Teh, mau gorengan ?
Oh gak, makasih
Kalau tidak ingat porsi besar asupan sarapan pagi tadi di perut, niscaya saya sudah menyambar tawaran itu. Lagipula, dengan bobot tubuh yang semakin mengkuatirkan macam ini, gorengan bukan “teman baik” belakangan . Eits tapi ini sama sekali bukan cerita tentang saya dan berat badan . Sungguh bukan topik menarik. Mari akhiri disini.
Tawaran itu datang dari pedagang gorengan di gerbong wanita. Saya tidak ingat apakah dia juga meneruskan dagangan ke gerbong lain selain gerbong yang dikhusukan untuk wanita. Gerbong campur sebisa mungkin saya hindari dipagi penuh sesak. Setidaknya bisa mengamankan diri dari risiko pelecehan seksual . Baik yang disengaja maupun tidak.
Sudah beberapa kali saya bertemu orang yang sama. Dia, wanita berwajah oriental dengan berpanggul besar. Rambut panjangnya seperti biasa dikuncir. Usianya mungkin di angka awal tigapuluh tahun. Dagangannya ditaruh dalam tas berbahan terpal berukuran sedang. Satu tas kain kecil diselempangkan dibahu. Berfungsi sebagai wadah uang. Setiap kali saya lihat, selalu mengenakan celana yang membungkus erat kakinya dipasangkan dengan atasan kaos. Sandalnya teplek berbahan plastik. Kostum yang memudahkan mobilitas digerbong kereta yang sesak.
Jenis jajanannya beragam, mulai dari tahu isi, risol dan bakwan. Diluar gorengan, ada juga lontong berisi sedikit campuran tumisan wortel dan kentang . Dijual seharga tiga ribu rupiah setiap potongnya. Sedikit lebih mahal dari jajanan sejenis yang banyak disekitar stasiun. Namun terbilang wajar dengan ukuran jajanan yang lebih besar. Masih terjangkau untuk kebanyakan orang. Dari ukuran gorengan yang tidak standar standar, si teteh sepertinya memang menyiapkaan sendiri gorengannya. Atau setidaknya menerima titipan dari sumber lain.
Sejak penataan infrastruktur stasiun kereta dilakukan, para pedagang ikut ditertibkan. Tidak satupun pedagang diperbolehkan berjualan dalam kawasan stasiun. Baik pedagang yang menghuni ruko atau asongan. Nah, demi mengelabui petugas, si teteh harus berusaha sesedikit mungkin menarik perhatian . Saya pernah menyaksikan sendiri, adu argumen antara seorang wanita lain yang diduga juga berdagang dengan petugas stasiun.
Si Ibu menyangkal dituduh berdagagang. Memang tidak ada bukti barang dagangan yang ditemukan. Kecurigaan petugas hanya karena si Ibu setiap hari duduk berjam-jam ditempat yang sama di kursi tunggu bercat orens di peron. Mungkin itu sebabnya si teteh berwajah oriental ini memilih berdagang secara sembunyi-sembunyi demikian.
Si teteh berjualan didalam gerbong kereta. Pekerjaan yang tidak mudah. Di jam rusuh pagi hari, gerbong penuh sesak dengan penumpang. Si teteh harus bermanuver disela-sela penumpang tubuh. Menyisip diantara tas, bahu, pantat dan kaki. Satu tangan menenteng tumpukan gorengan yang pasti tidak ringan. Setiap langkah , sedikit berbisik ia menawarkan dagangannya.