Permintaan KBRI ini tentu terkait dengan program yang sudah dicanangkan oleh Presiden Jokowi untuk memanfaatkan dan mengajak diaspora Indonesia membangun bangsa dan negara kita. Apa yang dilakukan oleh KBRI Den Haag, dan tentunya juga KBRI-KBRI di negara-negara lain, merupakan realisasi dari salah satu rekomendasi dalam Kongres Diaspora Indonesia I, yaitu membentuk Desk Diaspora di Kementerian Luar Negeri yang eksekusinya dilakukan oleh kedutaan-kedutaan kita di luar negeri.
Soal dwikewarganegaraan
Kasus Arcandra Tahar telah memunculkan lagi wacana seputar dwikewarganegaraan (kewarganegaraan ganda) yang dulu sudah pernah sampai ke DPR tapi kemudian tak jelas kelanjutannya. Sebenarnya isu ini sudah muncul pula sebagai salah satu rekomendasi dalam Kongres Diaspora Indonesia II, karena pertimbangan bahwa di antara diaspora Indonesia yang tinggal di berbagai negara, banyak yang sudah berganti kewarganegaraan, seperti Arcandra Tahar, selain mereka yang memegang green card.
Dalam tahun-tahun terakhir ini Pemerintah sudah mensosialisasikan kembali wacana mengenai dwikewarganegaraan ini. Beberapa waktu yang lalu di Belanda, misalnya, diadakan diskusi mengenai hal ini yang difasilitasi oleh KBRI Den Haag. Akan tetapi, dengan munculnya kasus Arcandra Tahar, tampaknya wacana ini menjadi isu hangat yang menuai pro-kontra di tanah air.
Dari seliweran diskusi dan pergunjingan di media mengenai isu ini, dapat dikesan adanya semacam tuduhan bahwa kasus Arcandra dimunculkan oleh Pemerintah untuk memancing reaksi publik mengenai kemungkinan bagi Indonesia membuat perjanjian dwikewarganegaraan dengan negara-negara tertentu (dalam hal ini langsung dihubungkan dengan Cina; lihat antara lain: http://www.pos-metro.com/2016/08/uu-dwi-kewarganegaan-disahkan-china.html; dikunjungi 21-08-2016).
Ini jelas berkaitan juga dengan kedatangan banyak pekerja ilegal asal Cina di Indonesia akhir-akhir ini. Ada yang berpendapat bahwa jika sampai Pemerintah membuat perjanjian dwikewarganegaraan dengan Cina (atau negara-negara lain), maka hal itu dapat mengancam kedaulatan Indonesia.
Mungkin disebabkan oleh faktor sejarah (karena lama dijajah oleh bangsa asing), tampaknya Indonesia sulit membuka peluang untuk membuat perjanjian dwikewarganegaraan dengan negara-negara tertentu, walau dengan negara-negara sahabat sekalipun. Orang Indonesia sangat sensitif dan gampang curiga terhadap isu dwikewarganegaraan ini.
Orang mungkin lupa bahwa sebenarnya Pemerintah Indonesia pernah membuat perjanjian dwikewarganegaraan dengan dengan Republik Rakyat Tiongkok (sekarang Republik Rakyat Cina) pada tahun 1955, di masa Pemerintahan Presiden Sukarno (lihat: niadilova.wordpress.com; dikunjungi 19-08-2016).
Jangan dianggap sebagai musuh
Saya setuju dengan pendapat Ketua Dewan Daspora Indonesia Global Dino Patti Djalal dalam artikelnya di Media Indonesia (Sabtu, 20 Agustus 2016:6) bahwa diaspora Indonesia mengandung potensi ekonomi yang besar. Sebagai gambaran, mengutip Dino: “Dari jumla [6 juta orang diaspora Indonesia yang memegang paspor WNI], 2 juta adalah TKI yang secara konsisten menyumbang 130 trilyun rupiah lebih ke tanah air – dan dikirim langsung ke desa dan keluarga mereka sehingga dampaknya sangat riil di lapangan.Jumlah devisa TKI sendiri lebih besar dari seluruh jumlah investasi asing di Indonesia.”
Kini Presiden Jokowi menyadari bahwa di samping sumbangan ekonomi langsung diaspora Indonesia melalui kiriman para TKI itu, juga ada potensi besar sumbangan pengetahuan yang berasal dari diasporan Indonesia yang terdidik yang bekerja di berbagai negara asing yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah Indonesia untuk membangun bangsa dan negara Indonesia.