Ketika Ramadan tiba, perbedaan yang ada tidak membuat keluarga tersebut renggang, melainkan semakin indah karena toleransi di antara sesama penghuninya.
Keluarga Pak Tanto tidak pernah meminta ibu mertua dan iparnya untuk menghormati puasa mereka, sementara ibu mertua dan iparnya tidak pernah mengganggu. Saat siang hari, tidak pernah sengaja makan atau minum di depan anggota keluarga yang berpuasa.
Eyang Putri dan Tante Eru yang tidak berpuasa juga sering mengingatkan cucu dan keponakannya untuk berpuasa dan tidak malas salat tarawih. Uniknya lagi, karena rumah tersebut tidak memiliki pembantu rumah tangga, eyang dan tante juga sering berjibaku menyiapkan menu berbuka puasa dan sahur.
Ketika sahur tiba, sang nenek yang sejak muda punya kebiasaan bangun tiap subuh untuk berdoa, selalu membangunkan anak dan mertuanya untuk santap sahur. Setelah anak, mantu dan cucunya sahur, dia kembali ke kamar untuk berdoa.
Saya juga tahu bahwa eyang yang sangat mendukung keyakinan anak dan menantunya itu adalah orang yang selalu sibuk memasak saat Lebaran.
Sebab, sudah jadi tradisi rumah besar tersebut mengucapkan syukur dengan membagikan makanan pada tetangga sekitar. Sementara, anggota keluarga yang merayakan Idul Fitri bisa fokus pada ibadahnya, yang Nasrani menyiapkan makanan dan membagikannya keliling kampung.
Cerita sebaliknya juga terjadi kala Natal dan Tahun baru. Pak Tanto dan anggota keluarga yang Muslim akan sibuk membantu anggota keluarga yang mengadakan acara Natalan di rumah. Bahkan, setiap Natal tiba, tetangga saya yang Muslim itu selalu mengucapkan Selamat Natal, baik secara langsung maupun melalui Whatsapp.
Saya pun pernah iseng bertanya pendapat mereka tentang larangan mengucapkan selamat Natal.
"Yang dilarang itu kalau saya merayakan Natal dengan mengikuti ibadahnya. Kalau mengucapkan ya boleh-boleh saja", ujar Pak Tanto.
Baca Juga: Mudik Lewat Pantura, Siap-siap Kenyang Kampanye Politik