Maka,di suatu hari baik bulan pun elok, keduanya mengucapkan janji setia sehidup semati di atas pelaminan.
Dan dalam hitungan hari, melalui mulut para pedagang yang bolak-balik antara Medan dan Fort de Kock, berita tentang perkawinan Daena dan Pomo sampailah ke Koto Gadang. Para datuk pagar nagari langsung berapat di balai panjang. Hasilnya: Daena dibuang sepanjang adat, tidak diakui lagi sebagai orang Koto Gadang, dan diharamkan baginya untuk menginjakkan kaki di Koto Gadang. ‘Bukit Putus Rimba Keluang / Direndang jagung dihangusi / Di kiri jalan menuju balai / Tampak gelanggang pacu kuda // Hukum putus badan terbuang / Dipandang kampung ditangisi / Sedang larat badan merasai / Dunia dikisai orang kaya.’
“Sedih sekali bila pembatja dikasih kabar, jang kekasih dari Daena anak Djawa jang terseboet tadi soedah meninggal pada doea tahoen dahoeloe [c.1923], dan tinggallah Daena menanggoengkan nasibnja jang tidak ada ampoen-ampoennja lagi bagi orang Kota Gedang sampai sekarang djoeapoen. Kabarnja ia tinggal di tanah Djawa. Inilah jang menakoetkan perawan-perawan disana melanggar atoeran itoe, takoet terboeang dari familie dan negeri oentoek selama-lamanja”, demikian kata Parada Harahap dalam bukunya Dari Pantai ke Pantai: Perdjalanan ke-Soematra, October – Dec. 1925 dan Maart – April 1926. Weltevreden: Uitgevers Maatschappij ‘Bintang Hindia’, 1926: 77.
Gaung gita cinta Daena yang penuh derita itu, dalam nuansa yang agak berbeda, terekam pula dalam karya Hamka, MerantaukeDeli (1939). Hamka menggayutkannya pada tokoh Leman (Minangkabau) dan Poniem (Jawa). Melalui novelnya itu, Hamka mengeritik aturan adat yang mensyaratkan perkawinan endogami di Minangkabau pada masa itu.
Daena adalah “martelaares dari Kota Gedang [yang] hendak mentjoba meroentoehkan adat jang soedah tidak pada tempatnja lagi itoe. Ialah jang pertama perempoean jang jadi korban dari sana”, tulis Parada Harahap. Kini ratusan lelaki dan wanita Minangkabau memilih jodoh orang dari berbagai etnis lain. Mereka tidak menderita seperti Daena dan Leman. Akan tetapi kebanyakan keluarga kacukan hasil perkawinan antar etnis itu menghabiskan hidup mereka di rantau. Bahkan banyak yang berkubur di rantau orang. Minangkabau semakin samar dalam ruang tamu rumah-rumah mereka.
Di zaman yang makin tidak berkeruncingan ini, ingin rasanya saya (mungkin juga para pembaca) melihat Daena, dengan kisah cintanya yang menitikkan air mata itu, hadir di atas sebuah panggung sandiwara.
Leiden, awal Oktober 2016.
* Diolah kembali dari esai dengan judul yang sedikit berbeda, yang pernah terbit di harian Padang Ekspres, Minggu, 15 Februari 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H