Hari ini, hari pertama bulan Februari. Sedari fajar, awan kelabu memeluk langit, mengukung sendu bumi, menyembunyikan sinar mentari. Tirta langit pun terus merintik lembut. Tidak deras. Tidak membawa petir nan gelegarnya menciutkan nyali. Butir-butir air kecil itu menghujam ke tanah dengan pelan, berirama, dan menentramkan. Gerimis pagi yang sempurna indah.
Aku duduk tak nyaman menatap komputer yang berada di atas meja belajar di dalam kamar. Resah. Masih terus teringat pertemuan senyap.
Kemarin, hari terakhir di bulan pertama pada tahun baru ini, sampai juga pada momen berharga itu. Bertemu dengannya, menyambut pencapaian terbaiknya, terakhir kali, sebelum kebersamaan akan tersekat jarak yang amat serak. Alih-alih mengulurkan tangan, memberinya selamat dan doa terbaik, aku justru terbungkam sempurna.Â
Kelu tersenyum tanggung, memilih berbicara hanya lewat mata. Di hatiku, ribuan kata riuh mengalir. Ah, tetapi tetap saja senyap. Pertemuan sunyi. Aku tidak mampu mengatakan sepatah kata pun sampai ia pergi. Kalah. Ya, aku lagi-lagi kalah atas semua kelu dan canggung itu. Bahkan untuk sekadar menjadi sedikit lebih hangat kepadanya di pertemuan kami yang boleh jadi terakhir pun aku tak bisa.
Aku berharap tulisan akan lebih berbicara ketimbang lisan. Kemarin, ketika petang mulai menjelang, akhirnya kutaklukkan segala takut dan bimbang, kuberanikan diri membuka email, mengirimkan tulisan sederhanaku untuknya. Ya, aku hanya ingin mengajaknya berbicara lewat penaku.
 "Apa kau sudah membacanya? Apa reaksimu? Apa kau terharu? Apa kau tak suka? Merasa tak nyaman? Apa kau belum atau malah tak berniat membacanya?", bisik hatiku lirih.
Sungguh aku tidak ingin berharap apapun darinya atas tulisanku. Aku tidak ingin peduli apapun yang bakal terjadi ketika akhirnya kuputuskan memberikan tulisan itu untuknya. Tidak ingin peduli. Terserah ia saja. Ah, tapi entahlah pertanyaan demi pertanyaan itu terus menelikungku, membuatku gelisah.
Aku menyiapkan tulisan itu sejak pertengahan bulan Januari lalu. Selalu ragu menyusun kalimat. Selalu merasa salah memilih diksi. Bergelut dengan berjuta perasaan. Berkali merevisi. Ah, tulisan sederhanaku itupun jadi. Sungguhlah, tulisan sepanjang 3 halaman yang seringkali kutulis dengan mata mengembun itu hanya berisi ucapan dua hal yang selama ini menjadi roh dialog-dialog dingin kami : terima kasih dan maaf. Aku hanya sanggup menulis dua hal itu. Memilih tetap menyimpan rapat berjuta perasaan istimewa lainnya yang ada dan akan selalu ada untuknya di hati.
Dia adalah orang yang istimewa di hidupku. Aku berterima kasih karena dia selalu punya waktu untuk mendengar ceritaku dan juga membantuku. Aku berterima kasih karena dia selalu memotivasiku dengan kalimatnya nan sederhana. Selalu mengingatkanku untuk terus semangat, terus memberi dan melakukan yang terbaik. Aku berterima kasih karena dia  selalu melarangku menangis. Selalu meyakinkanku untuk tetap berdiri tegar sekalipun di atas kerikil-kerikil tajam.Â
Aku berterima kasih karena dia selalu memintaku mengalahkan takut. Selalu mengajariku percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Aku berterima kasih karena dia selalu mengajariku mengeja bijak makna kegagalan, keberanian bangkit dan kembali menggantung harapan. Ya, aku berterima kasih karena dia yang mereka bilang kaku dan dingin itu, nyatanya selalu hangat, selalu ada, dan selalu baik untukku.
Dia yang mereka bilang kaku dan dingin itu selalu ramah kepadaku. Berkali ia memintaku tak sungkan, dan berkali pula aku masih kelu di hadapannya. Aku meminta maaf untuk setiap pertemuan senyap kami, untuk keangkuhanku hanya karena tak mampu melawan kelu untuk sekadar lebih dulu menyapanya. Aku meminta maaf untuk berjuta detiknya yang kuganggu, untuk neuron-neuron otaknya yang terpaksa tegang demi menjawab tanyaku, untuk semua tuturku yang barangkali pernah menggores hatinya. Aku meminta maaf karena sampai hari ini belum mampu membuatnya merasa bangga.