Namun, sebelum sampai pada kesimpulan menentang apalagi melarang SOTR, dengan jujur kita harus bertanya lagi kepada diri sendiri, apakah adil menempatkan dua hal yang bertolak belakang pada satu makna?Â
Sebab, bagi saya stigma negatif yang dilekatkan pada SOTR ini seperti sebuah peribahasa lama yang sering kita ucapkan bersama: karena nila setitik rusak susu sebelanga, karena masalah kecil yang nampak, seluruh persoalan menjadi tidak berarti lagi; hanya karena kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah orang tak bertanggungjawab, maka kegiatan memberi makan fakir miskin, yang tentu sangat positif, dilarang?
Atau, jangan jangan, antipati kita terhadap kegiatan ini hanya karena latah mengikuti arus opini yang paling kuat di sosial media? Jika demikian, kita tidak lagi peduli pada suara hati nurani sendiri.
Saya pribadi menolak mensinonimkan kegiatan kriminal dengan aktivitas SOTR. Sebab, tanpa harus menunggu momen Ramadan, perbuatan kriminal seperti tawuran, kebut-kebutan dan vandalisme juga bisa terjadi. Pemerintah dan aparat keamanan yang bertugas menjaga keamanan hidup bersama tidak bisa cuci tangan dengan melarang SOTR.Â
Lagipula, orang yang berkonvoi melakukan kekerasan tidak dapat disebut sedang melakukan Sahur On The Road, karena yang mereka bawa bukan makanan dan sembako, melainkan senjata tajam dan cat semprot.
Tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah pertanyaan sederhana
Jika dalih pelarangan SOTR hanya karena kekerasan, pentas dangdut juga sering menimbulkan kericuhan yang tak kalah dahsyat. Jika dalihnya hanya menghindari jatuhnya korban, seorang pengunjung pesta pernikahan juga bisa tewas ditikam. Lantas, apa kita mau melarang setiap acara dangdutan dan pesta pernikahan?
Mari kita renungkan kembali!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H