Mohon tunggu...
Surtan Siahaan
Surtan Siahaan Mohon Tunggu... Penulis -

Berbahagialah orang yang tidak sukses, selama mereka tidak punya beban. Bagi yang memberhalakan kesuksesan, tapi gagal, boleh ditunggu di lapangan parkir: siapa tahu meloncat dari lantai 20. -Seno Gumira Ajidarma-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Sebuah Karya Tulis Dihargai Rendah?

20 Juni 2018   17:40 Diperbarui: 21 Juni 2018   09:25 1895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Menulis/Sumber Foto: pixabay.com

Jawabannya tentu sangat subjektif dan karenanya akan berlainan antara seorang dan lainnya. Namun, sejauh yang saya tangkap dan catat, sedikitnya ada tiga jawaban yang kurang lebih mampu mewakili.

Seorang penulis pemula (seperti saya), misalnya, sambil malu-malu akan beralasan: "Tulisan saya dihargai rendah karena kualitasnya buruk".

Penulis lain yang lebih senior bisa saja bereaksi: "Harga artikel rendah lantaran orang tidak lagi menghargai sebuah karya tulis sebagai produk kerja intelektual".

Namun ada juga penulis yang menuding para SEO writer dan mesin pencari bernama Google sebagai biang masalah. "Google telah memancing pemilik situs untuk menulis sebanyak-banyaknya, bahkan dengan kualitas rendah sekalipun, agar website-nya nangkring di halaman pertama Google".

Namun, adakah kebenaran dalam sekian jawaban di atas? Atau, jangan-jangan, ada sesat pikir yang terselip dari argumen-argumen tersebut.

Ajip Rosidi, seorang sastrawan Sunda yang pernah tinggal lama di Jepang sebagai profesor tamu bagi Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka) punya alasannya sendiri.

Dalam surat bertitimangsa 1 Desember 1981 yang dilayangkan pada Jakob Oetama, pembesar Harian Kompas, Ajip pernah meminta Jakob untuk memperhatikan honorarium para penulis lepas di Indonesia yang menurutnya terlampau kecil.

Menurut Ajip, saking kecilnya honor yang diberikan kala itu, bahkan oleh Kompas dan Intisari sebagai koran dan majalah nomor satu di republik ini, memaksa para penulis terlampau produktif. Tujuannya tidak lain agar uang honor mencukupi kebutuhan dapur. Akhirnya, sisi kualitas pun terabaikan. Kesimpulan Ajip, dengan honor yang rendah, sulit rasanya mengharapkan munculnya penulis yang bermutu.

Ajip pun membandingkan honor penulis di Jepang dengan Indonesia. Jika sebuah harian di Jepang dengan tiras 10.000 hingga 20.000 eksemplar bisa membayar honorarium minimal Rp 90 ribu pada tahun 1980, majalah intisari yang dicetak sebanyak 200.000 setiap hari hanya membayar honor penulis sebanyak Rp 25 ribu.

Jadi, sebelum booming internet, sebelum Google muncul dan dikenalnya SEO, para penulis lepas yang berburu kolom opini di media cetak sudah merasakan rendahnya nilai atas karya mereka. Yang menakar harga tulisan itu juga bukan khalayak ramai, melainkan para bos di perusahaan media yang notabene tahu bagaimana sulitnya sebuah tulisan bermutu diproduksi.

Karenanya, jika perusahaan media dan redakturnya yang intelek saja tidak mampu memberi harga wajar pada sebuah tulisan, bagaimana dengan orang Indonesia kebanyakan yang nyatanya tidak punya budaya literasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun