Mohon tunggu...
Retno Suryani
Retno Suryani Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis untuk mengikat kenangan

Konsultan Lingkungan, Senang bertemu masyarakat dan anak-anak, Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Kenangan dalam Bolu Pisang

13 November 2022   22:18 Diperbarui: 13 November 2022   22:31 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bolu ini yang kami tunggu."

"Bolu ini sangat enak dan sangat harum."

"Iya, lembut dan manisnya juga pas."

Aku tersenyum mendengar satu demi satu komentar anak-anak yang tengah membantu projek-projekku di tahun ini. Lihatlah, mereka tampak riang sekali menyambut bolu pisang buatanku. Sesekali mereka berebut untuk mengambilnya dari kotak makan yang kubawa dari rumah.

"Mbak, apa resepnya? Boleh kami minta?"

Aku kembali tersenyum mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan kesekian yang kudengar dari banyak orang. Dengan mudah segera ku jelaskan satu demi satu bahan yang kupakai untuk membuat bolu pisang itu. Pisang raja matang, tepung terigu, susu bubuk, gula pasir, telur, mentega, minyak sayur, sedikit garam, dan tentunya soda kue. Ah ya, aku juga suka menambahkan sedikit perasa vanilla serta bubuk kayu manis agar aromanya semakin menggoda.

"Resepnya sama saja. Tidak ada yang istimewa bukan?", kataku tersenyum.

Mereka hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan resepku sambil terus mengunyah menghabiskan potongan demi potongan kue bolu itu.

"Hmm iya sih, tapi kue ini selalu enak. Cantik. Mengembang dengan sempurna. Tidak pernah gagal dan bantet. Kami sungguh penasaran dengan rahasianya.", sahut mereka dengan tertawa ringan.

Bolu pisang itu memang selalu dibuat dengan resep seperti pada umumnya. Takaran bahan juga tahapan membuatnya pun tidak ada yang istimewa. Aku cukup menghafalnya di luar kepala. Mulai dari mengocok dua telur dan sepuluh sendok gula pasir, mengayak sepuluh sendok tepung terigu dan dua sendok susu bubuk dan memasukkan keduanya dalam larutan telur dan gula, menambahkan sedikit soda kue dan sedikit garam, menambahkan sedikit vanilla dan kayu manis bubuk, hingga menambahkannya dengan tiga buah pisang matang dan manis yang sudah dilumatkan serta sepuluh sendok minyak sayur atau margarin cair. Adonan yang sudah dipastikan rasa dan aromanya itu lalu dikukus kurang lebih 45 menit sampai mengembang dan matang dengan sempurna. Sama saja bukan? Namun, orang-orang selalu bertanya apa rahasianya sehingga bolu pisang yang kusajikan terasa istimewa.

"Mungkin perasaan tak biasa saat membuatnya yang istimewa. Bukankah aku selalu membuat bolu pisang ku dengan sepenuh hati selama ini. Ya, sepenuh hati sama seperti ketika membuat bolu pisang untuknya.", bisik hati kecil ku lirih*

Laki-laki itu kukenal pertama kali lima tahun lalu. Laki-laki denga raut muka tegas yang entah bagaimana alasannya sudah istimewa untukku sejak pertama bertemu. Mungkin, ia tak cukup hangat. Ia juga mungkin tak cukup ramah. Sebaliknya, orang-orang sering bercerita merasa takut kepadanya. Merasa segan kepadanya.

Namun tahukah?

Sungguh sebenarnya ia adalah laki-laki yang baik. Aku ingat, dulu ia sering menyapaku lebih dulu ketika aku selalu malu-malu saat bertemu. Ya, ia sering menyapa lebih dulu. Bertanya kabarku. Bertanya pekerjaanku. Ah, ia bahkan orang pertama yang percaya padaku. Percaya pada kemampuanku. Laki-laki baik yang menjadi perantara Tuhan membuka jalan karirku. Tanpa rasa percaya nya, aku tentu tak akan sampai di posisi saat ini. Aku tak akan memiliki banyak anak-anak itu untuk membantu seluruh projekku.

Sepotong malam paling berkesan tentang dia tak pernah bisa kulupakan. Malam itu mataku sembab karena tangis kehilangan. Sorot mataku nan redup mungkin cukup menggambarkan betapa hancurnya perasaanku. Pening kepalaku. Gontai langkahku. Dan laki-laki itu, ia tersenyum menyapaku. Ya, ia menyapaku ditengah banyak jiwa yang sibuk membisu acuh tak peduli. Ia cuek berkata memintaku rehat istirahat. Aku tentu tak pernah lupa kalimatnya malam itu. Ia yang tak cukup hangat meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Kalimat sederhana yang anehnya demikian bertenaga membantuku kembali baik-baik saja.

Laki-laki yang tak cukup hangat itu memang sejatinya baik. Ia memang tak pernah suka berbicara banyak atau menulis pesan berhalaman-halaman. Namun, ia selalu mau mendengarku. Ia selalu mau kuganggu dengan ceritaku. Mungkin ia kesal dan bosan, tetapi aku selalu boleh merusuh waktunya. Mau menjawabku meski hanya sepotong-sepotong. Mau memberi masukan meski tak pernah suka kalimat panjang. Selalu berpendapat meski tak selalu meneduhkan.

Laki-laki tak cukup hangat itu memang tak suka basa basi. Ia tak pernah suka menjual kalimat manis. Namun, betapa ia menjadi tempat berceritaku yang nyaman. Hari-hari lalu ketika hatiku hancur, luluh lantak, betapa ia yang tanpa sadar memungutinya. Betapa tanpa ia sadar yang menata lagi remahan demi remahan itu.

Laki-laki itu tak suka hal-hal sentimentil. Prinsipnya begitu kuat dan sederhana. Ia sering memintaku tak menjadi orang yang selalu baik kepada siapapun dalam kondisi apapun. Ia selalu memintaku tegas dalam memilih apapun. Memegang prinsip kuat-kuat, dan tidak takut memilih keputusan. Ia tak selalu merespon baik ceritaku. Sesekali ia marah dan kesal karena sikapku yang ragu-ragu dan tak tegas memutuskan. Namun ia cukup mau paham tentangku yang tak pernah suka dimarahi. Takut akan marahnya.*

Bulan kelima tahun ini laki-laki itu pamit pergi dari kotaku. Ia pamit pergi ke kota lain nan jauh berbeda pulau. Ya, ia pamit pergi. Aku  tak lagi bisa melihat wajah tegas nya semudah lima tahun ini. Aku tak bisa lagi tertunduk atau tersenyum malu-malu ketika ia menyapa lebih dulu dalam temu.

Bukankah ia sudah demikian baik selama ini? Bukankah ia menjadi banyak perantara Tuhan untuk hadir sebagai kebaikan dalam hidupku?

Kata pamitnya menyisakan sadar akan perasaanku selama ini kepadanya. Ya, laki-laki tak cukup hangat itu, memang punya tempat istimewa di hatiku. Dan kata pamitnya, membuatku tak ingin ia pergi begitu saja. Kuberanikan diri bertanya masakan apa yang ia suka, makanan apa yang ingin ia makan. Aku ingin memasak untuknya.

Kue bolu. Ya, ia hanya meminta kue bolu kepadaku. Ia hanya ingin aku membuat kue bolu untuknya.

Aku masih ingat jelas bagaimana perasaanku mendengar jawabannya. Aku masih bisa merasakan semangatku yang tak pernah bisa membuat kue untuk kemudian belajar dan uji coba berulang kali membuat bolu pisang. Aku masih ingat kue bolu pisangku yang pertama begitu bantet. Aku juga masih sangat ingat, rasa gembiraku, luapanku bahagiaku, ketika bolu pisang itu akhirnya berhasil. Ya, bolu pisang itu berhasil mengembang sempurna dan enak rasanya.

Kue bolu pisang yang cantik dan enak itu pun kukirim pagi-pagi ke alamat rumahnya. Lengkap dengan sepotong surat kecil berisi ucapan terima kasih dan maaf. Sayangnya, ia justru pergi keluar kota, tidak di rumah. Aku masih bisa merasakan kecewaku saat itu. Dan ketika aku sudah cukup menerima bahwa kue cantikku hanya akan terbuang tak termakan, ia pun mengirim pesan sudah menerima kue nya. Ya, ia akhirnya pulang. Ia pulang dan makan kue bolu pisang itu.

Aku masih ingat dengan baik rasa bahagiaku sore itu. Sangat bahagia. Apakah ia komentar kue itu enak? Apakah ia bertanya bagaimana aku membuatnya? Apakah ia membalas surat kecilku? Tidak. Bahkan hingga kemudian hari ketika aku kembali mengirim bolu pisang untuknya.  Ia tak pernah komentar. Ia tak pernah bertanya. Ia hanya mengucap terima kasih dan bercerita telah menghabiskan kue ku. Hanya itu. Laki-laki tak cukup hangat itu memang begitu pandai menyimpan perasaannya. Demikain rapat menyimpan hidupnya dari siapapun. Namun, memasak bolu pisang untuknya  saat itu adalah salah satu bagian paling indah dalam hidupku selama ini.

"Apakah kamu dulu juga bahagia seperti mereka saat menerima dan memakannya?", gumamku lirih.

Sejak itu, kue bolu pisang itu istimewa. Ya selalu istimewa untukku. Resepnya juga tahapan memasaknya memang tidak beda sebagaimana umumnya. Namun, aku selalu bahagia memasaknya. Ya, perasaanku yang tak pernah biasa saat memasaknya. Selalu sepenuh hati. Karena apa? Karena saat memasaknya aku selalu merasa seperti sedang memasak untuknya. Ya, untuk laki-laki tak cukup hangat tetapi sejatinya demikian berarti dalam hidupku.

Bukankah masakan yang dimasak sepenuh hati juga akan mampu menyentuh hati yang memakannya? ***

            Bagaimana kabarmu? Apakah kamu pernah rindu bolu pisangku? Sepertiku yang selalu berusaha meluapkan rindu tentangmu dengan menulis , dengan kembali memasak bolu pisang untuk banyak orang. Aku memang tak punya resep istimewa, tetapi aku punya kenangan tentangmu yang akan selalu membuat bolu pisangku tak biasa......

Belitung, 13 November 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun