Mohon tunggu...
Suryani Amin
Suryani Amin Mohon Tunggu... -

Penyuka jalan jalan dan tulisan tentang perjalanan. Sosiolog, bekerja sebagai Konsultan untuk Adaptasi Perubahan Iklim di lembaga bantuan pembangunan Internasional di Jakarta. Menulis fiksi dan mendokumentasikan perjalanan adalah minatnya diluar pekerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saya, Media Sosial, dan Ulang Tahun

30 Agustus 2017   22:17 Diperbarui: 31 Agustus 2017   17:16 1993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya, seperti kebanyakan orang lain, punya beberapa akun media sosial didunia maya. Sangat mainstream lah pokoknya. Seperti banyak orang lain, saya mengalami masa euforia -kala di mana saya cukup aktif menunjukkan eksistensi di akun yang paling banyak diakses.

Dorongannya macam-macam. Dari keinginan pamer, menunjukkan pengalaman perjalanan lewat gambar, menginformasikan pekerjaan yang saya banggakan, membagi tulisan yang cuma ala kadarnya atau cuma "nyampah" perasaan dan mood hari itu. Sungguh tidak penting. 

Kebutuhan untuk diapresiasi dan show off yang paling dominan. Saya pikir-pikir, tidak banyak pameran teks dan gambar saya yang berpotensi menginspirasi. Bukankah medos memang diciptakan untuk mengakomodasi kebutuhan manusia untuk tampil, begitu dugaan saya.

Intensitas menggunakan medos saya perlahan menyurut seiring waktu. Untuk banyak alasan. Satu, saya pernah mengalami masa jenuh dunia maya. Saya sempat melakukan "puasa" medsos. Tekad saya waktu itu adalah menghabiskan waktu lebih banyak untuk melakukan minat yang saya suka memperbanyak baca buku, dan macam-macam tekad baik. 

Banyak waktu produktif tidak terkelola dengan baik. Lagipula, medsos sedang padat dengan ujaran kebencian, dukung mendukung kelompok dan provokasi. Sedang tidak menyenangkan. Konsekuensinya mungkin, saya ketinggalan dengan perkembangan kehidupan kawan-kawan maya saya. Padahal, kepo itu paling mudah dilakukan lewat melacak medsos seseroang. Itu satu fase. 

Di masa puasa tersebut, saya menyeleksi dunia pertemanan. Saya "membuang" kawan yang brepotensi negatif dan hanya mengiyakan ajakan pertemanan untuk lingkaran sosial yang saya anggap positif. Perkawanan saya stagnan. Sejak awal, saya memang bukan sosialita maya dengan sangat banyak teman. Pertemanan maya saya hanya masuk kategori pas-pasan saja.

Alasan kuat lain sepertinya soal usia. Saya tidak lagi merasa pantas untuk ikut gaduh di medsos. Atau, jikapun merasa perlu, saya mulai memilah apa yang ingin saya bagikan. Saya tidak sedang menyalahkan mereka yang terus beredar dan berkibar. Saya malah suka dan mendukung beberapa teman yang memanfaatkan dengan benar ruang sosial tersebut.

Tulisan yang menginspirasi, gambar-gambar bagus atau lucu, kehidupan keluarga yang bahagis, prestasi ini itu, reuni yang membahagiakan, bisnis jual beli. Kategori posting semacam itu masih jadi favorit untuk saya apresiasi dari kawan-kawan. Saya hanya merasa tak terlalu pantas memamerkan diri secara berlebihan. Padahal saya tahu, tidak banyak yang bisa dibanggakan. Saya juga mulai berpikir tentang efek yang mungkin ditimbulkan dari informasi yang saya bagikan.

Di masa yang saya sebut "puasa", sebetulnya tidak benar-benar saya lakukan. Kadang-kadang dorongan untuk pamer hal pribadi, pekerjaan, meunjukkan prestasi, capaian sulit dibendung. Juga, dorongan manusiawi untuk mengeluarkan apa yang saya pikirkan dan rasakan sering tidak tertahan. 

Juga, masih muncung rasa ingin tahu apa yang dibagikan oleh kawan dalam jaringan pertemanan. Selain itu, medsos juga jadi semacam hiburan pengisi waktu saat perjalaan atau menunggu. Meskipun saya selalu berusaha untuk masih membawa bacaan dalam bentuk cetak, tapi dorongan bermedos di ponsel memang sulit dibendung .

Akhirnya, saya memilih media yang saya anggap sedikit lebih privat. Tidak terlalu riuh dengan macam-macam isi. Penggunanya juga tidak massif. Saya kembali bermedsos secara terbatas. Sekali dua kali, saat sedang ingin saja, saya bermain di ruang ramai itu. Tetap saya pertahankan akun yang riuh tersebut sekadar untuk memelihara keberadaan di lingkaran besar dunia sosial maya. Mungkin satu hari akan saya perlukan juga. Ini hanya perkara naik-turun keinginan bermedsos. Mungkin sifatnya temporer.      

Teman saya tidak banyak, seperti yang saya akui. Kecuali kita melebarkan definisi teman barangkali. Seperti menganggap seluruh isi grup obrolan di ponsel adalah teman. Atau seluruh teman maya kita adalah teman. Bukan itu. Semakin bertambah umur, semakin saya menghargai kualitas pertemanan.

Bukan lagi jumlah. Apalagi hanya jumlah teman seperti yang didefinisikan oleh akun medsos. Di dunia nyata, saya punya sedikit kawan yang secara emosi terasa klik. Saya harap mereka juga merasa demikian. Bersama mereka, batas privasi jadi longgar. Mereka, saya percayai bisa ingat hari lahir saya tanpa pengingat sekalipun. Mereka, yang rela menunggu detik pergantian hari untuk menjadi yang pertama mengucap doa selamat. Di luar keluarga tentu saja.

Saya kenal sedikit orang yang mampu bertahan untuk tidak beredar di ruang sosial maya. Mereka merasa tidak perlu. Nyatanya, tanpa media sosial, saya tahu prestasi dan namanya harum merebak. Dari dia saya belajar, bahwa pembuktian sesungguhnya adalah pada diri sendiri. Selebihnya, akan mengikuti. Buktinya ia populer tanpa mesti berkoar, ngecap atau pamer ke mana-mana.  

Akhirnya saya harus percaya nasehat klasik bahwa apapun yang dilakukan, asal dalam porsi yang pas, tidak akan merusak. Termasuk bermedsos. Ini tepatnya sedang menasehati diri sendiri. Bukan berarti bahwa saya melakukannya sudah dalam porsi yang pas. Beberapa kawan mungkin masih menganggap saya lebay bin alay nan narsisitik dengan frekuensi saya mengganti gambar profil diri diri. Apa boleh buat, itulah dorongan manusiawi saya.  

Hal lain tentang bermedsos, saya sering membayangkan satu hari saat saya meninggal dunia. Di zaman ini, apa yang dikenang orang dari kita selain ingatan, adalah apa yang mereka ingat dan tahu melalui apa yang kita tinggalkan dalam jejak medsos kita. Jika ingat itu, saya jadi kuatir silap berkata (atau tepatnya mengetik) atau silap lain yang akan diingat orang selamanya. Kekuatiran ini mengerem saya untuk sedikit mengendalikan diri.

Terkait ulang tahun, salah satu fitur yang umum di medsos adalah memberitakan informasi pribadi hari lahir. Kelompok pertemananmu akan menerima notifikasi mengenai hari lahirmu. Biasanya berhamburanlah ucapan selamat dan teks doa-doa dan harapan mememuhi halaman akun  kita.

Dulu, saya masih begitu senang mendapatkan begitu banyak sapaan di hari lahir. Rasanya dianggap spesial, punya kawan-kawan yang masih mengingat dan menyempatkan diri menyapa. Tapi, hey come on, saya jadi sadar kalau mereka sebenarnya bukan sedang mengingat kita. Tapi diingatkan secara otomatis atas penyetelan fitur hari lahir yang kita pasang sendiri. Saya masih percaya, sedikit di antara mereka benar-benar berniat memberi selamat. Meskipun sisanya, hanya melakukan ritual rutin pergaulan maya. Doa-doa pun terasa hambar karena tidak keluar dari hati.

Beberapa tahun terakhir, saya menonaktifkan fitur pengingat hari lahir. Selain karena marasa sudah cukup tua untuk riuh dengan peringatan hari lahir, saya mencoba menghargai sentuhan personal yang diberikan. Saya bukan pengkultus perayaan hari lahir. Saya hanya percaya bahwa kita perlu momen itu untuk menghargai diri kita, mengingatkan bahwa waktu berjalan.

Kita jadi punya milestone untuk merefleksikan perjalanan hidup. Semakin tua, semakin kita menghargai sisa waktu yang kita punya. Saya girang dengan teman-teman yang mengingat tanggal itu tanpa peru dibantu pengingat. Saya menyayangi keluarga yang selalu membuatmu merasa istimewa. Karena mereka mengingat tanggal   itu tanpa perlu  diingatkan.

Seorang teman yang masuk dalam kategori klik dengan saya, pernah membagikan tulisannya. Saya  terkesan dengan pesan yang ingin disampaikan. Tentang bagaimana ia berusaha merayakan berulangnya hari lahir dalam senyap. Ia, berusaha memberi makna istimewa tanpa riuh dengan salin-menyalin ucapan selamat yang datang dari mana-mana. Dengan itu, rasa sukur nya semakin besar. Sunyi justru memberinya waktu merefleksikan perjalanan  waktu yang ia lewati. Saya terinspirasi.

Tahun ini, mengekor beberapa tahun lalu sejak saya menyetel  notifikasi ulang tahun ke posisi non-aktif, saya berharap bisa seperti kawan yang saya sebutkan itu. Saya tahu saya bisa bersyukur dan berefleksi kapan saja. Tapi punya momen khusus buat itu pasti akan lebih baik.    

Kembali ke perihal pengingat hari lahir. Saya berterima kasih saya pada mereka yang telah meluangkan waktu menulis selamat pada lini masa, atau menyalin kalimat selamat yang sama dari teman dan lain di kelompok pertemanan. Tapi saya musti bilang betapa saya merasa jauh lebih istimewa   bagi mereka yang sudah memberikan sentuhan personal pada doa selamat yang diberikan. Sesuatu yang keluar dari hati pasti terasa oleh hati.

Ulang tahun saya menjelang. Semoga saya diberi umur mencapainya. Juga tahun-tahun kedepan, semoga dalam kondisi bugar. Semoga saya dikelilingi orang-orang baik dan asik. Saya berharap seluruh orang yang saya cintai diberi ksesehatan, Saya beryukur untuk semua rezeki waktu, cinta, pekerjaaan dan kesempatan berpetualang. "Hutang-hutang" hidup saya masih banyak.

Banyak rencana, hutang budi baik yang belum terbalas, tanggung jawab yang belum tuntas, amanah yang masih perlu waktu untuk dilaksanakan,  niat baik memperbaiki diri dan target-target dunia yang tertunda. Untuk itu, saya berharap di sisa umur, akan bisa merealisasikan semua yang baik-baik itu. Jika diberi kesempatan, saya ingin menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sabar, lebih  tenang, lebih berserah.

Syukur-syukur membawa manfaat buat sekeliling. Berharap kualitas ibadah dan pengetahuan membaik. Semoga ada waktu mengoreksi kesalahan dan kekhilafan. Satu lagi, saya berharap kadar melankolik dan baperan saya bisa agak berkurang. Kalau boleh satu lagi, harapan khusus saya adalah menuntaskan satu naskah buku yang sedang saya buat dalam kualitas yang layak terbit dalam waktu dekat.

Aamiin ya Allah.

Happy birthday to me!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun