Tanpa harga panen yang stabil, Lebaran para petani sudah dipastikan suram karena cahs flow terganggu. Bahkan, masa depan juga jadi tidak pasti bila petani tidak punya cukup modal untuk menanam kembali.
Sedihnya, tahun ini petani terancam berlebaran dengan hati yang patah. Sudah sejak awal April, harga jual panenan di tingkat petani sangat fluktuatif. Petani Cabai di Kebumen, misalnya, mengaku mengalami perubahan harga jual hanya dalam hitungan hari pada panen di bulan April.
Harga cabai rawit, misalnya, bisa naik dalam dua hari dari Rp 30 ribu per kg ke Rp 35 ribu per kg kemudian di hari ketiga anjlok menjadi Rp 26 ribu per kg pada hari ketiga. (krjogja.com)
Baca Juga: Perkara Meremehkan Umat Islam
Komoditas Naik Petani Untung?
Namun, benarkah perkataan tersebut? Berdasarkan pengamatan saya, bertani merupakan sebuah mata pencaharian yang unik. Nasib petani seringkali tidak hanya ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja, melainkan juga pada keberpihakan pemerintah sekaligus nasib mujur.
Menjelang panen Lebaran, bisa saja harga naik pada tingkat konsumen. Namun, harga pembelian di tingkat petani belum tentu baik. Sebab, kita semua harus jujur mengakui harga panen petani masih dikendalikan oleh para pengepul dan tengkulak besar.
Petani seringkali tidak mencicipi kenaikan harga tersebut. Yang menikmati, tetap saja para tengkulak dan pemodal besar yang sanggup menyerap, menimbun dan mengatur distribusi komoditas.
Atau, saat panen sudah dekat, petani juga bisa apes karena menghadapi cuaca ekstrem seperti kekeringan dan hujan deras yang mengakibatkan kegagalan panen. Â Harga memang naik karena pasokan turun, namun volume penjualan petani juga tipis karena hasil panen tidak ada.
Lucunya, ketika panen baik dan harga meroket karena tingginya permintaan, petani masih bisa terancam bangkrut karena pemerintah memutuskan membuka keran impor demi stabilnya harga.