Tak salah rasanya ungkapan Minangkabau klasik: “dek ameh sagalo kameh, dek padi sagalo jadi” (‘Oleh emas segalanya kemas, oleh padi segalanya jadi / segala yang direncanakan dapat diwujudkan’).
Mungkin harus ditelusuri lebih jauh, apakah contoh dari semua varietas padi lokal Sumatera itu ada tersimpan di Belanda sekarang, seperti di Zoölogisch Museum Amsterdam atau mungkin di tempat lain. Saya bermimpi, pada suatu hari varietas-varietas padi lokal Sumatera itu dapat di-cloning dan ditanam kembali di tempat asalnya. Siapa tahu kita dapat melihat lagi berbagai jenis padi yang tinggi-hijau dan lebat-rimbun daunnya. Saking tingginya, konon dulu banyak pejuang Republik dapat bersembunyi di antara rumpun-rumpun padi di tengah sawah yang luas ketika mereka dikejar oleh tentara Belanda.
Catatan: Versi cetak esai ini, dalam versi yang lebih singkat, terbit di harian Padang Ekspres, Sabtu, 3 Juli 2010.
Dr. Suryadi, MA.
Staf pengajar Department of South and Southeast Asian Studies
Institute for Area Studies, Universiteit Leiden, Belanda
(http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi)
(https://niadilova.wordpress.com/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H