Dari pengalaman kita bisa menemukan banyak kejadian yang membuat manusia menjadi berpikir. Pengalaman merupakan tempat salah dan benar, nilai-nilai yang terkandung memang tidak bisa kompleks secara lengkap. Akan tetapi, bukan pengalaman itu yang menjadi unsur kelengkapan.Â
Pemahaman dari suatu nilai-nilai itu yang membuat kita menjadi lengkap dalam berpikir, meskipun memang lengkap itu tidak ada, semua manusia butuh pemahaman yang berkelanjutan, presisi dari salah ke benar adalah sangat panjang, banyak proses yang dilakukan dan dipermainkan. Yang utama bukan pendidikanny, tetapi belajarnya.
Kita seringkali memahami belajar adalah ketika memasuki waktu-waktu ujian sekolah, lantas sekolahmu sendiri itu apa kalau bukan untuk belajar. Sekolah kian hari seperti ladang pertumbuhan, sehingga mata-mata kita selalu tertutup oleh barang-barang yang batil tanpa kita telaah dan analisis. Kita sendiri semakin lupa siapa Ki Hadjar, padahal setiap hari pendidikan nasional, foto beliau sealu dipajang di banner-banner pinggir jalan, tapi semakin lama nilai-nilai itu kian terkikis dari perilaku kita sehari-hari.
Apa itu nasionalisme, bagaimana cara hidup dan menghidupi Negara Indonesia ini masih mengalami kebingungan, pasalnya bagaimana kita menjadi bangsa yang benar, kalau proses kecil yang ada dalam pendidikan intitusi masih dilakukan dengan cara yang tidak benar. Nasionalisme tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia bernegara.Â
Setiap orang bernegara, nilai-nilai nasionalisme secara langsung menempel di prinsip mereka masing-masing. Nasionalisme tidak bisa diubah, setiap manusia, rakyat pasti mempunyai jiwa nasionalisme. Tapi nasionalisme seperti apa yang dilakukan, tentu melihat dari pengalaman dan perjalanan spiritual yang pernah dialaminya. Pertahanan negara jika diremehkan, dikecilkan bagaimanapun, pasti semua rakyat marah dengan hal tersebut. Meskipun itu NU, Muhammadiyah, LDII sampai ideologi yang bisa dikatakan radikal kepada negara, pasti mereka semua memilki jiwa-jiwa nasionalis meskipun pemahaman dasar nasionalis mereka berbeda.
Penddidikan adalah mencangkup lingkungan luas, setiap jenjang pendidikan memilki tanggung jawab yang berbeda-beda. inti dari pendidikan adalah menemani dan folow upnya adalah mereka yang dididik harus bisa sabagai teladan yang bersungguh-sungguh menghadirkan nilai-nilai harmonis dalam masyarakat. Menyeimbangkan yang kurang imbang, membenarkan apa yang salah, meluruskan apa yang bengkok.Â
Mengapa sebagai teladan, sebab indikasi teladan adalah dilihat orang, sedang contoh baik-buruk harus sesuai dengan yang melihat. Kita sebagai kaum yang terdidik wajib menunjukkan perilaku yang baik di hadapan wilayah sosial lainnya. Setidaknya kalau belum bisa menuruti indikasi baik yang sudah mereka terapkan dalam diri mereka masing-masing sebagai penilai, mungkin perlunya pengaplikasian di dalam lingkup masyarakat kita tidak perlu menimbulkan persinggungan, apa lagi dengan waktu cukup lama, apa lagi sampai menyakiti hati orang lain. Ada tanggung jawab besar di struktur nilai dalam pendidikan ini.Â
Sebagai contoh seperti konsep dasar ajaran pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Dari ketiga konsep tersebut yang paling mendasar dilakukan oleh kita sebagai pencicip rasa didikan adalah menjadi tauladan, menjadi contoh yang benar, baik itu dijadikan cerminan bagi setiap kondisi apapun untuk menjawab keadaan waktu sekarang.
Sama halnya menjadi seorang kiyai. Bisa dikayakan kiyai adalah subjek manusia pertama baik dan benarnya agama. Seorang kiyai dituntut harus berusaha selalu berbuat baik. Karena dia adalah sebuah sosok tauladan di masyarakat. Sekali saja dia berbuat yang menyalahi aturan sosial, maka selamanya kiyai itu bisa dianggap jelek. Padahal itu hanya dilakukan pertama kalinya. Hal itu menandakan, bukan pertama atau seringnya dia melakukan keburukan, tetapi manusia seringkali mampu menilai dari keburukannya, meskipun itu hanya menutupi dari beribu kebaikannya.Â
Penilaian masyarakat bukan main-main jika dilakukan, di dalam suatu assemen penilaian terhadap sesama manusia yang dianggap penting dalam cangkupan sosialnya, mereka lebih menggunakan cerminan dari orang lain. Apa daya manusia yang mengerti manusia lain dari segi permukaannya. Pantaskan kita menilai manusia terlalu dalam, terlalu tinggi, jika mata manusia diberi jarak pandang terhadap konstekstual diri, bukan intekstual diri.
Semakin luas ilmu manusia, semakin banyak kebijakan-kebijakan yang ditimbulkan dengan baik. Meluasnya cakrawala dan samudera bukan untuk merugikan rakyat. Cakrawala adalah tempat yang tak berujung. Menghitari sampai meluas tak terbatas. Artinya, ilmu harus bisa membuat orang beridiri sendiri tanpa ada ikatan tapi berusaha untuk mensejahterakan orang lain.Â