"Hasil USG ini tidak baik-baik saja. Ada kista ovarium. Ada apendiksitis atau peradangan pada usus buntu. Setelah ini diantar perawat untuk bertemu dokter Pramana dan dokter Haris ya. Mungkin akan dijadwalkan operasi bersama."
      Demi mendengar semua penjelasan itu, kedua mataku pun berkaca. Satu demi satu air mata jatuh. Semakin diusap, semakin sering ia berdenting membasahi pipi. Tidak terisak. Hanya tangisan sunyi yang nyeri.
      "Kista di ovarium kamu sudah sangat besar. Harus segera dioperasi. Hasil laboratorium juga menunjukkan kadar haemoglobin kamu sangat rendah. Hanya 5 dari normal minimal 10. Ini menunjukkan telah terjadi pendarahan dalam. Ini sangat berbahaya."
      Tangisan sunyiku berubah menjadi terisak tatkala mendengar setiap kalimat dari dokter Pramana. Kista ovarium. Operasi. Rasanya belum habis air mataku setiap malam menangisi kondisi Amira, adik semata wayangku, yang harus kehilangan salah satu ovariumnya karena operasi pengangkatan kista dua tahun lalu. Mengapa Tuhan? Mengapa harus ujian yang sama bentuknya?
      "Dokter, saya belum menikah. Apa itu artinya saya akan kehilangan ovarium saya? Apa itu artinya saya tidak akan bisa menjadi seorang ibu?", kalimat itu akhirnya meluncur meski dengan terbata-bata.
      Dokter Pramana menghela nafas. Ia menatapku prihatin. Pun begitu dengan perawat yang mendorong kursi rodaku.
      "Tidak semua operasi kista akan disertai pengangkatan ovarium. Pun harus dilakukan pengangkatan, seorang perempuan akan tetap bisa hamil meski hanya memiliki satu ovarium. Apakah operasi ini sampai mengangkat ovarium? Hanya satu atau keduanya? Dari hasil USG ini memang kista berada pada dua ovariummu. Namun, semua tetap bergantung pada kondisi saat operasi nanti. Suka atau tidak suka, operasi ini harus tetap dijalankan. Tidak ada cara lain untuk menghentikan pendarahan dalam yang terjadi."
      Kalimat dokter Pramana itu sangat jelas. Dua ovariumku sakit. Aku terdiam. Dada terpenuhi oleh rasa sesak. Air mata itu jatuh demikian derasnya. Aku menangis terisak.
      "Dokter, sungguh saya ingin menjadi seorang Ibu dok."
      "Mbak, sekarang bukan saatnya memikirkan tentang itu. Sekarang yang harus difikirkan adalah keselamatan nyawamu. Meski secara fisik kamu tampak baik-baik saja, kondisimu secara medis saat ini kritis. Berdoa ya semoga Tuhan memberikan pertolongan."Â
      Hari-hari selanjutnya berjalan amat lambat. Dokter pun memindahkanku ke ruang isolasi. Alat demi alat itu, satu per satu kokoh dipasang di tubuhku. Selang demi selang itu sempurna mengukung gerakku. Dan demi meningkatkan haemoglobin pada batas aman yang disyaratkan sebelum operasi, lima kantung darah pun ditransfusikan kepadaku. Kondisi psikisku terguncang cukup hebat. Seringkali aku menangis histeris seorang diri di ruang rawat. Â