Cara para orangtua menyikapi perbedaan dengan santai rupanya menurun pada anak-cucu mereka. Suatu hari, saya pernah iseng bertanya pada satu-satunya anak lelaki di rumah itu apa rasanya tinggal di rumah dengan anggota keluarga beda agama.
Bayu, anak lelaki Pak Tanto dengan sedikit kelakar menjawab pertanyaan saya
"Justru enak mas, Lebaran dikasi THR, waktu natalan juga dapat berkat Natal. Sayangnya nggak ada yang merayakan Imlek, kalau enggak saya dapat angpao juga. Hahahaha"
Cerita tentang toleransi di rumah Pak Tanto tidak hanya terjadi ketika Ramadan dan Natalan saja. Lama setelah saya tidak lagi menjadi tetangganya karena harus berpindah kontrakan, saya pernah diundang untuk doa peringatan 100 hari meninggalnya Eyang Putri yang digelar secara Kristen.
Meski ada doa-doa dan nyanyian Nasrani, juga mengundang pendeta dan teman-teman satu gereja untuk kebaktian, semua anak dan cucunya yang beragama Islam mengikuti acara tersebut meski sepanjang kebaktian berada di dapur dan baru keluar setelah ibadah selesai untuk membantu membagi souvenir pada undangan.
Menjalani perbedaan tanpa harus saling bermusuhan adalah pelajaran yang saya peroleh dari keluarga Pak Tanto. Bagi mereka, perbedaan bukanlah masalah melainkan berkah yang justru bisa membuat keluarga menjadi semakin harmonis.
Di tengah ketegangan berlatar belakang agama yang kian sering mencuat di sekitar kita, keluarga Pak Tanto menjadi contoh ideal bagaimana kita seharusnya bersikap dalam menghadapi perbedaan.
 Selamat menjalankan ibadah puasa, Pak Tanto dan keluarga. Terima kasih atas pelajaran tentang toleransinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H