"Kau terlalu baik. Selalu baik kepadaku. Kemanapun setelah ini kau melangkah, semoga Tuhan selalu melindungimu.", gumamku pelan.
Kutajamkan pandangan ke layar komputer. Sekarang, komputer sudah terhubung dengan jaringan internet. Siap menyediakan berjuta bahkan bermilyar informasi di seluruh penjuru dunia. Tubuhku mendadak kaku. Detak kardiak begitu cepat. Dadaku teramat sesak. Membaca sebuah pesan baru di emailku dari dia, laki-laki istimewa.
Tulisan itu kaku. Kata gantinya kacau. Bahasanya terlampau biasa. Sangat biasa. Diksinya jauh dari puitis. Sungguh, tulisan amat sederhana. Tapi, hatiku bergetar membacanya. Dadaku semakin sesak membaca ucapan terima kasihnya pada kalimat pertama. Dia berkata sungguh terharu oleh kata-kataku. Katanya, tak perlu takut menghadapi apapun. Gagal dan berhasil itu wajar adanya. Bukan hasil, tetapi proses dan bagaimana manusia belajar. Sungguh, bentengku yang kokoh melemah, sempurna luluh, dengan membaca sepotong kalimatnya : "tak perlu prestasi apapun, aku juga sudah bangga kepadamu."
Di balik jendela kamar, gerimis masih terus merintik ramah. Angin berhembus kecil mempermainkan daun-daun yang basah di depan rumah. Dahan dan ranting pun sesekali bergoyang, menyambut riang gurauan angin. Sama halnya di dalam jiwaku. Mendung gelap tiba-tiba menyelimuti hati. Gerimis turun, menghujam lembut di kedua pipiku. Kau, yang mereka bilang kaku dan dingin, yang tak pernah pandai menyampaikan perasaan, yang tak cukup mahir bermain pena, mau dan mampu menulis untukku. Bersama gerimis di awal bulan Februari ini, surat sederhana darimu membungkamku.
Meskipun diksinya sederhana, aku suka dengan tulisanmu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H