Mohon tunggu...
Surya Al Bahar
Surya Al Bahar Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri surabaya

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat Unesa dan PAC. IPNU Kecamatan Glagah. Selain itu, kesehariannya sering menulis puisi, cerpen, dan opini untuk konsumsi sendiri dan aktif di beberapa kelompok diskusi, salah satunya kelompok diskusi Damar Asih. Selain di kompasiana, ia juga sering mengabadikan tulisannya di blog pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Globalisasi Pendidikan Kerakyatan

5 Mei 2018   15:48 Diperbarui: 5 Mei 2018   15:54 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - aktivitas belajar-mengajar di Dusun Kuningan, Desa Sempatung, Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. (Kompas)

Aku kurang paham, apakah aku ini orang berpendidikan atau tidak. Secara materi memang aku mengerti bagaimana cara memakan bangku sekolah, jangankan bangku, papannya pun senagaja saya makan, biar lebih lengkap kepintarannya, agar lebih kompleks struktur berpikir yang saya punya. Saya masih belum seberapa paham, perbedaan orang berpendidikan dengan orang tidak berpendidikan. 

Apakah manusia abad ini hanya diberi Allah batas kemampuan dari cara berpikir dan berbicaranya, apakah Allah tidak menganugrahi hambanya sampai bisa melihat pada struktur organ tubuh secara batin yang paling penting yaitu hati. Lantas bagaimana indikator orang-orang besar yang notabennya berpendidikan, berdedikasi tinggi, letak kesadaran mereka seperti apa kok sampai bisa melakukan perbuatan korupsi besar-besaran, maling berbudaya, berkarakter, sampai teknik pelancaran aksinya antara sekarang dengan besok berbeda. 

Ada maling bertenaga, ada maling yang berpikir. Apakah yang bertenaga juga tidak bisa berpikir. Keduanya sama-sama berpikir, namun wilayah kerjanya lebih tinggi tingkatnya dari pada yang biasa-biasa saja. Intinya tidak ada orang berpendidikan mencuri, di mana pun dia berada. Orang berpendidikan tentu mempunyai jiwa-jiwa luhur yang paham mana baik dan mana yang salah. Jika orang berpendidikan mempunyai inisiataif mencuri, jujur saja dia tidak mempunyai sifat kependidikannya.

Lalu apa yang salah dari pejabat-pejabat korupsi itu, saya rasa mereka sangat mampu membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Gelar mereka titelnya sampai bertingkat-tingkat. Bukankah dalam membedakan baik buruk mereka lebih cakap, lebih mempunyai cara pandang sendiri, berdimensi sangat luas. Saya mengkategorikan mengambil uang negara sama saja mengambil uang bapak di dompet tanpa sepengetahuannya, sangat fatal kalau bapak sampai mengetahui jika uang dalam dompet diambil anaknya tanpa izin. 

Dari segi kondisi norma suul adabnya, sangatlah tak patut dilakukan, ibarat dompet dalam saku bapak itu adalah sebuah wilayah sakral baginya, ada norma etika, keadaan zaman, kondisi tata krama yang sangat berharga. Bapak sangat marah besar jika anak kandungnya melakukan perbuatan itu. Hal yang menjadi keprihatinan ialah, bagaimanapun pentingnya barang itu, kurang pentingnya materi itu, ketika sudah tersimpan pada wilayah yang sudah menyangkut nilai-nilai peradaban akhlak kemanusiaan, bapak patut marah, demi jangan sampai anaknya menjadi mencuri, merusak tatanan nilai sosialnya. 

Dalam tata krama jawa bisa jadi ada nilainya tersendiri, norma timbul bukan hanya dengan sendiri nilai itu ditegakkan, melainkan ada karena di balik struktur tatanan nilai itu menjadi buah sebab akibat. Para orang tua membiasakan hukum tersebut agar anak-anaknya, keturunannya jangan sampai melakukan tindakan budaya yang salah kaprah, menyalahi aturan masyarakat yang berlaku.

Uang negara, uang saku negara, atau harta negara adalah milik rakyat. Rakyat adalah sebagai bapak sedangkan para pejabat adalah anak-anak yang dididik oleh institusi pendidikan agar mempunyai jiwa pemimpin yang tangguh dan bertanggung jawab. Rakyat sebagai penerima kebijakan, kita sebagai rakyat sudah sepantasnya memberi batasan sampai mana mereka memakai uang kita. 

Wilayah rakyat adalah dimensi kesakralan, kalau orang jawa menyebutnya kualat. Mereka tidak bisa memakai uang itu tanpa ada kebijakan yang pro rakyat. Semua aset di negeri ini adalah milih rakyat. Dari RT sampai presiden dalam struktur keorganisasian negara, semuanya digaji menggunakan uang rakyat. Rakyat sebagai agen pelaku utama kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah. Konsep subjek pertama di suatu negara adalah rakyat, sedangkan pemerintah hanya subjek kedua setelah rakyat.

Pemerintah bukan Tuhan yang harus diaptuhi secara mutlak. Yang patut dipatuhi secara mutlak hanya Allah. Rakyat adalah sebab aturan itu diputuskan, kalau bukan rakyat, siapa lagi. Ketika ada pemerintah, di situ ada rakyat. Presiden sendiri berasal dari rakyat dan dipilih oleh rakyat. Tanpa menjadi rakyat, presiden tidak akan pernah mampu merasakan penderitaan-penderitaan yang dialami oleh rakyatnya. 

Sampai kapan rakyat menyendiri dalam kesepian. Di ujung segala yang pernah berjalan, rakyat tidak bisa memahami penderitannya sendiri, sebab makhluk paling kasihan di dalam sistem pemerintahan adalah rakyat. Mereka mampu menyelami sendiri penderitaannya, tanpa sedikitpun belas kasih penyandingan dari mereka-mereka yang seharusnya menemani. Rakyat selalu dinomor duakan, dipalingkan, dikucilkan dari wilayah kekuasaannya sendiri.

Subjek nomor satu merupakan paling utama yang harus disandingkan dengan kepentingannya. Dari yang melupakan sampai yang benar-benar lupa. Pendidikan seharusnya bisa sebagai pendukung yang pasti dari segala sumber sikap, kebijakan para manusianya. Pendidikan adalah salah satu dimensi dari kebaikan, bukankah pengalaman tanpa pendidikan juga bisa menjadi suatu pendukung dalam kebaikan. 

Dari pengalaman kita bisa menemukan banyak kejadian yang membuat manusia menjadi berpikir. Pengalaman merupakan tempat salah dan benar, nilai-nilai yang terkandung memang tidak bisa kompleks secara lengkap. Akan tetapi, bukan pengalaman itu yang menjadi unsur kelengkapan. 

Pemahaman dari suatu nilai-nilai itu yang membuat kita menjadi lengkap dalam berpikir, meskipun memang lengkap itu tidak ada, semua manusia butuh pemahaman yang berkelanjutan, presisi dari salah ke benar adalah sangat panjang, banyak proses yang dilakukan dan dipermainkan. Yang utama bukan pendidikanny, tetapi belajarnya.

Kita seringkali memahami belajar adalah ketika memasuki waktu-waktu ujian sekolah, lantas sekolahmu sendiri itu apa kalau bukan untuk belajar. Sekolah kian hari seperti ladang pertumbuhan, sehingga mata-mata kita selalu tertutup oleh barang-barang yang batil tanpa kita telaah dan analisis. Kita sendiri semakin lupa siapa Ki Hadjar, padahal setiap hari pendidikan nasional, foto beliau sealu dipajang di banner-banner pinggir jalan, tapi semakin lama nilai-nilai itu kian terkikis dari perilaku kita sehari-hari.

Apa itu nasionalisme, bagaimana cara hidup dan menghidupi Negara Indonesia ini masih mengalami kebingungan, pasalnya bagaimana kita menjadi bangsa yang benar, kalau proses kecil yang ada dalam pendidikan intitusi masih dilakukan dengan cara yang tidak benar. Nasionalisme tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia bernegara. 

Setiap orang bernegara, nilai-nilai nasionalisme secara langsung menempel di prinsip mereka masing-masing. Nasionalisme tidak bisa diubah, setiap manusia, rakyat pasti mempunyai jiwa nasionalisme. Tapi nasionalisme seperti apa yang dilakukan, tentu melihat dari pengalaman dan perjalanan spiritual yang pernah dialaminya. Pertahanan negara jika diremehkan, dikecilkan bagaimanapun, pasti semua rakyat marah dengan hal tersebut. Meskipun itu NU, Muhammadiyah, LDII sampai ideologi yang bisa dikatakan radikal kepada negara, pasti mereka semua memilki jiwa-jiwa nasionalis meskipun pemahaman dasar nasionalis mereka berbeda.

Penddidikan adalah mencangkup lingkungan luas, setiap jenjang pendidikan memilki tanggung jawab yang berbeda-beda. inti dari pendidikan adalah menemani dan folow upnya adalah mereka yang dididik harus bisa sabagai teladan yang bersungguh-sungguh menghadirkan nilai-nilai harmonis dalam masyarakat. Menyeimbangkan yang kurang imbang, membenarkan apa yang salah, meluruskan apa yang bengkok. 

Mengapa sebagai teladan, sebab indikasi teladan adalah dilihat orang, sedang contoh baik-buruk harus sesuai dengan yang melihat. Kita sebagai kaum yang terdidik wajib menunjukkan perilaku yang baik di hadapan wilayah sosial lainnya. Setidaknya kalau belum bisa menuruti indikasi baik yang sudah mereka terapkan dalam diri mereka masing-masing sebagai penilai, mungkin perlunya pengaplikasian di dalam lingkup masyarakat kita tidak perlu menimbulkan persinggungan, apa lagi dengan waktu cukup lama, apa lagi sampai menyakiti hati orang lain. Ada tanggung jawab besar di struktur nilai dalam pendidikan ini. 

Sebagai contoh seperti konsep dasar ajaran pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Dari ketiga konsep tersebut yang paling mendasar dilakukan oleh kita sebagai pencicip rasa didikan adalah menjadi tauladan, menjadi contoh yang benar, baik itu dijadikan cerminan bagi setiap kondisi apapun untuk menjawab keadaan waktu sekarang.

Sama halnya menjadi seorang kiyai. Bisa dikayakan kiyai adalah subjek manusia pertama baik dan benarnya agama. Seorang kiyai dituntut harus berusaha selalu berbuat baik. Karena dia adalah sebuah sosok tauladan di masyarakat. Sekali saja dia berbuat yang menyalahi aturan sosial, maka selamanya kiyai itu bisa dianggap jelek. Padahal itu hanya dilakukan pertama kalinya. Hal itu menandakan, bukan pertama atau seringnya dia melakukan keburukan, tetapi manusia seringkali mampu menilai dari keburukannya, meskipun itu hanya menutupi dari beribu kebaikannya. 

Penilaian masyarakat bukan main-main jika dilakukan, di dalam suatu assemen penilaian terhadap sesama manusia yang dianggap penting dalam cangkupan sosialnya, mereka lebih menggunakan cerminan dari orang lain. Apa daya manusia yang mengerti manusia lain dari segi permukaannya. Pantaskan kita menilai manusia terlalu dalam, terlalu tinggi, jika mata manusia diberi jarak pandang terhadap konstekstual diri, bukan intekstual diri.

Semakin luas ilmu manusia, semakin banyak kebijakan-kebijakan yang ditimbulkan dengan baik. Meluasnya cakrawala dan samudera bukan untuk merugikan rakyat. Cakrawala adalah tempat yang tak berujung. Menghitari sampai meluas tak terbatas. Artinya, ilmu harus bisa membuat orang beridiri sendiri tanpa ada ikatan tapi berusaha untuk mensejahterakan orang lain. 

Perbandingan rakyat dengan pemerintahan sangatlah terlihat, kaum mayoritas seharusnya menang melawan minoritas, apapun itu yang terjadi. Mayoritas merupakan kelompok orang luas yang mempunyai kebebasan untuk memegang kendali sosial Dalam suatu kehidupan negara. Tinggal siapa yang menyesuaikan, kita sebagai kaum mayoritas atau mereka yang sebagai kaum-kaum minoritas.

Surabaya,

Sabtu, 5 Mei 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun