Pada tahun 1877-1879 satu tim ekspedisi ilmiah dari Belanda menjelajahi pedalaman pulau Sumatera, mulai dari Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi sampai Sumatera Barat. Dalam tim itu bergabung para sarjana dari berbagai displin ilmu, seperti botani, etnologi, bahasa, geografi, zoologi, dan etnomusikologi.
Dua orang peneliti utama dalam riset berskala cukup besar yang berjudul Sumatra-Expeditie itu adalah A. L. van Hasselt dan Johannes François Snelleman. Ekspedisi itu berlangsung berbulan-bulan menembus hutan, gunung, lembah, dan sungai (seperti Sungai Batanghari) di sepanjang Bukit Barisan, dipandu oleh beberapa beberapa pemuka adat dan diperlengkapi dengan persediaan bahan makanan dan alat-alat perabotan yang dipikul oleh puluhan penduduk lokal (lihat Foto 2).
Dalam Bab 10 dari jilid dari seri laporan penelitian tersebut yang berjudul Volksbeschrijving van Midden-Sumatra (‘Deskripsi tentang penduduk pedalaman Sumatera’) (1882) antara lain dideskripsikan tentang pertanian (landbouw). Dalam bab itu terdapat senarai nama jenis-jenis padi yang ditanam penduduk di pedalaman Minangkabau (halaman 337-41). A.L. van Hasselt dan kawan-kawan mencatat ratusan nama varietas padi yang ditanam penduduk di pedalaman Minangkabau. Dapat dibayangkan, betapa kayanya pulau Sumatera dengan varietas padi lokal di masa lampau.
Tim Sumatra-Expeditie antara lain mengadakan pendataan nama-nama varietas padi yang ditanam oleh penduduk di beberapa nagari di pedalaman Minangkabau. Setiap nagari dicatat pula ketinggian letak geografisnya dari permukaan laut: Aia Dingin (1519 meter di atas permukaan laut), Aijië-Loeô (tertulis demikian) (317), Alahan Panjang (1517), Batu Bajanjang (587), Data (700), Garabak (720), Pasia Talang (450), Rangkiang Luluih (540), Sălimpè (tertulis demikian) (1420), Sariak Alahan Tigo (911), Sungai Abu (640), Sungai Nanam (1500), Supayang (685) dan Talang Babungo (1177).
Membaca nama-nama varietas padi yang dicatat oleh tim Sumatra-Expeditie itu (ada 139 varietas yang dicatat), saya teringat kembali ke masa kecil saya di Sunur, Pariaman, yang mempunyai areal persawahan luas. Saya masih ingat beberapa nama varietas padi yang disebutkan dalam daftar itu. Pada masa itu banyak varietas padi lokal di Sumatera masih ditanam oleh penduduk, sebelum pelan-pelan menghilang di tahun1980an akibat kebijakan Pemerintah Orde Baru dengan program ‘swasembada pangan’nya, di samping oleh faktor perubahan alam dan lingkungan.
Di Supayang, misalnya, tim Sumatra-Expeditie mencatat varietas Aia ameh, Bijau lagundi, Kawek dan Santok. Di Pasia Talang ditemukan banyak varietas, yaitu: Ambun, Arai, Arai galundi*, Arai karambia*, Arai cinaku, Babijau*, Bungo ambacang, Buah siriah aia, Bonai, Julai, Gagak*, Gandan Aceh*, Gando Aceh, Gando baiak, Gatah jantuang, Kalupak jantuang, Karek, Karek babijau*, Lauik*, Lumuik*, Lunak aluih, Lunak nan gadang, Lunak nan kaciak*, Mayang karambia, Pagam, Payo, Sirandah kutu, Sirandah labek buah, Sulasiah, Tandan biluluak*, Calak, Cinaku, Samek siriah, Santan, Siang kalam dan Siang kalam nan gadang.
Di Aijië-Loeô (Aia Luo?) ditemukan varietas Anak ulek, Bungo giliang, Gando sariak, Harun nasi, Karah, Labek, Liek nan gadang, Urek baringin, Sirandah cupak, Tambu ruok dan Carai. Di Aia Dingin ditemukan varietas Kuriak kaciak. Di nagari Data penduduk banyak menanam varietas Baiak, Banta, Gando rawang, Gumanti, Manau, Sari bonai dan Sari rani. Sedangkan di Talang Babungo ditemukan varietas Bajue (ejaan sekarang: ‘Bayua’).
Di nagari Sălimpè (mungkinkah yang dimaksud nagari Salimpauang?) ditemukan varietas Balumuik, Ladang godok, Dukuang, Ladang siamang, Ladang sirah, Pilangek, Siarang talang dan Siladang gadang. Di Batu Bajanjang ditanam varietas Barau dan Lilin. Di Alahan Panjang tumbuh varietas Jintan dan Siamang. Sedangkan di Rangkiang Luluih ditemukan varietas Gandok dan Itam.
Di nagari Garabak ditanam varietas Induak ayam, Kapencong, Karambia, Mato harimau dan Tanjuang lolo. Di Sungai Abu terdapat varietas Lamak, Sirah barantai dan Samek. Sedangkan di Sungai Nanam penduduk lokal banyak menanam varietas Sawah dan Sawah barek.
Beberapa varietas ditemukan di lebih dari satu nagari: Jangguik* (Rangkiang Luluih, Pasia Talang); Gandosasak (Aijië-Loeô, Sungai Abu, Pasia Talang); Kaciak (Batu Bajanjang, Sălimpè); Kubuang (Data, Pasia Talang); Kuniang (Aijië-Loeô, Supayang, Batu Bajanjang, Sungai Abu, Salimpek, Talang Babungo); Kuriak (Aijië-Loeô, Alahan Panjang); Kurito (Sungai Abu, Sălimpè); Kutu (Talang Babungo, Pasia Talang); Ladang (Aia Dingin, Sariak Alahan Tigo, Singai Nanam); Ladang puti (Alahan Panjang, Sălimpè); Udang (Aijië-Loeô, Data); Puti (Sungai Abu, Sălimpè, Talang Babungo); Rotan (Talang Bangungo, Alahan Panjang); Sari manih (Aijië-Loeô, Supayang); Siarang (Aia Dingin, Sungai Abu, Sălimpè, Talang Babungo, Sungai Nanam); Sirah (Garabak, Alahan Panjang, Sungai Abu); Sirandah (Aijië-Loeô, Rangkiang Luluih, Pasia Talang); Sirandah baru (Aijië-Loeô, Rangkiang Luluih, Pasia Talang); dan Candai (Aijië-Loeô, Supayang).
Varietas pulut (Sipuluik)
Sekarang kita hanya mengenal dua jenis beras pulut (Bahasa Minang: ‘sipuluik’) saja: yaitu sipuluik putiah (yang biasa dibuat jadi katan dan lamang) dan sipuluik itam (yang biasa dibuat jadi tapai ; lihat Foto 1). Namun, dulu rupanya ada lusinan varietas padi pulut yang hidup di pulau Sumatera, khususnya di dataran tinggi Minangkabau.
Van Hasselt dkk. mencatat, di Sungai Nanam ditemukan varietas Sipuluik dan Sipuluik aluih. Di Rangkiang Luluih ditanam Sipuluik babak, Sipuluik duo baleh dan Sipuluik saruik. Di Sariak Alahan Tigo penduduk banyak menanam varietas Sipuluik godok.
Di Pasia Talang ditemukan banyak varietas pulut: Sipuluik Batang Hari*, Sipuluik bui, Sipuluik itam nan gadang*, Sipuluik kambang, Sipuluik kuku balam, Sipuluik ruyuang, Sipuluik saga*, Sipuluik sangaik labek, Sipuluik siamang, Sipuluik nata nan gadang, Sipuluik silarian, Sipuluik sirah dan Sipuluik suto.
Di Aijië-Loeô ditemukan varietas Sipuluik gundo, Sipuluik mato harimau, Sipuluik suri dan sipuluik siarang. Kemudian ada pula varietas Sipuluik itam batang (Sungai Abu), Sipuluik lilin (Batu Bajanjang), Sipuluik merah (Supayang), Sipuluik samato (Data), Sipuluik samek (Talang Babungo) dan Sipuluik situka (Garabak).
Beberapa varietas pulut tumbuh di lebih satu daerah, seperti: Sipuluik jangguik (Alahan Panjang, Sălimpè, Sungai Abu, Talang Babungo); Sipuluik itam (Rangkiang Luluih, Pasia Talang); Sipuluik ladiang (Aia Dingin, Sălimpè); Sipuluik nata (Batu Bajanjang, Pasia Talang); Sipuluik tali (Supayang, Talang Babungo, Pasia Talang); Sipuluik tarok (Aijië-Loeô, Alahan Panjang; dan Sipuluik tulang* (Aijië-Loeô, Batu Bajanjang dan Pasia Talang).
Kini hampir semua varietas padi lokal hasil dari kekayaan alam pulau Sumatera itu sudah punah. Seiring dengan program swasembada pangan yang dicanangkan oleh Pemerintahan Orde Baru di tahun 1980-an, didatangkanlah varietas padi baru dari luar, hasil dari utak-atik agro industri bangsa-bangsa maju. Varietas baru itu lebih cepat dapat dipanen. Sedangkan varietas-varietas padi lokal yang batangnya tinggi-tinggi dan bulirnya besar-besar itu tidak ditanam lagi karena usianya cukup panjang sebelum dapat dipanen, jadi dinilai tidak efektif untuk mencapai swasembada pangan.
Keterbelakangan bangsa Indonesia dalam teknologi pertanian melenyapkan kesempatan bagi kita untuk membudidayakan varietas-varietas padi unggul yang pernah hidup subur di tanah Sumatera sendiri. Campur tangan manusia terhadap alam, ditambah lagi dengan pemakaian pestisida yang tidak terkontrol, telah memu(s)nahkan banyak varietas padi asli dari Sumatera itu. Sekarang kita tergantung kepada beras impor (juga buah impor, daging impor, dll.). Dan segelintir jenis padi masa sekarang tak kuat menghadapi serangan hama wereng dan keong mas. Inilah cerita miris dan ironis dari sebuah negara agraris terbesar di Asia Tenggara!
Dengan menginformasikan kembali nama-nama padi itu, yang saya kira elok pula dicatat oleh para pekamus, paling tidak kita mendapat gambaran betapa subur dan kayanya pulau Sumatera dengan berbagai varietas padi di masa lampau. Padi-padi itulah yang mengisibubungi rangkiang-rangkiang rumah gadang-rumah gadang Minangkabau pada masa lampau, tempat persediaan pangan yang tak pernah kurang, tempat dagang lalu minta makan.
Tak salah rasanya ungkapan Minangkabau klasik: “dek ameh sagalo kameh, dek padi sagalo jadi” (‘Oleh emas segalanya kemas, oleh padi segalanya jadi / segala yang direncanakan dapat diwujudkan’).
Mungkin harus ditelusuri lebih jauh, apakah contoh dari semua varietas padi lokal Sumatera itu ada tersimpan di Belanda sekarang, seperti di Zoölogisch Museum Amsterdam atau mungkin di tempat lain. Saya bermimpi, pada suatu hari varietas-varietas padi lokal Sumatera itu dapat di-cloning dan ditanam kembali di tempat asalnya. Siapa tahu kita dapat melihat lagi berbagai jenis padi yang tinggi-hijau dan lebat-rimbun daunnya. Saking tingginya, konon dulu banyak pejuang Republik dapat bersembunyi di antara rumpun-rumpun padi di tengah sawah yang luas ketika mereka dikejar oleh tentara Belanda.
Catatan: Versi cetak esai ini, dalam versi yang lebih singkat, terbit di harian Padang Ekspres, Sabtu, 3 Juli 2010.
Dr. Suryadi, MA.
Staf pengajar Department of South and Southeast Asian Studies
Institute for Area Studies, Universiteit Leiden, Belanda
(http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi)
(https://niadilova.wordpress.com/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H