Beberapa minggu lalu, seorang teman dimedia sosial saya men-share sebuah video di halaman wallnya. Video tersebut merupakan cuplikan sebuah acara diskusi di televisi merah yang tidak perlu saya sebutkan mereknya.
 Dalam video tersebut, menkumham Yassona Laoly men-skakmat seorang mahasiswa yang mengkritik RKUHP yang memang sedang ramai kala itu. Kira kira begini ucapan Bapak menteri :
"Jadi kalau saya dulu mau berdebat, saya baca dulu itu barang sampai sejelas-jelasnya baru berdebat.Kalau ini jujur, sebagai dosen saya malu apa yang saudara sampaikan. Saya sampai tutup mata tadi. " ini linknya
Undang-undang cipta kerja yang baru beberapa hari lalu ditandatangani oleh Bapak Jokowi sebagai kepala negara memang menjadi kontroversi. Mulai dari prosesnya pembuatannya, jumlah halamannya yang berubah-ubah, hingga isinya.Â
Terakhir, setelah ditandatangani, diketahui ada penghapusan pasal, hingga pasal bermasalah yang tertulis merujuk pada huruf/ayat di pasal sebelumnya, namun justru tidak ada huruf/ayat pada pasal yang di maksud.
Kalimat dalam undang undang haruslah jelas dan tegas agar tidak timbul ambigu dan dapat memberikan kepastian hukum, mengingat semua kehidupan dalam bernegara diatur oleh undang-undang. Mungkin hanya kontrak karya freeport yang berada di atas Undang-Undang (selain perppu ya.. )--koreksi jika saya salah J -
Sayangnya, kumpulan kalimat sakti yang bernama Undang-Undang Cipta Kerja dibuat dengan  belepetan. Sebagai orang awam dalam hukum dan pemerintahan, saya jadi bingung bagaimana bisa ada revisi isi undang-undang setelah rapat paripurna. Padahal setahu saya paripurna merupakan forum tertinggi dimana berbagai keputusan startegis diambil disana.
Saya jadi mempertanyakan apakah baik pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh menteri dan jajarannya) serta DPR yang notabene mewakili rakyat jelata seperti saya membaca semua isi undang-undang tersebut ?
Jika membaca semua, saya kembali mempertanyakan bagaimana bisa pasal-pasal aneh bin ajaib yang kini menjadi sorotan media massa bisa tetap ada. Bahkan berita terakhir yang saya baca, ada pasal yang kembali dihilangkan dengan dalih typo namun katanya tidak menghilangkan subtansi.
Toh mengatur warga negara lebih penting dibanding memenangkan perdebatan kan ?
Bagi saya, banyaknya kekeliruan dalam isi UU Cipta Kerja yang kini telah resmi di tandatangani menunjukkan bahwa penyakit malas membaca kini bukan hanya penyakit rakyat jelata, anak milenial, atau mungkin generasi Z, tapi juga sudah merambat ke para pejabat, para menteri dan staff khususnya, hingga anggota DPR yang notabene merupakan dua elemen penting yang membuat undang-undang, kumpulan kalimat sakti yang mampu mengatur kehidupan bernegara.
Kini Undang-Undang Cipta Kerja telah resmi di tandatangani dengan berbagai kekurangannya. Dalam Kompas 06/11/2020 yang kemarin saya baca, ditulis kalau konstitusi menyediakan jalur untuk perbaikan --apa namanaya saya lupa, baca KOMPAS saja sana- . Sebagai orang awam sih, yang saya tahu mungkin hanya Perppu dan kemenangan gugatan di MK yang mampu menggoyang UU Cipta Kerja.
Ya, bukannya apa ya, saya pribadi sih lebih takut jika mekanisme perbaikan tersebut nantinya menjadi kebiasaan para anggota dewan dan pemerintah dalam membuat undang-undang. Buatnya tembak-tembakan, kalau salah ya tinggal perbaikan. Masih ingat kan jalur pra peradilan yang sempat ramai dan menjadi jalan bagi para tersangka melawan setelah Bapak BG pertama kalinya (koreksi jika salah) menggunakan jalur tersebut dan menang.
Ntar kebiasaan.. Lalu jadi budaya .. J
Jakarta 07-11-2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H