Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PPI Belanda di Zaman Orde Lama

8 Juli 2016   16:08 Diperbarui: 19 Juli 2016   05:55 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 6: Halaman depan salah satu edisi Chattulistiwa/De Evenaar. (Courtesy: Leiden University Library, Belanda).

PPI Belanda yang terbentuk tahun 1952 itu memiliki misi utama: mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini dapat dikesan dari banyak diskusi di antara anggotanya sendiri yang dicatat dalam edisi-edisi Ganeça. Ini jelas berbeda dengan misi PI yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajah (Belanda), dan misi PH yang antara lain meminta perhatian Pemerintah Kolonial Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi Hindia Belanda dan memberikan peluang yang lebih besar kepada mereka untuk meraih pendidikan serta menuntut agar kaum terpelajar pribumi diberi kesempatan yang lebih luas untuk ikut dalam pemerintahan dalam negeri (Binnenlands Bestuur).

Membaca edisi-edisi Ganeça, diperoleh pula kesan bahwa PPI Belanda yang lahir tahun 1952 itu lebih ‘independen’, dalam arti bahwa walaupun mereka disekolahkan oleh Pemerintah Indonesia, mereka tetap kritis terhadap pemerintah. Demikianlah umpamanya, Ketua PPI Belanda terpilih untuk periode kepengurusan 1956/1957, Basuki Gunawan (lihat Gambar 3), menyampaikan pidato inaugurasinya yang berjudul “Tentang Krisis Pimpinan” yang mengkritisi perseteruan politik yang makin menajam di antara pemimpin-pemimpin nasional di Tanah Air yang menurut pandangannya dapat mengancam keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia yang masih muda itu (lihat: Ganeça, No. 1, Tahun ke-V, Desember 1956: 7-12). Sebuah telegram dan sepucuk surat kawat juga dikirimkan oleh PPI Belanda kepada Presiden Soekarno yang mengingatkan beliau untuk berlaku bijak dalam menangani gejolak separatisme yang muncul di beberapa daerah, disertai dengan komentar berjudul 'Bung Karno, Quo Vadis?' yang dimuat dalam Ganeça, No. 2, Tahun ke-V, Februari 1957: 3. PPI Belanda juga sangat peduli dengan isu-isu politik internasional. Seorang mahasiswa dengan pseudonym ‘Kinantan’, misalnya, menulis artikel yang berjudul “Apakah Itu Negara Israel?’ dan berpendapat: “Selama Israēl masih membiarkan adanya kepintjangan2 dinegara mereka jang sangat mentjolok mata itu[,] Republik Indonesia jang mengakui dasar2 patja sila tak seharusnja mengakui kedaulatan negara Israēl terhadap tanah dan pennduduknja.” (Ganeça, Ibid.: 14-19, kutipan di hlm. 19). PPI Belanda juga memprotes penindasan yang dilakukan penguasa Hongaria dan Mesir terhadap rakyatnya. Dalam Kongres mereka di Wassenaar (10 November 1956), PPI Belanda “menjatakan protes keras terhadap penindasan manusia atas jang terdjadi di Mesir dan Hongaria.” (Ganeça, Ibid.: 13).

Adapun dalam soal-soal internal organisasi, hal-hal yang dialami oleh PPI Belanda tahun 1950an dan ‘60an ini kurang lebih sama dengan yang dialami oleh organisasi mahasiswa Indonesia terdahulu dan yang hadir belakangan, seperti rendahnya partisipasi para anggota, persoalan dana, dan perbedaan pandangan politik yang kadang-kadang menimbulkan friksi. Namun demikian, hal itu tentu tidak perlu dilihat sebagai sesuatu yang negatif, sebab persoalan-persoalan seperti itu adalah hal yang biasa terjadi dalam banyak organisasi mahasiswa. PPI Belanda tahun 1950an dan ‘60an tampaknya juga aktif dalam forum-forum kemahasiswaan di tingkat internasional, tapi terkesan tidak tergantung lagi kepada patron-patron Belanda seperti di zaman PH dan PI.

Sekedar Saran

Dari uraian di atas, ada beberapa saran yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh PPI Belanda sekarang. Seperti sudah saya katakan di atas, saran ini boleh diterima dan tentu saja juga boleh ditolak.

  1. Dilihat dari karakteristik dan misinya, PPI Belanda yang lahir tanggal 19 April 1952 lebih tepat dijadikan titik awal untuk menentukan “usia biologis’ PPI Belanda sekarang, karena PPI Belanda yang terbentuk pada tanggal 19 April 1952 itu punya misi mengisi kemerdekaan Indonesia, tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Misi itu jelas diemban pula oleh PPI Belanda sekarang. Sedangkan PI yang lahir di akhir 1922 lebih tepat disebut titik awal untuk merujuk akar hostoris PPI Belanda sekarang. PPI kelahiran 1952 itu memiliki cabang-cabang yang independen di beberapa kota Belanda, seperti halnya PPI Belanda sekarang. Ini berbeda dengan sistem organisasi PI yang hanya bersifat tunggal di mana para belajar Indonesia (masih sering disebut ‘Hinda Belada’ pada waktu itu ) yang belajar di berbagai universitas dan kota-kota yang berbeda di Belanda langsung menjadi anggotanya.

  2. Tanggal 19 April 1952 mungkin dapat pula dijadikan sebagai dasar perhitungan lahirnya empat cabang PPI Belanda, yaitu PPI Amsterdam, PPI Leiden, PPI Delft, dan PPI Utrecht. Dan tanggal 12 Juli 1952 dapat dianggap sebagai awal berdirinya PPI Rotterdam. Sedangkan tahun 1922 (tarikh kelahiran PI) tentu dapat dijadikan dasar pijakan historis masing-masing cabang itu. Dalam kaitannya dengan hal ini, menarik juga melihat dinamika hubungan PPI Belanda sekarang dengan PPI-PPI kota. Seakan mengikuti transformasi politik di Tanah Air yang bergerak ke arah otonomi daerah, sekarang ini PPI Belanda hanya serstatus sebagai koordinator, sedangkan PPI-PPI kota berdiri independen. Mungkin oleh karena itulah mereka cenderung memakai kata 'perhimpunan' ketimbang 'persatuan' sebagaimana dipakai di tahun 1950an dan 1960an.  

  3. Perlu kiranya dilakukan penelitian historis yang mendalam dan ekstensif tentang sejarah PPI Belanda. Sejauh ini yang sudah cukup sering dikaji adalah sejarah perhimpunan-perhimpunan mahasiswa (asal) Indonesia dalam periode sebelum kemerdekaan, khususnya PI dan sedikit PH, seperti Van Leeuwen (1985), Harry Poeze (2008), dan Stutje (2015). Penelitian perlu dilanjutkan ke periode setelah kemerdekaan. Periode kemerdekaan ini pun harus dibedakan antara Zaman Orde Lama dan Zaman Orde Baru. Munculnya majalahbaru PPI Belanda Suluh pada paroh kedua 1960an tak lepas dari dinamika politik Indonesia yang juga memmpengaruhi kalangan mahasiswa Indonesia di luar negeri. Harus diakui bahwa dinamika PPI Belanda selepas kemerdekaan sampai sekarang belum diteliti secara mendalam. Hal yang sama terjadi juga pada PPI Dunia. Oleh karena itu kajian sejarah terhadap PPI Dunia perlu pula dilakukan. Diharapkan akan ada mahasiswa Indonesia sendiri yang mau mengkaji sejarah PPI Belanda dan/atau sejarah PPI Dunia untuk tingkat disertasi. Depdikbud RI tentu perlu mendukung penelitian tentang sejarah perkumpulan mahasiswa Indonesia di luar negeri ini.

  4. PPI Belanda, baik pusat maupun cabang-cabangnya, sebaiknya melakukan pendokumentasian yang detail dan membuat pengarsipan yang rapi mengenai kegiatan-kegiatan mereka dan hal apapun yang terkait dengan mahasiswa Indonesia di Belanda. Bahan-bahan yang didokumentasikan dan diarsipkan oleh pengurus PPI dari satu periode harus diserahkan ke pengurus periode berikutnya. Alangkah baiknya pula satu kopiannya diserahkan ke satu perpustakaan di Belanda atau ke Kedubes Indonesia di Den Haag. Di zaman internet sekarang tentu bisa pula dibuat bank data yang lengkap secara online yang memuat aneka informasi tentang PPI Belanda. Dengan demikian, dokumen-dokumen sejarah tentang PPI Belanda dari satu kepengurusan ke pengurusan berikutnya akan tersimpan dengan baik dalam waktu yang lama.

Tentang Majalah Chattulistiwa/De Evenaar

Chattulistiwa/De Evenaar adalah salah satu majalah yang banyak mendokumentasikan kegiatan PPI Belanda pada tahun 1950an sampai awal 1960an. Berbeda dengan Ganeça, Chattulistiwa/De Evenaar diusahakan oleh orang Belanda. Pada judulnya tertulis: Chattulistiwa/De Evenaar: Mandelijks Contact-Orgaan van en voor Studenten uit Indonesia in Europa. Tapi sebelumnya disebutkan bahwa media ini adalah “Mandelijks Contact met Oosterse Studenten in Europa”. Majalah ini pertama kali terbit tahun 1947. Judul edisi-edisi awal hanya mencantumkan kata ‘De Evenaar’ saja. Kemudian, sekitar tahun 1952 pada judulnya ditambahkan terjemahan Indonesia kata ‘De Evenaar, yaitu ‘Chattulistiwa’ (ditulis dengan dua huruf ‘t’) (lihat: Chattulistiwa/De Evenaar, 5e Jaargang, No. 6, April 1952). Chattulistiwa/De Evenaar tampaknya mengemban misi pengkristenan. Hal itu terefleksi jelas pada edisi-edisi majalah ini sebelum 1950, yang memakai lambang salib (Gambar 6)Sudah lama terdengar adanya pendekatan yang dilakukan oleh misi Kristen terhadap para pelajar Indonesia yang beragama Islam (lihat: Tjok, “Tiba di Negeri Belanda [1937]”, Pantjaran Amal. Madjallah Moehammadijah Tjabang Betawi, No. 19, 1937: 493-494; https://niadilova.wordpress.com/2016/03/17/kilas-balik-tiba-di-negeri-belanda-1937/; diakses 8-07-2916). Belum diperoleh informasi kapan Chattulistiwa/De Evenaar terakhir kali terbit.  Studi kepustakaan yang penulis lakukan menunjukkan bahwa paling tidak Chattulistiwa/De Evenaar masih terbit sampai tahun 1961.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun