Mbah Manten kembali tertawa, kali ini keras hingga tubuhnya berguncang. "Hahaha! Cah Bagus, ini era digital milenial, bukan zaman kolonial, tradisonal, konvesional. Kalau mau dekat ke rakyat, pakai teknologi. Bisa video call tiap pagi, temu wicara online, bikin pengaduan pakai WhatsApp atau aplikasi khusus untuk desa. Lebih efektif dan efisien. Ngantor di desa itu cuma buang anggaran, belum lagi bikin repot perangkat desa yang harus siap-siap menyambut. Akhirnya, waktu habis buat protokoler, bukan untuk kerja nyata."
Saya mengangguk, menyadari betapa masuk akalnya pendapat Mbah Manten.
"Intinya, Cah Bagus," lanjutnya dengan nada lebih serius, "desa itu butuh perhatian, bukan sekadar pencitraan. Presiden dan menteri harus benar-benar mengutamakan kepentingan desa, bukan partai atau urusan pribadi. Kalau nggak begitu, desa cuma jadi alat politik, nggak pernah jadi kuat seperti yang kita cita-citakan dulu."
Malam semakin larut, dan saya tahu waktunya untuk pamit. Sebelum pergi, Mbah Manten menatap saya dengan pandangan penuh makna.
"Cah Bagus, kamu ini generasi yang paham teknologi. Jangan biarkan desa ketinggalan zaman. Desa itu harus maju, tapi tetap dengan cara yang bijak. Kalau ada yang salah, kamu harus berani bicara. Jangan diam."
Saya menjabat tangannya, merasakan semangat yang masih menyala meski usianya sudah 70-an. "Terima kasih, Mbah. Saya akan terus ingat pesan-pesan Mbah."
Di perjalanan pulang, suara gemercik air terjun dan hembusan angin malam menemani saya. Pikiran saya penuh dengan ide-ide besar Mbah Manten, yang meski sederhana, terasa begitu visioner. Mungkin, benar kata beliau, desa tidak butuh formalitas---desa hanya butuh perhatian yang tulus dan solusi yang nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H