"Kalau aku bisa memilih, aku tidak ingin menjadi adiknya mbak. Iya, kalau aku bisa memilih, aku ingin jadi adik dari mbak yang biasa saja. Bukan mbak yang pandai seperti  mbak selama ini. Bukan mbak yang punya banyak cerita soal piala, soal juara. Bukan mbak yang sekolahnya selalu dengan beasiswa. Mbak, aku seringkali merasa terbebani karena aku tak mampu menjadi sepertimu. Aku bosan karena mereka selalu memperbandingkan diriku dengan dirimu. Mbak, aku telah berusaha sebaik yang kubisa, tapi aku tak bisa menyamai pencapaian-pencapaianmu. Kalau di luar sana masih banyak teman-teman yang kemampuan akademiknya di bawahku tetap diterima, dipahami, serta dimaklumi, mengapa aku sulit memperolehnya? Apa karena aku adalah adikmu sehingga aku harus sama sepertimu?"
Hari itu masih dalam suasana libur lebaran. Kami sekeluarga hanya menghabiskan malam dengan menonton televisi bersama. Sisa lelah perjalanan mudik masih sangat terasa. Dan lazimnya setelah melalui perjalanan, kami pun saling bercerita seputar mudik yang baru saja kami lalui setelah bertahun-tahun terpaksa harus dilupakan itu. Dan saat itu giliran adikku menyampaikan ceritanya selama mudik.
"Mbak, selama mudik kemarin, aku sering ditanya bagaimana hasil ujiannya? Masuk di sekolah mana? Dan respon mereka masih saja sama seperti waktu-waktu lalu. Selalu membandingkan aku denganmu."
Aku tercekat mendengar kalimat adik semata wayangku itu. Aku berusaha memahami ketidaknyamanan perasaannya.
"Mereka selalu bilang kok nilai ujiannya jelek? Kok cuma masuk sekolah swasta? Kok tidaksepandai kakaknya? Kan kakaknya pandai."
"Mbak aku bosan dibandingkan terus begini. Masing-masing anak kan memiliki kemampuan berbeda. Tidak sama."
"Biarkan Dek mereka yang begitu, kan Ayah dan Ibu tidak mempermasalahkannya. Adik benar, setiap anak punya kemampuan berbeda. Setiap anak punya jalan hidupnya masing-masing. Tidak pernah sama.", Ibuku mencoba menjawabnya.
"Sekolah dimanapun pada dasarnya sama. Tergantung niat dan kemampuan seseorang. Belajar saja yang giat dek. Terus semangat. Tunjukkan kepada mereka semua bahwa adik juga bisa.", timpal ayahku
Meskipun hati dan otakku penuh kalimat menyesak, aku memilih hanya menanggapi kekesalan adikku dengan gurauan ringan. Ya, aku lebih memilih mencairkan suasana dengan mengajaknya bercanda.
"Adek benar, setiap orang terlahir berbeda, setiap anak punya kemampuan yang tidak sama. Jadi, kalau besuk-besuk ditanya kok tidak sama dengan kakaknya, jawab saja emang bapak/ibu sama persis dengan saudara-saudaranya?*
Inilah kondisi yang seringkali tidak kita sadari. Membully anak-anak kita tanpa sengaja dengan mengolok-olok kemampuan mereka, memperbandingkan kualitas mereka. Iya, sebagai orang tua atau orang dewasa kita tanpa sadar mengkotak-kotakkan anak-anak kita terlalu sempit, menciptakan banyak parameter terlalu picik.
"Anak pintar itu ya yang selalu juara kelas. Anak pintar itu adalah mereka yang bisa memperoleh nilai ujian tinggi sehingga masuk sekolah negeri. Orang sukses itu adalah mereka yang berasal dari jurusan X, Y, ataupun Z."
Dalam kehidupan sehari-hari, betapa anggapan-anggapan itu amatlah umum. Bahkan, tidak jarang kita temui orang tua yang melakukan beragam cara agar anak-anak mereka memenuhi kriteria-kriteria itu. Tidak sedikit orang tua yang kemudian membatasi atau melarang banyak hal yang disukai atau menjadi minat anak-anaknya hanya karena tidak memenuhi kriteria-kriteria itu. Sangat ironi.
Kotak-kotak manusia itu sebanyak jumlah manusia itu sendiri. Amat banyak. Sangat variatif. Setiap anak terlahir dengan karakter, kemampuan, dan potensi masing-masing. Setiap manusia punya jalan hidupnya masing-masing. Tidak dapat diminta. Tidak bisa ditolak. Tidak kebetulan. Semua sudah Tuhan tentukan dengan amat detail mengagumkan.
Pintar, sukses, ataupun hebat adalah relatif yang bisa kita tafsirkan dengan beragam hal. Kita tidak boleh membatasi kriteria-kriteria itu dengan amat sempit. Boleh jadi, anak-anak yang kemampuan akademiknya pas-pasan, memiliki bakat seni yang luar biasa.Â
Boleh jadi, anak-anak kita yang nilai ujiannya tidak tinggi justru telah mendefinisikan orang hebat dengan amat bijaknya : dengan menjunjung tinggi kejujuran, dengan mengutamakan proses pembelajaran.Â
Anak-anak yang tidak tertakdir sebagai dokter, sebagai insinyur, barangkali berkesempatan mengeja makna sukses dengan menjadi pelaku seni, atlet olahraga, atau bahkan pengusaha sukses.Â
Mereka yang tidak bertakdir meraih gelar akademik tinggi atau bahkan jabatan-jabatan strategis, boleh jadi memaknai suskes dengan ide-ide kreatif atau bahkan minat-minatnya.Â
Sungguh, definisi pintar, sukses, ataupun hebat beragam bentuknya. Karenanya, alih-alih membatasi, memperbandingkan, atau mengolok-olok bukankah lebih baik membesarkan hati dan memotivasi anak-anak kita?Â
Entah apapun potensi itu,kalau terus dikelola dengan baik, disirami dengan kasih sayang, dipupuk dengan kepercayaan, pasti suatu hari akan menjadi hal yang luar biasa. Siapapun mereka, setiap anak berhak mendefinisikan kata pandai, sukses, dan hebatnya masing-masing........*
Untuk adikku....
Begitulah hidup. Kita tidak pernah bisa meminta untuk terlahir sebagai siapa atau dimana. Kita tidak pernah bisa memilih dengan latar belakang keluarga seperti apa kita dibesarkan. Kita tidak bisa memohon hal-hal apa saja yang boleh terjadi atas kita. Tidak pernah dan tidak akan bisa.Â
Semuanya sudah digariskan dengan amat detail oleh Tuhan. Tidak ada kebetulan. Tidak ada yang terlewatkan. Namun, seorang guru mengajarkanku bahwa manusia dapat tetap bahagia terhadap apapun takdir yang harus dijalaninya dengan senantiasa bersyukur, senantiasa merasa lebih beruntung dengan sering-sering melihat mereka yang lebih "di bawah". Semua kejadian pada dasarnya baik asal disikapi dengan pemahaman baik.
Maafkan kami...orang-orang yang lebih tua, lebih dewasa, tetapi seringkali tidak arif di dalam memberikan pemahaman, menyikapi kehidupan. Maafkan kami...yang kadang tanpa sengaja justru tidak dapat menjadi teladan karena teramat sempit membuat banyak definisi atau parameter tentang hidup.
Pendapatmu benar bahwa setiap anak terlahir dengan keistimewaannya masing-masing. Jadi, jangan pernah merasa terbebani hanya karena kita tidak sama. Tetaplah jadi dirimu sendiri. Tetaplah berjuang mendefinisikan kata sukses, kata hebat, dengan caramu sendiri.Â
Manusia itu tidak ada yang sempurna. Ketika seseorang memiliki kelebihan pasti juga dilengkapi dengan kelemahan. Demikian sebaliknya, di balik kelemahan seseorang pasti terselip kelebihan.
Tetaplah menjadi anak yang baik, anak yang kuat. Sungguh meski jarang diucapkan, mbak bangga kepadamu. Tentang kamu yang jarang mengeluhkan sakitmu. Tentang kamu yang selalu dipuji guru-gurumu karena semangat juga keceriaanmu. Tentang kamu yang mulai menggemari buku. Tentang kamu yang terus mendisipinkan shalatmu. Teruslah semangat belajar...Tetaplah menjadi anak yang baik...
Dek, keadilan langit itu berjuta bentuknya. Yakini saja. Esok lusa semoga segala hal yang sedang kau ikhtiarkan, kau perjuangkan. Akan kau dapatkan......
Untuk Gadis  Berlesung Pipit yang Manis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H