Dia adalah seorang gadis Koto Gadang. Daena namanya, yang terpancur ke dunia di awal abad 20, di ‘zaman pantjaroba’. Ketika itu Nagari Koto Gadang sudah menjadi sebuah kampung yang maju akibat keterbukaan penduduknya dalam menerima pendidikan sekuler ala Eropa.
St. Perang Boestami dalam Pandji Poestaka no. 32, Th I, 9 Agustus 1912:1-2 menulis (ejaan disesuaikan): “Kampung yang mula-mula maju di Sumatera Barat ialah kampung Koto Gadang. Sebab itu dimana saja di Kepulauan Hindia ini adalah tersua orang Koto Gadang atau [ke]turunan Koto Gadang [yang] memegang rupa-rupa pekerjaan Gubernemen dan pekerjaan partikulir. Anak Koto Gadanglah yang sebanyak-banyaknya menjadi dokter, di antaranya ada yang bergelar Dr.”
Tapi ada yang agak ganjil di nagari yang paling maju tidak hanya di alam Minangkabau tapi juga di Sumatera itu: laki-laki Koto Gadang boleh menikah dengan perempuan dari luar nagarinya, tetapi tidak untuk kaum perempuannya.
Kaum wanita Koto Gadang hanya boleh menikah dengan lelaki Koto Gadang saja. Aturan ganjil itu ditetapkan oleh kerapatan adat nagari di lereng Ngarai Sianok itu. Para tetua adat – datuk-datuk ber-saluak timbo bertongkat ruyung berkilat bergagang suasa dan emas – mengawasi peraturan adat yang ganjil itu dengan ketat. Jika ada wanita Koto Gadang yang melanggarnya, maka dia akan mengalami nasib tragis: dibuang sepanjang adat, tidak diakui lagi sebagai orang Koto Gadang, dan diusir dari tanah tepian tempat mandinya. Artinya, dia akan berpisah selamanya dengan sanak famili dan keluarga besar matrilinealnya.
Para lelaki dari nagari-nagari lain melihat gadis-gadis Koto Gadang yang cantik-cantik itu bak beruk kehilangan jambu perawas saja....
Wanita Koto Gadang tentu takut membayangkan hidup terlunta-lunta jika melanggar aturan adat yang ketat itu. Tak ada mamak yang akan mampu membela, juga densanak lain dan andan pasemandan. Bahkan M.T.K.A.A.M (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) pun tak kuasa mencegah aturan adat yang berlaku di Koto Gadang itu, sebab ‘nagari di Minangkabau perpagar undang, kampung berpagar buat, tiap ‘lesung’ berayam gedang, salah tempuh boleh dihambat.’
Tetapi Daena…telah mengorbankan dirinya melawan adat yang diadatkan yang tiada bersalang tenggang itu… karena gadis terpelajar itu menaruh cinta yang tiada terlerai dengan seorang pemuda dari tanah seberang.
Daena adalah seorang postassistente di Medan. Sebagaimana banyak kaum terpelajar lainnya dari Minangkabau di awal abad 20, Daena merantau ke Medan selepas menamatkan sekolah sekuler di kampungnya. Sangat mungkin dia telah masuk Kweekschool Fort de Kock, sebagaimana banyak anak-anak Koto Gadang di zamannya. Dan, bagi pemuda-pemudi Koto Gadang keluaran sekolah sekuler, Bahasa Belanda sudah cas-cis-cus keluar dari mulut mereka.
Di Medan, kota yang makin marak oleh perputaran uang dari kebun-kebun tembakau dan karet di Deli dan sekitarnya, Daena tertumpah cinta kepada teman sekantornya, seorang bujang asal Jawa. Pomo, demikian nama pemuda itu, menjabat sebagai assistent post di kantor pos tempat Daena bekerja. Maka, dapatlah dibayangkan: karena sering bertemu, cinta kemudian mekar bersemi, yang akhirnya membakar dua hati sejoli itu.
Daena, gadis Koto Gadang itu, sudah tahu konsekuensi berat yang akan dihadapinya bila berani menikah dengan Pomo. Para perantau Koto Gadang, dan perantau Minangkabau di Medan pada umumnya, menasehati Daena agar mencabut akar cinta Pomo yang sudah tertanam dalam di lubuk hatinya. Tapi Daena tak kuasa....
Daena sudah tak peduli….., karena mungkin dia tahu bahwa ‘Layang-layang menyambar buih / Tampak di Pulau Angsa Dua / Kasih sayang dicari boleh / Yang ketuju jarang bersua.’
Maka,di suatu hari baik bulan pun elok, keduanya mengucapkan janji setia sehidup semati di atas pelaminan.
Dan dalam hitungan hari, melalui mulut para pedagang yang bolak-balik antara Medan dan Fort de Kock, berita tentang perkawinan Daena dan Pomo sampailah ke Koto Gadang. Para datuk pagar nagari langsung berapat di balai panjang. Hasilnya: Daena dibuang sepanjang adat, tidak diakui lagi sebagai orang Koto Gadang, dan diharamkan baginya untuk menginjakkan kaki di Koto Gadang. ‘Bukit Putus Rimba Keluang / Direndang jagung dihangusi / Di kiri jalan menuju balai / Tampak gelanggang pacu kuda // Hukum putus badan terbuang / Dipandang kampung ditangisi / Sedang larat badan merasai / Dunia dikisai orang kaya.’
“Sedih sekali bila pembatja dikasih kabar, jang kekasih dari Daena anak Djawa jang terseboet tadi soedah meninggal pada doea tahoen dahoeloe [c.1923], dan tinggallah Daena menanggoengkan nasibnja jang tidak ada ampoen-ampoennja lagi bagi orang Kota Gedang sampai sekarang djoeapoen. Kabarnja ia tinggal di tanah Djawa. Inilah jang menakoetkan perawan-perawan disana melanggar atoeran itoe, takoet terboeang dari familie dan negeri oentoek selama-lamanja”, demikian kata Parada Harahap dalam bukunya Dari Pantai ke Pantai: Perdjalanan ke-Soematra, October – Dec. 1925 dan Maart – April 1926. Weltevreden: Uitgevers Maatschappij ‘Bintang Hindia’, 1926: 77.
Gaung gita cinta Daena yang penuh derita itu, dalam nuansa yang agak berbeda, terekam pula dalam karya Hamka, MerantaukeDeli (1939). Hamka menggayutkannya pada tokoh Leman (Minangkabau) dan Poniem (Jawa). Melalui novelnya itu, Hamka mengeritik aturan adat yang mensyaratkan perkawinan endogami di Minangkabau pada masa itu.
Daena adalah “martelaares dari Kota Gedang [yang] hendak mentjoba meroentoehkan adat jang soedah tidak pada tempatnja lagi itoe. Ialah jang pertama perempoean jang jadi korban dari sana”, tulis Parada Harahap. Kini ratusan lelaki dan wanita Minangkabau memilih jodoh orang dari berbagai etnis lain. Mereka tidak menderita seperti Daena dan Leman. Akan tetapi kebanyakan keluarga kacukan hasil perkawinan antar etnis itu menghabiskan hidup mereka di rantau. Bahkan banyak yang berkubur di rantau orang. Minangkabau semakin samar dalam ruang tamu rumah-rumah mereka.
Di zaman yang makin tidak berkeruncingan ini, ingin rasanya saya (mungkin juga para pembaca) melihat Daena, dengan kisah cintanya yang menitikkan air mata itu, hadir di atas sebuah panggung sandiwara.
Leiden, awal Oktober 2016.
* Diolah kembali dari esai dengan judul yang sedikit berbeda, yang pernah terbit di harian Padang Ekspres, Minggu, 15 Februari 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H