Mohon tunggu...
Retno Suryani
Retno Suryani Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis untuk mengikat kenangan

Konsultan Lingkungan, Senang bertemu masyarakat dan anak-anak, Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Alamanda di Balik Jendela

27 Januari 2025   20:08 Diperbarui: 27 Januari 2025   20:08 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga Alamanda (Sumber : Dokumentasi Penulis) 

            "Lihatlah daunku yang kering dan gugur itu. Bahkan waktu jatuhnya pun tidak pernah tentang kebetulan, tapi sebuah ketentuan. Apalagi hidupmu. Apalagi hari-harimu esok. Tak perlu risau. Tugas kita memang hanya menerima dan menjalani setiap saat dengan upaya terbaik. Kita hanya perlu meyakini bahwa keadilan dari ketetapan-Nya berjuta bentuknya."*

         
            Tarikan kuat yang memaksa lepas jarum di punggung tangan kiri membuatku sadar meski masih dalam mata terpejam. Belum habis rasa nyerinya, kini sebuah jarum baru kembali menusuk tajam dipunggung tangan kiri dan menancap kokoh di pembuluh venaku. Sayup-sayup aku pun mendengar potongan demi potongan percakapan orang-orang di sekitarku.

            "Jarum dan selang infusnya sudah diganti yang lebih besar untuk transfusi darah dok"

            "Iya, kita harus lebih cepat selesai sebelum pasien bangun. Kasihan tubuhnya sudah menggigil kedinginan."

            Meski tidak jelas, potongan demi potongan percakapan itu membuatku paham bahwa saat ini aku masih berada di ruang operasi. Ya, operasi itu ternyata belum selesai. Terakhir yang kuingat tadi, dokter Hanan mengajakku bicara ringan sebelum akhirnya menyuntik bius spinal di tulang belakangku. Perawat kemudian membaringkanku. Dan dari kaca yang ada di atas meja operasi, aku dapat melihat dengan jelas mereka menuang cairan betadine di atas perutku. Aku pun berteriak ketakutan dan meminta untuk dibuat tidur. Mengingat itu semua membuatku bergidik nyeri. Aku pun memaksa kedua mataku tetap terpejam. Aku tidak akan sanggup kalau membuka mata lalu menyaksikan mereka sedang membuka perutku. Dan alamanda yang berbicara, ah rupanya itu hanya bunga tidur.

            "Dokter Pram, kira-kira darimana ya pendarahan dalam ini terjadi? Saya masih penasaran."     "Benar Dokter Haris. Kita perlu berdiskusi lagi nanti ya setelah ini. Ah ya Dokter Haris saja yang menjahit, supaya lebih rapi."

            Potongan demi potongan percakapan itu terdengar kembali. Ah sepertinya sekian menit tadi aku tertidur lagi. Ya, itu suara dokter Pramana, dokter Obgyn, dan dokter Haris, dokter bedah umum, yang diminta dokter Alif untuk menanganiku. Apa katanya? Menjahit? Operasi ini akan segera selesai artinya.

            "Ini adalah apendiks dan kista pasien. Tolong dibawa untuk di uji di laboratorium."

            "Oh iya dok. Ovariumnya mana?"

            Ingin sekali aku mendengar jawaban atas pertanyaan perawat itu. Namun, obrolan mereka pelan sekali. Aku tak dapat mendengar dengan jelas. Hatiku pun mencelos. Rasanya sesak sekali. Berapa ovariumku yang mereka angkat? Satu? Keduanya? Benteng ikhlas yang kubangun tinggi-tinggi tertelikung oleh perasaanku sendiri. *

           
            Hari itu hari ke empat aku dirawat. Aku menyambut kunjungan dokter Alif ke ruang rawatku dengan semangat. Aku ceritakan jika perutku sudah tidak lagi nyeri. Aku ceritakan jika tubuhku sudah kuat lagi. Dan aku meminta untuk lekas diizinkan pulang. Di kepalaku berisi penuh rencana-rencanaku yang telah tertunda. Aku tidak sabar untuk kembali masuk kantor yang menerimaku dua bulan lalu. Ya, sebuah perusahaan ternama yang selama ini masuk sebagai salah satu daftar mimpiku. Aku juga ingin segera ke kampus untuk kembali meresume jurnal, menjadi asisten penelitian dosenku. Akhir pekan nanti aku pun ingin ke kampung seni, bertemu masyarakat binaanku, melanjutkan proyek pemberdayaan yang ditugaskan dosenku. Dan yaa aku akan segera sempatkan ke SMA ku dulu, melanjutkan persiapan lomba debat yang akan diikuti adik-adikku. Namun pagi itu justru menamparku dengan kenyataan yang menyakitkan. Ya, keyakinanku sudah sembuh pun luruh bagai daun kering yang tertiup angin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun