Mohon tunggu...
Suryani Mursya
Suryani Mursya Mohon Tunggu... -

aku adalah rangkaian kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tolong Beri Aku Jawaban!!

31 Agustus 2014   02:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:03 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mulai dengan tiga kata sederhana yang bermakna luar biasa ‘tolong, ‘maaf’, dan ‘terimakasih’.

Terasa begitu lelah tubuh ini, pikiran kacau, hati tak tenang. Ku sibak tirai merah muda yang menggantung di muka jendela kamarku. Tirai lembut dihiasi sedikit kembang –kembang biru muda. Sebuah perpaduan warna yang sempurna menurutku, sederhana namun penuh kelembutan. Jauh dari apa yang kurasa kini. Banyak sesal-sesal yang terbentuk dari pikiranku sendiri, pikiran-pikiran yang membuatku tersesat dalam alam pikirku.

Aku berharap anugerah pagi ini bisa membawaku setidaknya lebih sedikit tenang bersama sesal-sesalku. Banyak hal yang telah aku lalui bersama banyak orang di sekelilingku. Bersama mereka yang sangat dekat denganku, mereka yang dekat, mereka yang biasa saja, dan sedikit dengan mereka yang jauh denganku. Dan aku yakin setiap manusia punya ceritanya sendiri, dan punya cara sendiri untuk membuat alurnya indah atau tidak.

Begitu juga alur hidup yang aku jalani. Aku tidak tau muaranya, dan aku tidak mengerti lika-liku langkah ini. Aku merasa bodoh, aku merasa tidak berdaya dalam  mengatur untaian langkah-langkah  kecil ini, langkah-langkah gontai yang menjajaki tujuan yang samar-samar dalam detik waktu. Aku yang merasa sangat kecil, aku yang merasa tidak berdaya, aku yang lemah, aku yang lelah, aku tanpa apapun aku. Aku yang dikendalikan oleh ‘aku’ , yang menjadikan ‘aku’ tak berdaya ketika rasa bersalah itu menghampiriku.

Kini aku mulai dengan alur dari coretan kecil dari bagian cerita yang aku perankan. Ketika aku mencari, kemudian aku menemukannya. Bahkan aku tidak kuasa menulis cerita itu. Aku masih saja seperti ‘aku’ yang cemas, yang takut salah, yg tidak jeli dalam meramgkai kata. Aku yakin, kata yang keluar itu tidak dapat ditarik lagi dan berputar balik pada sumbernya. Meskipun banyak di antara mereka yang berusaha meralatnya, namun itu belumlah cukup untuk menyembuhkan luka. Tapi bgiku  itu sebuah penghargaan yang punyai nilai tinggi, nilai yang tidak semua orang mendapatkannya.

Dalam sebuah perjalanan, makin jauh kita berjalan maka makin jauh kita meninggalkan apa dibelakang kita. Ketika aku dipertemukan dengan seseorang . Seseorang yang banyak bercerita dan membuat alur gontai kakiku, tegar ketika musim lain datang berganti. Alur ketika tak kurang dari dua setengah tahun baru-baru ini. Aku yang dekat dengannya, aku yang menjadikannya bagian dariku. Perlahan-perlahan banyak hal yang dapat aku pelajari tentang ketegaran hati, pahitnya kehidupan, kekuatan batin, kasih sayang, rasa ‘altruis’, indahnya berbagi, dan hal lain yang tak perlu aku sebutkan satu persatu.

Dalam cerita ini tidak ada pemeran ‘antagonis’ seperti kebanyakan  dalam sinetron-sinetron.  Tokoh yang terkenal sadil, kejam, dan tidak punya kelembutan hati untuk memberi sedikit kasih dan sayang kepada orang lain. Sungguh itu hanya fiktif belaka, dan tidak ada dalam  alur cerita ini. Aku bukanlah seorang produser yang menjual cerita atas nama rumah produksinya dengan’ iming’ macam-macam.

Selain banyak pelajaran  hidup yang aku pelajari, tanpa materi, tanpa sederet lembar-lembar bacaan yang harus akau hafal, lain dengan lembaran yang dituntut bagiku di bangku perguruan tinggi. Aku selalu belajar dan terus belajar, berusaha dan terus berusaha untuk memahaminya. Memahami bagaimana ia, bagaimana suasana hatinya, bagaimana kesehatannya, bagaimana keuangannya, dan bagaimana..............terus bagaimana..............serta bagaimana.....!!!!!

Semakin aku belajar, semakin banyak kesalahanku  kepadanya, semakin aku berusaha semakin  terasa sesalku, aku sangat bodoh, aku tak berdaya dan tak tau  harus berbuat apa. Apa yang bisa kulakukan untuk membuat  ia tersenyum.

Sebelum hari itu datang, aku masih bertahan pada tempat dimana aku berpijak, sesuatu yang membuatku berkomitmen untuk menjalaninya. Sebelum komitmen itu runtuh oleh desir-desir dari bahasanya. Aku jatuh, aku  jatuh lagi, dan kembali aku jatuh.  Aku coba bangun. Mengubah haluan alur cerita itu. Bak nahkoda ketika badai datang menghadang perjalanan kapalnya, ia berpikir keras, berusaha bijak untuk keselamatan jiwa manusia disekitarnya.  Ya..sungguh luar biasa, tapi aku bukanlah nahkoda itu, walaupun tak seperti dia aku berpikir untuk memutar beberapa derajat dari alur baru itu. Sesuatu aku rasa bijak, penuh pertimbangan.

Kini detik berganti dengan menit, menitpun berlalu,  dan jam berganti dengan hari, dari hari menjadi minggu dan bulan. Berbulan-bulan. Aku terus mencoba menata vas yang pecah itu, vas kecil, bening, kuat, namus sensitif. Aku ambilkan perekat, perlahan....sedikit demi sedikit kususun kembali. Dan sampai saat ini aku belum siap merangkainya kembali. Haaaft.............tak sempurna seperti dulu. Akupun sedih .........:)

Maaf, aku tidak bisa menjadi orang  yang enggkau harapkan, aku telah mencoreng alur-alur ceritamu karena kebodohanku., karena pikiran negatifku, ya....karena ‘aku’ dan bukan orang lain.

Tapi....terimaksih atas sentilan-sentilan manis dari tulisanmmu, dari kata-kata indah yang engkau ucakan dan dari gambar-gambat penuh cerita saat sama-sama kita berjuang yang kau ingatkan lagi kepadaku. Terimakasih, engkau membantu aku untuk belajar  menyadari ‘aku’ dari yang ‘mungkin’  antagonis dalam alurmu . Walau disisi lain aku berharap balik “tolong beri aku jawaban”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun