Mohon tunggu...
Retno Suryani
Retno Suryani Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis untuk mengikat kenangan

Konsultan Lingkungan, Senang bertemu masyarakat dan anak-anak, Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Alamanda di Balik Jendela

27 Januari 2025   20:08 Diperbarui: 27 Januari 2025   20:08 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga Alamanda (Sumber : Dokumentasi Penulis) 

        Hamparan tanah luas itu penuh oleh tanaman alamanda. Ya, pohon demi pohonnya berbentuk semak dengan batang ramping dan bercabang banyak. Daun daunnya nan lebat berbentuk lonjong dengan ujung meruncing bewarna hijau gelap mengkilap. Dan bunganya yang indah berbentuk terompet dengan lima kelopak besar nan halus bewarna kuning cerah. Bagi banyak orang, alamanda mungkin memang bukanlah bunga istimewa. Ia tak seharum melati atau semahal lili. Ia juga tak pernah ada dalam buket-buket bunga sebagai penanda romantisme dunia. Namun, aku selalu jatuh cinta dengan alamanda. Ya, aku jatuh cinta dengan alamanda yang selalu mudah tumbuh lebat dan indah di taman atau pekarangan.

       Seekor kupu-kupu dengan kedua sayap bewarna biru langit hinggap di salah satu bunga alamanda yang berukuran besar, menarik perhatianku. Aku pun melangkah mendekatinya. Menyentuh hati-hati ujung kelopak alamanda itu.


"Hai, apakah kamu tidak mengenaliku? Aku adalah alamanda yang hari-hari ini selalu kamu tatap dari balik jendela kaca itu."

       
        Aku bergerak mundur penuh rasa kaget seperti hendak melompat. Kupu-kupu cantik itu pun terbang karena terusik oleh gerakan tubuhku. Jantung ku berdebar kencang menyaksikan bunga alamanda yang ada di depanku itu dapat berbicara. Dengan hati-hati aku mendekatinya lagi.

            "Kamu...kamu dapat berbicara?", bisikku lirih

            "Tentu saja. Aku dapat berbicara sepanjang kamu mau mendengarkannya."

            Aku masih menatap takjub bunga alamanda yang ada di depanku itu. Seolah tak percaya bahwa ia dapat berbicara.

            "Hari-hari ini aku selalu melihatmu di balik jendela kamar nomor tiga itu. Matamu selalu sembab. Bahkan beberapa kali aku melihatmu menatapku dengan menangis. Namun pagi ini aku melihatmu menatapku dengan wajah lebih tenang. Bahkan pagi ini aku melihatmu menatapku dengan senyum saat orang-orang membawamu pergi ke ruang di ujung timur itu."

            Aku menghela nafas pelan. Aku berusaha mengatur nafasku supaya jauh lebih tenang.

            "Hari-hari ini mataku sembab karena menangisi sakitku. Hari-hari ini aku sedih karena merisaukan masa depanku sebagai seorang perempuan. Kau tahu? Aku sangat mencintai anak-anak. Aku sangat ingin menjadi seorang ibu yang hebat. Namun dokter bilang mungkin aku akan kehilangan satu atau bahkan dua ovariumku. Dokter bilang mungkin aku tidak akan bisa menjadi seorang ibu."

            "Setiap saat aku menangis merayu Tuhan. Setiap saat aku meminta setiap orang yang kukenal untuk membantuku berdoa. Setiap saat aku bertanya kepada Tuhan, mengapa harus ini ujianku? Namun tadi pagi, saat tiba jadwalnya operasi, aku justru merasa tidak seharusnya memaksa Tuhanku. Tadi pagi saat kau melihatku tersenyum, aku sedang berbisik pada Tuhanku kalau aku berusaha rela menerima apapun mau-Nya"

            "Lihatlah daunku yang kering dan gugur itu. Bahkan waktu jatuhnya pun tidak pernah tentang kebetulan, tapi sebuah ketentuan. Apalagi hidupmu. Apalagi hari-harimu esok. Tak perlu risau. Tugas kita memang hanya menerima dan menjalani setiap saat dengan upaya terbaik. Kita hanya perlu meyakini bahwa keadilan dari ketetapan-Nya berjuta bentuknya."*

         
            Tarikan kuat yang memaksa lepas jarum di punggung tangan kiri membuatku sadar meski masih dalam mata terpejam. Belum habis rasa nyerinya, kini sebuah jarum baru kembali menusuk tajam dipunggung tangan kiri dan menancap kokoh di pembuluh venaku. Sayup-sayup aku pun mendengar potongan demi potongan percakapan orang-orang di sekitarku.

            "Jarum dan selang infusnya sudah diganti yang lebih besar untuk transfusi darah dok"

            "Iya, kita harus lebih cepat selesai sebelum pasien bangun. Kasihan tubuhnya sudah menggigil kedinginan."

            Meski tidak jelas, potongan demi potongan percakapan itu membuatku paham bahwa saat ini aku masih berada di ruang operasi. Ya, operasi itu ternyata belum selesai. Terakhir yang kuingat tadi, dokter Hanan mengajakku bicara ringan sebelum akhirnya menyuntik bius spinal di tulang belakangku. Perawat kemudian membaringkanku. Dan dari kaca yang ada di atas meja operasi, aku dapat melihat dengan jelas mereka menuang cairan betadine di atas perutku. Aku pun berteriak ketakutan dan meminta untuk dibuat tidur. Mengingat itu semua membuatku bergidik nyeri. Aku pun memaksa kedua mataku tetap terpejam. Aku tidak akan sanggup kalau membuka mata lalu menyaksikan mereka sedang membuka perutku. Dan alamanda yang berbicara, ah rupanya itu hanya bunga tidur.

            "Dokter Pram, kira-kira darimana ya pendarahan dalam ini terjadi? Saya masih penasaran."     "Benar Dokter Haris. Kita perlu berdiskusi lagi nanti ya setelah ini. Ah ya Dokter Haris saja yang menjahit, supaya lebih rapi."

            Potongan demi potongan percakapan itu terdengar kembali. Ah sepertinya sekian menit tadi aku tertidur lagi. Ya, itu suara dokter Pramana, dokter Obgyn, dan dokter Haris, dokter bedah umum, yang diminta dokter Alif untuk menanganiku. Apa katanya? Menjahit? Operasi ini akan segera selesai artinya.

            "Ini adalah apendiks dan kista pasien. Tolong dibawa untuk di uji di laboratorium."

            "Oh iya dok. Ovariumnya mana?"

            Ingin sekali aku mendengar jawaban atas pertanyaan perawat itu. Namun, obrolan mereka pelan sekali. Aku tak dapat mendengar dengan jelas. Hatiku pun mencelos. Rasanya sesak sekali. Berapa ovariumku yang mereka angkat? Satu? Keduanya? Benteng ikhlas yang kubangun tinggi-tinggi tertelikung oleh perasaanku sendiri. *

           
            Hari itu hari ke empat aku dirawat. Aku menyambut kunjungan dokter Alif ke ruang rawatku dengan semangat. Aku ceritakan jika perutku sudah tidak lagi nyeri. Aku ceritakan jika tubuhku sudah kuat lagi. Dan aku meminta untuk lekas diizinkan pulang. Di kepalaku berisi penuh rencana-rencanaku yang telah tertunda. Aku tidak sabar untuk kembali masuk kantor yang menerimaku dua bulan lalu. Ya, sebuah perusahaan ternama yang selama ini masuk sebagai salah satu daftar mimpiku. Aku juga ingin segera ke kampus untuk kembali meresume jurnal, menjadi asisten penelitian dosenku. Akhir pekan nanti aku pun ingin ke kampung seni, bertemu masyarakat binaanku, melanjutkan proyek pemberdayaan yang ditugaskan dosenku. Dan yaa aku akan segera sempatkan ke SMA ku dulu, melanjutkan persiapan lomba debat yang akan diikuti adik-adikku. Namun pagi itu justru menamparku dengan kenyataan yang menyakitkan. Ya, keyakinanku sudah sembuh pun luruh bagai daun kering yang tertiup angin.

            "Hasil USG ini tidak baik-baik saja. Ada kista ovarium. Ada apendiksitis atau peradangan pada usus buntu. Setelah ini diantar perawat untuk bertemu dokter Pramana dan dokter Haris ya. Mungkin akan dijadwalkan operasi bersama."

            Demi mendengar semua penjelasan itu, kedua mataku pun berkaca. Satu demi satu air mata jatuh. Semakin diusap, semakin sering ia berdenting membasahi pipi. Tidak terisak. Hanya tangisan sunyi yang nyeri.

            "Kista di ovarium kamu sudah sangat besar. Harus segera dioperasi. Hasil laboratorium juga menunjukkan kadar haemoglobin kamu sangat rendah. Hanya 5 dari normal minimal 10. Ini menunjukkan telah terjadi pendarahan dalam. Ini sangat berbahaya."

            Tangisan sunyiku berubah menjadi terisak tatkala mendengar setiap kalimat dari dokter Pramana. Kista ovarium. Operasi. Rasanya belum habis air mataku setiap malam menangisi kondisi Amira, adik semata wayangku, yang harus kehilangan salah satu ovariumnya karena operasi pengangkatan kista dua tahun lalu. Mengapa Tuhan? Mengapa harus ujian yang sama bentuknya?

            "Dokter, saya belum menikah. Apa itu artinya saya akan kehilangan ovarium saya? Apa itu artinya saya tidak akan bisa menjadi seorang ibu?", kalimat itu akhirnya meluncur meski dengan terbata-bata.

            Dokter Pramana menghela nafas. Ia menatapku prihatin. Pun begitu dengan perawat yang mendorong kursi rodaku.

            "Tidak semua operasi kista akan disertai pengangkatan ovarium. Pun harus dilakukan pengangkatan, seorang perempuan akan tetap bisa hamil meski hanya memiliki satu ovarium. Apakah operasi ini sampai mengangkat ovarium? Hanya satu atau keduanya? Dari hasil USG ini memang kista berada pada dua ovariummu. Namun, semua tetap bergantung pada kondisi saat operasi nanti. Suka atau tidak suka, operasi ini harus tetap dijalankan. Tidak ada cara lain untuk menghentikan pendarahan dalam yang terjadi."

            Kalimat dokter Pramana itu sangat jelas. Dua ovariumku sakit. Aku terdiam. Dada terpenuhi oleh rasa sesak. Air mata itu jatuh demikian derasnya. Aku menangis terisak.

            "Dokter, sungguh saya ingin menjadi seorang Ibu dok."

            "Mbak, sekarang bukan saatnya memikirkan tentang itu. Sekarang yang harus difikirkan adalah keselamatan nyawamu. Meski secara fisik kamu tampak baik-baik saja, kondisimu secara medis saat ini kritis. Berdoa ya semoga Tuhan memberikan pertolongan." 

            Hari-hari selanjutnya berjalan amat lambat. Dokter pun memindahkanku ke ruang isolasi. Alat demi alat itu, satu per satu kokoh dipasang di tubuhku. Selang demi selang itu sempurna mengukung gerakku. Dan demi meningkatkan haemoglobin pada batas aman yang disyaratkan sebelum operasi, lima kantung darah pun ditransfusikan kepadaku. Kondisi psikisku terguncang cukup hebat. Seringkali aku menangis histeris seorang diri di ruang rawat.  

            Setiap jam kunjungan tiba, kamarku tidak pernah sepi. Selalu penuh riuh ramai. Kepala ruangan memberikan kebijakan khusus demi memastikan kondisiku stabil. Ya, ia mengizinkan setiap tamu yang datang untuk bertemu denganku. Memastikan support moral itu terus mengalir dengan derasnya. Keluarga, rekan kantor, bapak ibu dosen, bapak ibu guru, sahabat, kakak juga adik tingkat, bahkan masyarakat binaanku. Mataku selalu dibuat mengembun haru dengan setiap potong doa dan harapan mereka.

            Dan bilamana sepi menghampiri, aku selalu mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Di balik jendela kamar rawatku, tumbuh banyak alamanda. Dari ranjangku, aku dapat melihat bunga alamanda yang berwarna kuning cerah itu bercanda akrab dengan angin. Dahannya yang ramping juga daunnya nan lebat bergoyang riang. Daun demi daunnya nan kering jatuh dengan rela tertiup angin. Sesekali, aku melihat bunga yang elok itu menjadi layu, digantikan kuncup yang mekar. Kadangkala, aku pun dapat melihat tangan-tangan jahil memaksa bunga itu lepas dari tangkainya. Menatap alamanda lama-lama dari balik jendela itu selalu menjadi pelipur lara.*

           
          Hari telah siang saat dokter Pramana berkunjung ke kamar rawatku. Itu adalah pertemuanku pertamaku dengan dokter Pramana setelah proses operasi terlalui. Masih ada tiga belalai plastik yang terpasang pada tubuhku. Cairan infus ringer laktat menetes pasti melalui selang yang berpenghujung jarum di telapak tangan kiri. Sementara dua belalai lainnya adalah selang kateter urin serta drain darah yang masih menancap kokoh di perut kananku. Kondisiku jauh lebih baik. Jauh lebih fit meski luka bekas sayatan operasi sepanjang 15 cm di perut masih menyisakan nyeri.

            "Bagaimana kondisi hari ini mbak? Sudah lebih baik kan?", kata dokter Pramana sambil tersenyum.

            Aku mengangguk penuh senyum. Jauh di lubuk hati aku ingin bertanya banyak hal kepada dokter Pramana. Aku ingin tahu tentang operasi pengangkatan kistaku. Namun, aku terlalu takut untuk mendengar kenyataannya. Aku pun memilih diam, menunggu penjelasan datang sendiri dari dokter Pramana.

            "Oh iya operasi kemarin hanya mengangkat kista. Ovariumnya masih utuh. Kondisinya masih baik. Hasil analisis laboratorium juga menunjukkan tidak ada indikasi keganasan."

           Tubuhku terpaku mendengar semua penjelasan dokter Pramana. Rasanya lidahku amat kelu. Tatapanku menyiratkan rasa tidak percaya. Benarkah? Bagaimana bisa?

          "Dokter tidak bercanda kan?", sahutku lirih hampir tak bersuara

         "Selamat ya, Tuhan begitu baik denganmu. Pertolongan-Nya demikian nyata. Lekas pulih dan jaga kesehatan ke depan ya.", kata dokter Pramana sambil menepuk pelan bahuku dan beranjak keluar ruangan

         Tes. Air mata itu kembali jatuh. Bukan sedih. Siang ini air mata haru. Air mata bahagia. Menangis sepi. Tidak terisak.

        Aku mengalihkan pandangan ke balik jendela. Diluar sana, tanaman alamanda sedang bercanda riang dengan angin siang. Aku menatapnya lekat-lekat. Selalu indah dan memikat. Percakapanku dengannya saat tidak sadar tempo hari pun kembali datang membayang. Masih segar dalam ingatan, potongan-potongan kalimat yang diucap bunga alamanda itu.

        "Dalam hidup ini, kadang definisi kuat tidak selalu harus tentang bersikeras mengupayakan, adakalanya definisi kuat itu adalah menerima dengan baik segala hal yang terjadi. Kadangkala kita tidak akan memperoleh saat kita mati-matian memperjuangkannya. Namun, kita justru memperolehnya saat berserah, saat menerima ketetapan-Nya dan meyakininya itu yang terbaik. Hidupmu bagai daunku juga bungaku yang jatuh tanpa terlepas dari ketetapan-Nya. Teruslah berdoa teruslah berbuat baik. Karena doa-doa kita bertarung dengan segala ketetapan-Nya."

         Kalimat demi kalimat itu amatlah benar. Aku pun menatap langit siang yang membiru serupa lazuardi. Lirih berbisik mengucap terima kasih kepada Tuhan. Tuhan baik sekali memberiku kesempatan kedua. Esok lusa semoga hidupku bisa memberikan hidup bagi kehidupan-kehidupan yang lainnya.***(RS)

Rumah, 27 Januari 2025
Menulis adalah tentang mengikat kenangan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun