Tiap kali momen Ramadan akan berlalu, ingatan saya pasti melayang ke rumah Pak Tanto, bekas tetangga saya di Tangerang. Rasanya, tiap bulan puasa, saya rindu untuk berada di dekat rumah besar itu.
Bukan karena tiap Lebaran dan Idul Adha saya sering dikirimi aneka penganan enak seperti opor, sate kambing dan rendang, tapi karena suasana Ramadan yang sejuk, yang tidak pernah saya temukan di lain tempat.
Saya secara pribadi bisa tahu seperti apa suasana rumah tersebut karena cukup dekat dengan keluarga tetangga saya itu. Rumah kontrakan saya dulu juga persis di sebelah rumah mereka.
Jadi, setiap ada acara keluarga, entah ulang tahun atau syukuran ini itu, saya sering diundang. Minimal kecipratan rezeki berupa kiriman berkat (nasi bungkus).
Rumah yang dihuni tetangga saya itu rumah besar. Bukan hanya ukurannya yang gede (tiga rumah jadi satu bangunan), saya sebut rumah besar karena konsepnya mirip rumah besar adat dayak di mana sebuah rumah dihuni oleh banyak keluarga.
Bedanya, keluarga yang tinggal di rumah ini memeluk dua agama berbeda.
Di dalam rumah tersebut tinggal tetangga saya Pak Tanto dan ibu Maryanti serta anak-anaknya yang beragama Islam. Sebelum menikah dengan suaminya, ibu Maryati lahir dan dibesarkan di keluarga Kristen.
Selain itu, rumah juga dihuni orangtua perempuan ibu Maryanti, Eyang Putri dan adik perempuan Maryanti, Tante Eru, yang juga beragama Kristen.
Namun, Islam tidak hanya dianut keluarga Pak Tanto saja. Kakak perempuan Maryanti dan suaminya yang bekerja sebagai PNS Kementerian serta anak-anaknya juga memilih Islam sebagai keyakinannya.
Suasana rumah ini selalu sejuk. Tidak pernah terdengar pertikaian lantaran penghuninya beda keyakinan. Jika ada kebaktian agama Kristen, anggota keluarga yang beragama Islam sibuk membantu di dapur, begitu juga jika ada selamatan atau tahlilan, anggota keluarga yang Nasrani akan selalu ikut membantu.
Baca Juga: Salam Tempel Lebaran, Momen Mendidik Anak tentang Etika
Ketika Ramadan tiba, perbedaan yang ada tidak membuat keluarga tersebut renggang, melainkan semakin indah karena toleransi di antara sesama penghuninya.
Keluarga Pak Tanto tidak pernah meminta ibu mertua dan iparnya untuk menghormati puasa mereka, sementara ibu mertua dan iparnya tidak pernah mengganggu. Saat siang hari, tidak pernah sengaja makan atau minum di depan anggota keluarga yang berpuasa.
Eyang Putri dan Tante Eru yang tidak berpuasa juga sering mengingatkan cucu dan keponakannya untuk berpuasa dan tidak malas salat tarawih. Uniknya lagi, karena rumah tersebut tidak memiliki pembantu rumah tangga, eyang dan tante juga sering berjibaku menyiapkan menu berbuka puasa dan sahur.
Ketika sahur tiba, sang nenek yang sejak muda punya kebiasaan bangun tiap subuh untuk berdoa, selalu membangunkan anak dan mertuanya untuk santap sahur. Setelah anak, mantu dan cucunya sahur, dia kembali ke kamar untuk berdoa.
Saya juga tahu bahwa eyang yang sangat mendukung keyakinan anak dan menantunya itu adalah orang yang selalu sibuk memasak saat Lebaran.
Sebab, sudah jadi tradisi rumah besar tersebut mengucapkan syukur dengan membagikan makanan pada tetangga sekitar. Sementara, anggota keluarga yang merayakan Idul Fitri bisa fokus pada ibadahnya, yang Nasrani menyiapkan makanan dan membagikannya keliling kampung.
Cerita sebaliknya juga terjadi kala Natal dan Tahun baru. Pak Tanto dan anggota keluarga yang Muslim akan sibuk membantu anggota keluarga yang mengadakan acara Natalan di rumah. Bahkan, setiap Natal tiba, tetangga saya yang Muslim itu selalu mengucapkan Selamat Natal, baik secara langsung maupun melalui Whatsapp.
Saya pun pernah iseng bertanya pendapat mereka tentang larangan mengucapkan selamat Natal.
"Yang dilarang itu kalau saya merayakan Natal dengan mengikuti ibadahnya. Kalau mengucapkan ya boleh-boleh saja", ujar Pak Tanto.
Baca Juga: Mudik Lewat Pantura, Siap-siap Kenyang Kampanye Politik
Cara para orangtua menyikapi perbedaan dengan santai rupanya menurun pada anak-cucu mereka. Suatu hari, saya pernah iseng bertanya pada satu-satunya anak lelaki di rumah itu apa rasanya tinggal di rumah dengan anggota keluarga beda agama.
Bayu, anak lelaki Pak Tanto dengan sedikit kelakar menjawab pertanyaan saya
"Justru enak mas, Lebaran dikasi THR, waktu natalan juga dapat berkat Natal. Sayangnya nggak ada yang merayakan Imlek, kalau enggak saya dapat angpao juga. Hahahaha"
Cerita tentang toleransi di rumah Pak Tanto tidak hanya terjadi ketika Ramadan dan Natalan saja. Lama setelah saya tidak lagi menjadi tetangganya karena harus berpindah kontrakan, saya pernah diundang untuk doa peringatan 100 hari meninggalnya Eyang Putri yang digelar secara Kristen.
Meski ada doa-doa dan nyanyian Nasrani, juga mengundang pendeta dan teman-teman satu gereja untuk kebaktian, semua anak dan cucunya yang beragama Islam mengikuti acara tersebut meski sepanjang kebaktian berada di dapur dan baru keluar setelah ibadah selesai untuk membantu membagi souvenir pada undangan.
Menjalani perbedaan tanpa harus saling bermusuhan adalah pelajaran yang saya peroleh dari keluarga Pak Tanto. Bagi mereka, perbedaan bukanlah masalah melainkan berkah yang justru bisa membuat keluarga menjadi semakin harmonis.
Di tengah ketegangan berlatar belakang agama yang kian sering mencuat di sekitar kita, keluarga Pak Tanto menjadi contoh ideal bagaimana kita seharusnya bersikap dalam menghadapi perbedaan.
 Selamat menjalankan ibadah puasa, Pak Tanto dan keluarga. Terima kasih atas pelajaran tentang toleransinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H