Rupanya penghuni rimba-rimba raya (hutan-hutan hujan) Sumatera yang disebut orang pendek ini sudah sejak awal abad 20 menarik perhatian dunia ilmu pengetahuan Barat. Hal ini memicu perburuan terhadap makhluk ini. Media melaporkan bahwa beberapa ilmuwan Eropa (antara lain dari Belgia) berkeinginan memperoleh contoh makhluk ini untuk dijadikan objek penelitian.
Bahkan perserikatan ilmuwan Belgia berani membayar “seratoes riboe roepiah” dan “[l]ebih jaoeh gedoeng artja [museum] di Amérika soeka membeli benda [tubuh orang pendek] itoe semilioen dollar” (Pandji Poestaka, No. 49, Tahoen X, 17 Juni 1932, hlm. 758 [Serba-Serbi]. Beberapa laporan tentang makhluk ini juga sudah ditulis oleh orang Eropa (lihat: Robert Cribb, “Nature Conservatism and Cultural Preservation in Convergence: Orang Pendek and Papuan in Colonial Indonesia”, dalam Stella Borg Barthet (ed.), A Sea for Encounters: Essays towards a Postcolonial Commonwealth, Amsterdam – New York, NY: Rodopi, 2009: 223-242).
Iming-iming uang yang begitu besar yang dijanjikan oleh ilmuwan Eropa telah menyebabkan banyak penduduk lokal di Sumatera melakukan perburuan terhadap orang pendek ini. Karena dikhawatirkan akan dapat mengancam kelangsungan hidup makhluk ini, maka otoritas Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melarang melanjutkan perburuan terhadapnya. Majalah Pandji Poestaka, No. 48, Tahoen X, 14 Juni 1932, hlm. 749 [Kroniek] mencatat pula:
Memboeroe “Orang Pendék” diperhentikan. Deli Crt. [Courant] mewartakan bahwa Goebernoer Soematera Timoer telah memerintahkan pada Controleur didaérah Rokan soepaja oesaha memboeroe “Orang pendék” itoe diperhentikan; menoenggoe dahoeloe akan hasil pemeriksaan”.
Jadi, rupanya kalangan ilmuwan Eropa sudah lama mencoba mendapatkan makhluk yang disebut leco ini untuk kepentingan penyelidikan ilmiah. Mereka ingin mengetahui apakah penelitian terhadap makhluk ini dapat mengungkap missing link (rantai yang hilang) dalam evolusi perkembangan makhluk manusia yang sejak Charles Darwin mengemukakan teorinya sampai kini masih menjadi pertanyaan besar di kalangan ilmuwan.
Menoeroet tjerita-tjerita jang disampaikan kepada orang kampoeng, ialah akan memboektikan dan menjempoernakan keinginan hati sebahagian dari ahli-ahli ‘ilmoe pengetahuan jang menaroeh kejakinan, bahasa manoesia ini asalnja dari binatang. Maka létjo itoelah satoe djendjang jang akan dipergoenakannja djadi soeloeh penerangi ‘ilmoe orang pandai-pandai itoe.
Rasanja dengan mendapat binatang, jang telah lama diidam-idam oléh ahli-ahli ditanah Éropah itoe, akan bergoentjang ‘ilmoe pengetahoean tentang asal oesoel manoesia itoe.Kita menanti! (Pandji Poestaka, No. 49, Tahoen X, 17 Juni 1932, hlm. 758 [Serba-Serbi].
Keingintahuan ilmuwan Eropa yang begitu tinggi terhadap makhluk yang belum banyak diketahui ini terus berlanjut. Beberapa tahun lalu pernah diadakan sebuah workshop ilmiah di Universiteit Leiden yang khusus membahas jenis-jenis makhluk seperti ini, tidak hanya yang tubuhnya berukuran kecil tapi juga yang berukuran besar, yang rupanya ditemukan pula di beberapa tempat lainnya di dunia ini, seperti Yeti di Himalaya dan makhluk yang dianggap memiliki ciri yang sama yang konon juga pernah terlihat oleh penduduk lokal di hutan-hutan Semenanjung Malaysia.
Keadaannya berbeda dengan di Tanah Air sendiri. Leco, bigau, anakote atau anak ghoteh sering dihubungkan dengan hal-hal yang gaib, mistis, dan kesaktian rimba raya. Sampai sekarang ilmuwan Barat, juga beberapa jurnalis dan pembuat film dokumenter, masih terus ‘memburu’ orang pendek ini, seperti antara lain dapat dikesan dalam video ini:
Tampaknya para antropolog dan zoolog kita tidak begitu tertarik meneliti leco ini karena pikiran mereka disungkup kuat oleh kosmologi lokal yang percaya kepada tahayul, mistik, dan adanya makhluk-makhluk gaib. Makhluk-makhluk penghuni hutan, seperti leco, si bigau, si bunian, dan jihin, dianggap bagian dari kesaktian hutan rimba yang tak terjelaskan.
Salah-salah, kalau terlalu ingin tahu tentang mereka, bisa membahayakan si peneliti sendiri. Juga sudah menjadi bagian dari cerita umum bahwa rimba raya Sumatera adalah wilayah kerajaan para bunian. Kepercayaan terhadap makhluk halus dan kekuatan alam ini merupakan ciri khas masyarakat kita. Seorang yang menyebutkan namanya yang menulis dalam majalah Pandji Poestaka menyebutkan tentang adanya satu penelitian oleh seorang ilmuwan Jerman mengenai kepercayaan orang Sumatera ini: