Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Perasaan Orang Muda dalam Pantun Minangkabau

10 Juli 2016   03:47 Diperbarui: 10 Juli 2016   16:00 3340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana ditemukan di banyak tempat lainnya di dunia Melayu-Nusantara, pantun adalah salah satu ekpresi seni verbal yang dikenal luas dalam tradisi lisan Minangkabau. Orang Minangkabau memakai pantun dalam berbagai keperluan: misalnya dalam menceritakan kaba, seperti dalam sastra lisan rabab Pariaman, rabab Pasisia, dendang Pauah, bataram, dan randai; dalam jenis sastra lisan yang bukan kaba, seperti pidato adat dan pasambahan, bagurau, dan batintin; dan yang terus bertahan sampai kini adalah dalam lagu pop Minang. Banyak teks lagu pop Minang sekarang tetap mengandung unsur pantun, meskipun dari segi estetika pantun-pantun yang terdapat dalam lagu pop Minang kontemporer terasa agak ‘hambar’ dibanding estetika pantun-pantun Minangkabau klasik.

Selama ini baru pantun-pantun adat Minangkabau yang sering diekplorasi untuk kepentingan pendidikan adat atau penelitian, misalnya dalam buku Idrus Hakimy Dt. Rajo Pangulu (1978, 1984) dan Darwis SN Sutan Sati yang menulis buku Keajaiban Pantun Minang: Arti dan Tafsir (2005). Beberapa kepustakaan klasik seperti “Vijftig Minangkabausche pantoens met eene verklarende wordenlijst” dalam Tijdschrift Bataviaasch Genootschap 21 (1875: 480-533) oleh L.K. Harmsen, juga terfokus pada pantun adat Minangkabau.

Tampaknya yang kurang diketahui selama ini adalah bahwa salah satu jenis pantun Minangkabau yang cukup banyak jumlahnya adalah pantun muda. Isinya tentu merefleksikan alam pergaulan muda-mudi Minangkabau di masa lampau, yang tentu saja terkait dengan cinta dan asmara.

Dalam artikel ini saya mencoba membicarakan sedikit pantun-pantun muda Minangkabau itu berdasarkan koleksi beberapa naskah pantun Minangkabau yang kini tersimpan di Leiden University Library, Belanda, seperti naskah Or.5925, Or.5926, Or.5928, Or.5948, Or.5951, Or.2952, Or.5954, Or.5959, Or.5962, dan Or. 5964, yang umumnya ditulis pada akhir abad ke-19. Naskah-naskah tersebut, yang lusinan jumlahnya, sampai ke Leiden University Library berkat pengarsipan yang telaten dari seorang sarjana Belanda yang sangat tertarik kepada kebudayaan Minangkabau: Ch.A. van Ophuijsen. Naskah-naskah tersebut, yang oleh Van Ophuijsen disebut ‘schoolschriften’ (lihat Gambar 1, 2, dan 3), umumnya ditulis oleh murid-murid atau mantan-mantan murid Sekolah Raja (Kweekschool) Fort de Kock (sekarang: Bukittinggi).

Barangkali di masa lampau pantun muda ini juga dipakai dalam kontak-kontak langsung antara muda-mudi dalam kesempatan tertentu, seperti dalam pesta perkawinan, pesta panen, atau dalam tradisi basijontiak yang dikenal di Luhak 50 Koto.

Tema pantun-pantun muda Minangkabau itu merupakan bagian dari apa yang disebut oleh R.J. Chadwick (1986) sebagai ‘heroic biography’lelaki Minangkabau. Pantun-pantun Minangkabau, menurut Chadwick, merepresentasikan gejolak jiwa lelaki Minangkabau: keinginan untuk merantau dan kegamangan perasaan mereka ketika hendak meninggalkan kampung, sakit-senang yang dialami di perantauan (termasuk kerinduan kepada keluarga matrilineal dan kekasih hati yang ditinggalkan di kampung), persaingan dalam mencari jodoh yang sangat diwarnai oleh ideologi materialisme, dan ekpresi keinginan untuk pulang kembali ke ranah bunda (homeland). Dalam pantun-pantun Minangkabau itu juga terefleksi pandangan dan harapan orang di kampung terhadap para perantau.

Estetika pantun Minangkabau berbeda dengan estetika pantun Melayu. Dalam tulisannya yang lain, “Unconsummated Metaphor in the Minangkabau Pantun” (Majas tak sempurna dalam pantun Minangkabau) (Indonesia Circle 62, 1994:83-113), Chadwick mengatakan: “Sulitnya menafsirkan pantun Minangkabau terletak pada watak bahasa yang digunakan yang sangat samar dan susah dipahami. Orang harus memahami konteks budaya dan sosial pantun secara keseluruhan untuk menafsirkan pantun tertentu, dan orang perlu tahu apakah arti pantun itu secara umum” (terjemahan Suryadi).

Hal itu juga terefleksi dalam pantun-pantun Muda Minangkabau yang sangat pekat dengan berbagai perlambangan dan metafora. Baik perempuan maupun laki-laki dilambangkan dengan berbagai jenis burung/unggas, benda langit dan jenis-jenis logam mulia dan jenis-jenis kain.

Metafora dan makna konotatif adalah suatu keharusan dalam pantun Minangkabau. Dalam pepatah-petitih Minangkabau dikatakan ‘kato baumpamo, rundiang bakiasan’ (kalau berkata-kata harus memakai perumpaan, kalau berunding harus memakai kata-kata kiasan). Orang yang tidak mampu memakaikannya dianggap bebal, karena ‘manusia tahan kieh, binatang tahan palu.’ (manusia tahan kias, binatang tahan palu). Dengan kata lain, dalam berkata-kata yang dianggap mencerminkan kepiawaian, orang harus pintar melemparkan dan menangkap yang tersirat di balik yang tersurat atau yang disampaikan secara lisan. Simak misalnya dalam kutipan pantun muda di bawah ini:

Balayia kapa ka Puruih,

Singgah lalu ka Balai Cino,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun