Mimi Basinah* sudah terjaga ketika langit masih gelap. Hujan semalam membuat subuh terasa beku. Di sampingnya, Mang Darkam suaminya masih lelap tertidur.
Basinah mengeluh pelan ketika kaki tuanya menyentuh lantai rumah yang tak berubin. Dalam redup kuning lampu lima watt, Basinah berjalan pelan melalui dapur menuju sumur dan kamar mandi bersama yang dibaginya bersama empat tetangga. Setelah menimba air, Basinah mencuci muka. Sejurus kemudian, dia sudah siap berangkat menuju Masjid Kepuh untuk salat subuh.Â
Masjid Kepuh merupakan satu-satunya masjid di Desa K. Warga yang mendirikan masjid memberinya nama sama dengan pohon raksasa berumur ratusan tahun yang tumbuh menjualang di seberangnya.
Mimi Basinah sebenarnya jarang ke masjid. Untuk salat, terlebih saat subuh, dia lebih memilih melakukan di kamarnya. Selain harus berjalan kaki cukup jauh, perempuan tua ini kurang suka dengan bayang Pohon kepuh yang meremang hitam.Â
Saat langit gelap, Kepuh memang seperti jin raksasa yang mengawasi kita. Baginya, Kepuh masih seseram puluhan tahun lalu. Pohon ini terkenal angker sejak lama. Orangtua Basinah bahkan sering menggunakan Kepuh untuk menakutinyaÂ
"Aja kelayaban bengi-bengi, genderuwoe Pohon Kepu seneng nyulik bocah cilik"**
Cara ini memang ampuh. Basinah selalu ngeri jika pulang kemalaman.
Namun, ini hari istimewa. Manto, anaknya lanang semata wayang akan pulang. Seperti yang dikatakan dalam suratnya, Manto berencana pulang seminggu sebelum Raya.***
Anak lelakinya yang bekerja sebagai satpam di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta juga berjanji, sebelum pulang ke rumah, akan mampir lebih dulu ke Trusmi untuk membeli batik untuk ibunya berLebaran.
Rasa bahagia karena anaknya akan pulang mengusir semua jin dan lelembut yang bersarang di kepalanya. Rasa takut harus disingkirkan sementara. Dia merasa perlu berdoa untuk keselamatan anaknya.Â
Sebab, dari pengetahuan agamanya yang sederhana, Basinah percaya doa yang dirapal di masjid akan lebih didengar Tuhan.