Hari ini adalah hari ketiga puluh di bulan Desember 2024. Bagaimana dengan  dua belas bulan di tahun ini yang akan segera berlalu? Aku rasa, cerita yang kita punya pasti beragam warna.  Persis seperti tangga warna mejikuhibiniu yang sering kita saksikan pada langit basah setelah hujan. Ada bahagia dan luka yang saling bercengkerama, ada capaian yang erat menggandeng kegagalan, bahkan mungkin ada pertemuan yang saling mendekap dengan perpisahan.
      Hari ini biar kuceritakan pada kalian sepotong cerita tentang dia, laki-laki yang mencintai pagi. Mungkin, cerita yang ia punya sedikit mirip dengan kisah rangga dan cinta yang fenomenal itu. Aku tegaskan lagi, hanya sedikit mirip dengan film yang melegenda itu. Ya, tentang pertemuan kembali, tentang melupakan dan dilupakan. Betapapun sederhananya, semoga kita bisa sama-sama mengeja bijak setiap potong cerita ini, selalu meyakini bahwa keadilan langit itu memang berjuta bentuknya.*
      Namanya Angkasa. Laki-laki yang selalu mencintai pagi. Ia menyukai langit timur saat fajar datang memecah gelapnya malam. Ia menyukai bulan dan bintang yang lembut memancar terang sebelum benar-benar hilang. Ia menyukai sinar sang raja pagi yang masih belum garang memanggang. Katanya, pagi selalu membawa kebaikan. Semua masalah akan menjadi baik-baik saja saat pagi datang.
      Malam akan segera selesai saat Angkasa duduk di bangku favoritnya, di bagian kiri cafe yang tepat berada di tengah kota ini. Dari balik jendela tempatnya duduk, Angkasa dapat melihat jalan raya besar berdampingan dengan rangkaian rel kereta api. Sudah tiga jam Angkasa duduk seorang diri disana dengan secangkir kopi hitam tanpa gula. Tidak ada lagi pengunjung lainnya. Tersisa dua orang pelayan caf yang sedang asyik mengobrol, entah topik apa.
     Kereta api kembali lewat di sebrang jalan sana. Suaranya melenguh kencang membelah segala kehidupan kota yang sedang beristirahat tenang. Lokomotif disusul gerbong demi gerbongnya melesat amat cepat, roda-rodanya bergerak mantap, mencipta bunyi rel yang berderak memecah kesunyian malam. Tatapan Angkasa kosong. Hatinya dingin, sedingin malam yang beranjak pagi.
     Angkasa menengok jarum jam di arloji tangan kirinya. Satu jam lagi cahaya merah akan muncul dan menyapa lembut di langit timur. Seperti hari-hari sebelumnya, Angkasa baru akan meninggalkan caf itu ketika pagi datang. Ia akan berjalan ke rumah setelah menatap langit pagi, merayu Sang Pencipta, dan mengulang-ulang doa yang sama. Ya, sudah lima hari ini Angkasa selalu datang ke caf itu ketika tengah malam, ketika matanya sulit terpejam, ketika habis sudah ide untuk membunuh segala cemas. Lihatlah kedua telapak tangan serta sepuluh jari-jarinya yang mengkerut dingin karena terlalu lama terendam air. Itu karena sebelum datang ke caf, Angkasa berusaha membunuh cemasnya dengan mencuci seluruh baju. Membiarkan tubuhnya menggigil kedinginan. Â
   "Angkasa, Aruna paling tidak bisa melihatmu marah. Setiap kamu marah, ia pasti sakit. Trauma nya muncul lagi. Tidurnya tak pernah nyenyak karena terus dihantui mimpi buruk. Kedua matanya pasti sembab penuh air mata. Ah, kamu bahkan membentaknya. Suaramu meninggi. Kamu membuatnya sakit lagi."
    "Aku mengerti, kamu mencintai perempuan itu dengan sangat besar Angkasa. Mendekapnya dari segala trauma di masa kanak-kanaknya. Tapi kamu menjadi trauma baru untuknya. Kenapa kamu kembali lagi? Aruna baru sedikit lebih baik perasaanya. Aruna baru mulai berdamai."
    Kata-kata Baskara, psikolog Aruna, saat Angkasa datang ke klinik itu terus menari-nari. Kalimat demi kalimat itu selalu menyeruak memenuhi ingatan Angkasa, membuat dadanya sesak.*
    Perempuan itu bernama Aruna. Seorang penulis dan pekerja sosial. Angkasa bertemunya pertama kali pada sebuah pagi dalam kegiatan sosial yang digelar di bagian utara kota. Bukan pertemuan istimewa. Namun, perasaan Angkasa berbisik bahwa perempuan di hadapannya pagi itu berbeda. Dan pagi demi pagi pun datang. Pertemuan demi pertemuan itu berulang. Angkasa dan Aruna saling mengenal sama baiknya.
    Aruna gemar sekali merusuh, meminta waktu dan telinga. Perempuan sejuta cerita. Saking banyaknya kata di kepalanya, topik bicaranya tak jarang melompat-lompat. Butuh sekali fokus untuk mencernanya. Namun, cerita Aruna bagai sihir untuk Angkasa. Laki-laki yang mencintai pagi itu selalu bahagia mendengarkan dan menanggapi cerita Aruna. Percakapan yang selalu berlama-lama. Dialog yang selalu mengalir apapun topiknya. Menjeda waktu, menyekat dunia.