hitam sudah tinggal ampas, dan rokok lintingan Mbah Manten tinggal separuh, tapi semangatnya untuk bicara soal desa tidak berkurang.

"Mbah," tanya saya, melanjutkan obrolan, "kalau Presiden Prabowo tegas, kira-kira dia harus seperti apa menangani menteri-menterinya, terutama menteri desa?"

Mbah Manten terdiam sejenak, mengembuskan asap rokok ke udara. Lalu ia berkata dengan nada tegas, "Cah Bagus, kalau Presiden Prabowo mau berhasil, dia harus belajar dari Pak Harto. Dulu Pak Harto tahu betul kapan bicara soal politik Kecil dan kapan bicara politik besar. Nggak pernah tercampur. Kalau soal politik kecil partai, ya dibicarakan di Cendana. Tapi kalau bicara politik besar pemerintah ya di Istana, dan pak Harto banyak bicara politik besar sebagai seorang presiden jadi fokus kesejahteraan rakyat desa, petani dan nelayan"

Saya mengangguk, menyetujui pendapatnya.

"Presiden Prabowo juga harus bisa tegas ke menterinya. Jangan sampai menteri desa sibuk urusan partai atau gaya-gayaan saja. Harus fokus ke desa, sesuai amanahnya," lanjut Mbah Manten.

Saya menyelipkan pertanyaan, "Kalau soal menteri desa, Mbah, apa yang harus menteri lakukan supaya benar-benar bermanfaat?"

Mbah Manten tertawa kecil, lalu menyampaikan pendapatnya. "Cah Bagus, menteri desa itu harus belajar dari Pak Harto juga. Dulu, ada program Kelompencapir dan Temu Wicara. Itu cara Pak Harto mendengar langsung dari rakyat, terutama petani dan masyarakat desa. Bedanya, sekarang harus dibuat kekinian, pakai digital."

Saya penasaran. "Maksudnya gimana, Mbah?"

Mbah Manten mengangguk sambil tersenyum. "Sekarang kan sudah era digital. Jangan pakai cara kuno lagi. Buat platform digital untuk komunikasi langsung dengan warga desa, biar cepat, hemat anggaran, dan langsung tepat sasaran. Nggak perlu gaya kolonial, keliling desa, ngantor di sana. Itu buang-buang waktu dan biaya. Desa butuh solusi nyata, bukan formalitas."

Mbah Putri, yang sedang menyelesaikan pekerjaannya di dapur, menyahut sambil tersenyum. "Betul itu, Cah Bagus. Kalau menterinya cuma keliling desa untuk pamer atau foto-foto bikin video tiktok, kapan selesainya urusan desa?"

Saya tertawa kecil. "Tapi kan, Mbah, ngantor di desa itu supaya menteri bisa lebih dekat ke rakyat."

Mbah Manten kembali tertawa, kali ini keras hingga tubuhnya berguncang. "Hahaha! Cah Bagus, ini era digital milenial, bukan zaman kolonial, tradisonal, konvesional. Kalau mau dekat ke rakyat, pakai teknologi. Bisa video call tiap pagi, temu wicara online, bikin pengaduan pakai WhatsApp atau aplikasi khusus untuk desa. Lebih efektif dan efisien. Ngantor di desa itu cuma buang anggaran, belum lagi bikin repot perangkat desa yang harus siap-siap menyambut. Akhirnya, waktu habis buat protokoler, bukan untuk kerja nyata."

Saya mengangguk, menyadari betapa masuk akalnya pendapat Mbah Manten.

"Intinya, Cah Bagus," lanjutnya dengan nada lebih serius, "desa itu butuh perhatian, bukan sekadar pencitraan. Presiden dan menteri harus benar-benar mengutamakan kepentingan desa, bukan partai atau urusan pribadi. Kalau nggak begitu, desa cuma jadi alat politik, nggak pernah jadi kuat seperti yang kita cita-citakan dulu."

Malam semakin larut, dan saya tahu waktunya untuk pamit. Sebelum pergi, Mbah Manten menatap saya dengan pandangan penuh makna.

"Cah Bagus, kamu ini generasi yang paham teknologi. Jangan biarkan desa ketinggalan zaman. Desa itu harus maju, tapi tetap dengan cara yang bijak. Kalau ada yang salah, kamu harus berani bicara. Jangan diam."

Saya menjabat tangannya, merasakan semangat yang masih menyala meski usianya sudah 70-an. "Terima kasih, Mbah. Saya akan terus ingat pesan-pesan Mbah."

Di perjalanan pulang, suara gemercik air terjun dan hembusan angin malam menemani saya. Pikiran saya penuh dengan ide-ide besar Mbah Manten, yang meski sederhana, terasa begitu visioner. Mungkin, benar kata beliau, desa tidak butuh formalitas---desa hanya butuh perhatian yang tulus dan solusi yang nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun