Mohon tunggu...
Surtan Siahaan
Surtan Siahaan Mohon Tunggu... Penulis -

Berbahagialah orang yang tidak sukses, selama mereka tidak punya beban. Bagi yang memberhalakan kesuksesan, tapi gagal, boleh ditunggu di lapangan parkir: siapa tahu meloncat dari lantai 20. -Seno Gumira Ajidarma-

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Memberi Makan Fakir Miskin, Kenapa "Dibully"?

4 Juni 2018   19:47 Diperbarui: 4 Juni 2018   19:54 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komunitas Pemalang Bersatu Melakukan Bagi-Bagi Makanan saat SOTR. Sumber Foto: twitter

Beberapa hari terakhir ini ada sesuatu yang "menggelitik" akal sehat saya. 

Pangkalnya berasal dari netizen Indonesia yang ramai-ramai membully Sahur On The Road (SOTR). Perundungan masal ini bahkan sempat menjadi trending di sosial media twitter.

Saat membaca cuitan netizen tersebut, secara spontan saya berujar "Memberi makan fakir miskin, kok, "dibully". Salahnya di mana?

Argumentasi netizen yang saya baca bermacam-macam, mulai dari pelaksanaan SOTR yang lebih banyak menimbulkan masalah daripada manfaatnya, hingga SOTR yang tidak dipandang sebagai tradisi Islam atau hal yang Islami.

Padahal, SOTR merupakan budaya asli masyarakat Indonesia. Acara bagi-bagi makanan di jalan ini memiliki akar tradisi dari semangat berbagi masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Tiga Mitos Finansial Seputar Ramadan yang Ternyata Menyesatkan

**

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang senang berbagi. Pada 10 hari terakhir Ramadan, orang Jawa biasanya melakukan "Selametan". Ini adalah praktik membagi-bagikan berkat berupa nasi dan lauk pauk ke fakir miskin dan tetangga rumah terdekat.

Sementara, orang Betawi mengenal kegiatan serupa dengan nama "Nyorog". Bedanya, bingkisan yang dikirim pada saat Ramadan bukan makanan siap santap melainkan paket bahan pokok seperti beras, gula dan minyak. Di Bumi Serambi Mekah Aceh, tradisi berbagi ini dikenal dengan nama "Meugang".

Beda dengan masyarakat Betawi dan Jawa, orang Aceh menjalankan Meugang dengan membeli dan memasak daging untuk disantap bersama keluarga dan dibagikan pada fakir miskin. Praktik ini mirip seperti dalam perayaan Idul Adha. Bedanya, Meugang dilakukan pada saat Ramadan.

Terdapat belasan bahkan puluhan tradisi serupa di seantero tanah air dengan nama yang berbeda-beda. Namun, inti tradisinya tetap sama yakni berbagi kepada orang lain yang membutuhkan seperti fakir miskin dan anak yatim-piatu.

Sekarang mari kita bandingkan dengan acara SOTR.

Berdasarkan pengamatan saya, aktivitas SOTR merupakan kegiatan yang dilakukan di jalanan dengan membagi-bagikan makanan untuk santap sahur para pengemis, tuna wisma dan orang tidak mampu lainnya.

Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh komunitas maupun kelompok masyarakat mulai dari sekolah, klub otomotif hingga perkumpulan berdasarkan hobi dan kedaerahan. Jadi, inti kegiatan ini adalah sedekah berbagi makanan untuk masyarakat yang tidak mampu. Tidak jauh berbeda dengan tradisi masyarakat yang saya singgung di atas, bukan?

Psikologi Sedekah

Masyarakat Kurang Mampu Merupakan Sasaran Aksi Bagi-Bagi Makanan dalam SOTR/Sumber Foto: twitter
Masyarakat Kurang Mampu Merupakan Sasaran Aksi Bagi-Bagi Makanan dalam SOTR/Sumber Foto: twitter
Apa sih alasan yang membuat orang Indonesia sangat suka melakukan SOTR? Mari kita lihat penjelasannya dari sisi ilmu psikologi. Dengan mengetahui sudut pandang ini, kita akan memahami mengapa orang Indonesia gemar melakukan kegiatan tersebut.

Secara psikologi, orang senang bersedekah dan berbagi pada sesama karena dapat meningkatkan kebahagiaan diri. Hal ini merupakan kesimpulan sebuah penelitian yang dilakukan Universitas California pada tahun 2014.

Menurut penelitian tersebut, kebahagiaan dari sebuah perbuatan baik tidak hanya menimbulkan dampak positif bagi orang yang disedekahi, tapi juga orang yang memberikan sedekah.

Aura orang yang suka membantu orang lain juga berbeda dibandingkan mereka yang tidak. Orang yang suka berbantu akan terlihat sangat positif di mata orang lain.

Baca Juga: Surat Terbuka untuk Monic Dewi Andini

SOTR dan Sinonim Kekerasan

Seperti sudah disinggung sekilas di atas, salah satu alasan di balik antipati netizen adalah sisi negatif SOTR seperti vandalisme, kebut-kebutan hingga aksi kekerasan. Atas alasan itu pula, kepolisian dan pemerintah sejumlah daerah, seperti DKI Jakarta, secara tegas melarang kegiatan SOTR.

Namun, sebelum sampai pada kesimpulan menentang apalagi melarang SOTR, dengan jujur kita harus bertanya lagi kepada diri sendiri, apakah adil menempatkan dua hal yang bertolak belakang pada satu makna? 

Sebab, bagi saya stigma negatif yang dilekatkan pada SOTR ini seperti sebuah peribahasa lama yang sering kita ucapkan bersama: karena nila setitik rusak susu sebelanga, karena masalah kecil yang nampak, seluruh persoalan menjadi tidak berarti lagi; hanya karena kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah orang tak bertanggungjawab, maka kegiatan memberi makan fakir miskin, yang tentu sangat positif, dilarang?

Atau, jangan jangan, antipati kita terhadap kegiatan ini hanya karena latah mengikuti arus opini yang paling kuat di sosial media? Jika demikian, kita tidak lagi peduli pada suara hati nurani sendiri.

Saya pribadi menolak mensinonimkan kegiatan kriminal dengan aktivitas SOTR. Sebab, tanpa harus menunggu momen Ramadan, perbuatan kriminal seperti tawuran, kebut-kebutan dan vandalisme juga bisa terjadi. Pemerintah dan aparat keamanan yang bertugas menjaga keamanan hidup bersama tidak bisa cuci tangan dengan melarang SOTR. 

Lagipula, orang yang berkonvoi melakukan kekerasan tidak dapat disebut sedang melakukan Sahur On The Road, karena yang mereka bawa bukan makanan dan sembako, melainkan senjata tajam dan cat semprot.

Tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah pertanyaan sederhana

Jika dalih pelarangan SOTR hanya karena kekerasan, pentas dangdut juga sering menimbulkan kericuhan yang tak kalah dahsyat. Jika dalihnya hanya menghindari jatuhnya korban, seorang pengunjung pesta pernikahan juga bisa tewas ditikam. Lantas, apa kita mau melarang setiap acara dangdutan dan pesta pernikahan?

Mari kita renungkan kembali!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun