Mohon tunggu...
Imam Suryanto
Imam Suryanto Mohon Tunggu... Lainnya - Just for sharing!

Government Public Relations. Founder/CEO Bright Up Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Public Relations: New Normal, New Style

16 Juni 2020   08:54 Diperbarui: 16 Juni 2020   19:01 3878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini istilah new normal menjadi semakin santer dan beresonansi di telinga dan pikiran kita. Setiap hari media mainstream dan media sosial berlomba-lomba memberitakan tentang New Normal Era atau tatanan kenormalan baru. Lalu sebenenarnya apa itu arti dari new normal?

Istilah new normal di sini menjelaskan tentang bagaimana kita beradaptasi terhadap lingkungan dalam bentuk penyesuaian perilaku masyarakat untuk kembali beraktivitas normal dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan agar Indonesia bisa segera menangani Covid-19 dari aspek kesehatan, sosial, ataupun ekonomi. Artinya, ini merupakan cara kita mengadaptasi pandemi dengan membuat diri kita lebih "nyaman" di tengah situasi ketidakpastian.

Dan mengapa kita membutuhkan kenormalan baru? Saat ini tingkat infeksi dan kematian akibat Covid-19 masih belum signifikan penurunannya, di sisi lain keadaan ekonomi juga kian melemah. New normal dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki berbagai aspek tersebut secara beriringan.

Di Indonesia, istilah new normal mulai muncul ketika Bapak Presiden Joko Widodo meminta jajarannya untuk menyosialisasikan new normal secara masif. Bahkan beliau sempat meninjau langsung persiapan sarana publik Stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia di Jakarta dan Mal Summarecon Bekasi untuk persiapan menjalani new normal.

Dapat diketahui bahwa saat ini Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan protokol skenario new normal di berbagai lini. Hal ini agar roda perekonomian kembali bergerak, dan aktivitas masyarakat dapat kembali berjalan tentunya dengan tetap menjaga dan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19.

Contohnya DKI Jakarta yang memperpanjang PSBB sampai akhir Juni dan merilis jadwal untuk membuka kembali kegiatan ekonomi selama fase pertama periode transisi. Semoga startegi yang baik ini dapat berjalan dengan lancar.

Peran PR di Tengah Pandemi

Pandemi Covid-19 membawa pengaruh yang besar dalam berbagai sektor, salah satunya adalah bidang Kehumasan. Dalam konteks kehumasan (PR), pandemi ini dapat dikatakan sebagai krisis yang dialami perusahaan dan harus dikelola dengan baik.

Kedatangan dari Covid-19 ini merupakan krisis yang tidak dapat dikontrol, untuk itu seorang PR harus fokus terhadap variabel yang dapat dikontrol/dikendalikan.

Variabel yang dapat dikontrol oleh seorang PR salah satu contohnya adalah dengan merancang strategi komunikasi di masa pendemi. Informasi yang disampaikan oleh PR harus benar, akurat, berdasarkan data, dan dapat dipertanggungjawabkan. Informasi yang disampaikan seorang PR menjadi salah satu kunci penting dalam melawan wabah Covid-19 ini.

Terdapat kutipan dari Noah Harari dalam Time mengatakan "The best defence humans have against pathogen is not isolation - it is information". Hal tersebut berati bahwa kekuatan pertahanan kita yang utama bukanlah isolasi tapi informasi. Pandemi sudah dialami dunia tidak hanya saat ini saja, contoh nyatanya adalah Spanish Flu. 

Bahwa diketahui pada masa itu korban jiwa jauh lebih besar dari Covid-19, padahal mobilisasi dari masyarakat dunia belum semasif saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam menanggulangi pandemi pada masa dulu dengan masa modern ini. Perbedaan penting itu adalah informasi, karena dengan informasi yang benar dapat menyelamatkan korban jiwa.

Strategi komunikasi menjadi peranan yang vital bagi seorang PR dalam mengatasi krisis pandemi Covid-19. Seorang PR harus memiliki konsep yang matang dengan mengelaborasi seluruh data dan fakta menjadi sebuah pesan informasi yang dapat disampaikan ke masyarakat. Pesan informasi yang disampaikan ini tentunya harus relevan dan tepat dengan situasi saat pandemi ini. 

Peran PR dalam menyampaikan pesan informasi yang baik dan tepat tentunya akan menjaga dan membangun reputasi serta menciptakan citra positif instansi/lembaga/perusahaan melalui pengelolaan dan pemantauan informasi serta komunikasi terstruktur.

Pandemi Covid-19 membawa masyarakat dalam kondisi VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity). Jika diterjemahkan secara gamblang VUCA adalah anomali, ketidakpastian, kerumitan, dan juga ketidakjelasan. Kondisi seperti ini membuat masyarakat mencoba mencari informasi tentang Covid-19.

Untuk itu, PR memiliki peranan yang strategis dalam menyampaikan informasi secara kreatif, inovatif, dan efektif dengan memanfaatkan teknologi dan new media. Penyampaian pesan dengan konten yang empatif dan mengoptimalkan teknologi digital maka akan tercipta trust dan persepsi positif.

New Normal, New Style

Berbicara tentang new normal tentunya kita akan menyinggung dan membahas tentang new habit (kebiasaan baru). Bagi seorang PR, kebiasaan baru akan tercipta jika kita dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Kebiasaan baru yang dalam konteks tulisan ini mengarah kepada new style ("gaya baru"). Konteks "gaya baru" ini tentunya harus dapat dijalankan oleh para praktisi PR.

Konsep new style merupakan hal baru yang dapat dijalankan oleh praktisi PR. Konsep ini memuat unsur 3A. Apa itu unsur 3A? Unsur-unsur tersebut adalah Adopt, Adapt, Adept. Nah, ketiga unsur ini bersifat esensial bagi seoranag PR.

Unsur Adopt menjelaskan bahwa PR harus dapat mengadopsi atau menggunakan teknologi yang ada sesuai dengan perkembangan zaman. PR harus mampu menyampaikan pesan informasi dengan menggunakan media digital yang tepat dan mutakhir. Unsur Adapt menjelaskan bahwa PR harus mampu beradaptasi dengan hal-hal baru yang telah diadopasi. 

Beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan mampu membuat konten yang kreatif dan bersifat informatif serta solutif bagi masyarakat. Sedangkan unsur yang ketiga yaitu Adept yang berarti mahir/ahli di bidangnya.

Seorang PR harus mahir/terampil dalam berbagai hal khususnya sesuatu yang telah diadopsi dan diadaptasi. Untuk itu, seorang PR harus tetap mau belajar hal-hal baru sehingga akan terus memperkaya pengetahuan dan keterampilannya.

New Approach-New Culture

Seorang PR harus siap untuk ditempatkan dalam setiap kondisi. Sebagai PR profesional tentunya harus memiliki strategi dalam mengatasi setiap krisis yang terjadi. New approach (pendekatan baru) yang efektif perlu dilakukan agar tercipta suatu strategi yang tepat.

Terdapat beberapa strategi pendekatan baru yang dapat dilakukan oleh seorang PR dalam menghadapi krisis khususnya di masa pandemi saat ini. Nah, strategi pendekatan yang tepat ini akan menimbulkan dan membentuk new culture (budaya baru). Adapun beberapa aspek budaya baru seorang praktisi PR adalah accessibility, availability, sensitivity, technology update, dan creativity beyond limits.

Accessibility (aksesibilitas) dan availability (ketersediaan) menjelaskan bahwa seorang PR harus dapat dan siap untuk dihubungi kapan saja dan di mana saja. Karena beberapa krisis tidak dapat kita hindari, jadi PR harus siap sedia 24/7.

Sedangkan sensitivity (sensitivitas) menjelaskan bahwa PR harus mampu menyampaikan pesan dengan hati dan empati. Apalagi di kondisi pandemi saat ini, PR harus dapat membawa kesejukan dan menjaga dinamika informasi positif di masyarakat.

Unsur technology update (pembaruan teknologi) menjelaskan bahwa saat ini kita telah memasuki era digital yang serba modern. Seorang PR dituntut untuk dapat selalu mengikuti perkembangan teknologi sehingga dapat secara efektif dan efisien ketika menyampaikan pesan informasi. 

Dan aspek yang terakhir adalah creativity beyond limits (kreativitas tak terbatas), yang menjelaskan bahwa menjadi seorang PR harus mampu berpikir kreatif untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada baik di internal maupun eksternal instansi/perusahaan.

Kondisi pandemi Covid-19 ini membawa banyak perubahan dalam dunia kehumasan/PR. Menjadi profesi PR harus mampu dan siap untuk menghadapi segala tantangan baik yang terlihat maupun yang kasat mata.

PR juga harus mampu beradaptasi dengan segala perubahan yang ada agar dapat mengatasi setiap permasalahan. Hal ini seperti apa yang dikatakan Charles Darwin, "It is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun