Sejarah penyebaran agama Islam di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari Cirebon, sebuah daerah yang terletak di pesisir utara pulau Tersebut.
Tidak heran jika di kawasan yang dulunya bernama Caruban ini berdiri sejumlah masjid kuno yang berumur ratusan tahun. Salah satu masjid kuno yang kini menjadi ikon kota adalah Masjid Abang Panjunan.
Masjid yang terletak di kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk ini diberi nama "Abang"-yang berarti merah dalam Bahasa Indonesia- karena warna bangunannya yang didominasi warna merah.
Para wisatawan yang baru menjejakkan kaki di Cirebon akan mudah mengenali masjid ini dari gaya arsitekturnya yang kuno, sehingga membuat masjid ini tampak lebih mencolok dibandingkan bangunan-bangunan di sekitarnya.
Masjid ini merupakan salah satu masjid tujuan wisata religi. Banyak hal dapat kita peroleh jika mengunjungi masjid yang terletak di pusat Kota Cirebon ini.
Selain menunaikan salat lima waktu dan salat sunnah Tarawih, kita juga bisa belajar mengenai toleransi umat beragama dan keragaman budaya yang melatari kemunculan Islam di Pulau Jawa.
Masjid Abang didirikan tahun 1480 oleh seorang pemimpin imigran Arab asal Baghdad bernama Abdulrahman.
Dia kemudian diberi gelar Pangeran Panjunan setelah diperintahkan oleh otoritas kesultanan Cirebon membangun permukiman di daerah itu. Lidah lokal menyebut daerah Panjunan sebagai kampung "Awod" atau Arab.
Lalu, untuk memenuhi kebutuhan komunitasnya beribadah, Syeikh Abdulrahman al Baghdadi atau Pangeran Panjunan ini mendirikan sebuah musala berukuran 40 meter. Inilah cikal bakal Masjid Abang setelah arealnya diperluas menjadi 150 meter.
Meskipun Pangeran Panjunan merupakan orang Arab asli, dia tidak kaku dalam melakukan kegiatan penyebaran agama.
Murid Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati ini menyadari, Cirebon adalah sebuah negeri multikultural di mana penduduknya tidak hanya berasal dari satu melainkan banyak etnis. Sebut saja orang Arab, Cina, Sunda dan Jawa.
Karenannya, dalam membangun masjid dan melakukan dakwah dia mementingkan akulturasi budaya dan penyesuaian.
Arab, Cina, Jawa dalam Arsitektur Masjid Abang
Keragaman budaya dapat langsung kita rasakan ketika mengamati gaya arsitektur masjid ini. Bahkan sebelum memasuki masjid, kita sudah menemukan tembok keliling -yang memisahkan masjid dan daerah di luarnya- berhiaskan gapura yang menunjukkan adopsi tradisi arsitektur Jawa-hindu.
Pintu masuk masjid ini juga unik karena berupa rongga berbentuk segi empat yang rendah. Pengunjung harus menunduk ketika melewatinya. Ini merupakan ciri arsitektur Arab yang memiliki makna filosofis bahwa mereka yang mau beribadah harus menunduk sebagai wujud permintaan ampun pada Allah SWT.
Tidak seperti pada masjid pada umumnya, di masjid ini kita dapat menemukan sebuah dinding di tengah-tengahnya. Dinding masjid Abang sendiri mencerminkan budaya Jawa tradisional yang fungsinya bukan untuk menyangga atap melainkan sebagai sekat pemisah ruangan.
Uniknya, baik pada tembok pagar luar maupun dinding masjid ditanam sejumlah keramik Cina sebagai hiasan yang mewakili kebudayaan Cina yang memang sudah mengakar lama di Cirebon. Inskripsi Arab yang dapat kita temukan di sana sini jelas mencerminkan budaya Islam-Arab yang dibawa oleh pendirinya.
Dari segi denah bangunan, masjid ini mengadopsi bentuk segi empat ala pendopo yang merupakan warisan bangunan tradisional Jawa.
Masjid Abang Panjunan tidak hanya merupakan peninggalan fisik yang berharga. Jauh lebih penting, masjid ini menyuarakan gagasan kemasyarakatan yang berkembang saat penyebaran Islam pertama di tanah Jawa.
Gagasan tersebut adalah keragaman. Kala itu orang Arab tidak merasa lebih superior dibandingkan orang Cina, begitu juga masyarakat lokal Cirebon tidak memandang dirinya sebagai pribumi yang berkuasa. Mereka dapat hidup berdampingan dengan harmonis dan tidak merasa terancam dengan agama dan kebudayaan baru yang datang.
Wali Pelindung Jawa Barat yang Menikahi Puteri Cina
Cirebon yang multi budaya memang tidak lepas dari sejarah berdirinya. Pendiri Cirebon, seorang keturunan Arab yang diperkirakan lahir di Pasai (Aceh) pada abad ke-15 merupakan penyebar agama Islam paling penting di Jawa Barat.
Saat mendirikan daerah ini, dia menikahi seorang puteri Cina bernama Ong Tien. Tidak heran jika masyarakat keturunan Tionghoa dapat hidup dengan tenteram di kota ini. Bahkan, kita dapat menemukan Kelenteng dengan mudah di Kota Cirebon.
Yang lebih menarik lagi, di makam Sunan Gunung Jati, yang kini menjadi salah satu pusat ziarah terbesar di Pulau Jawa, ritus-ritus Islam berdampingan harmonis dengan ritus berbau Tionghoa.
Tidak jauh dari makam Sunan Gunung Jati, terdapat makam istrinya yang hingga saat ini masih didatangi banyak peziarah keturunan Tionghoa.
Mereka bersembayang dengan membawa persembahan seperti di kelenteng, membakar dupa yang batangnya ditancapkan pada sebuah tempayan tembaga berisi pasir dan melemparkan uang receh bercampur bunga.
Cirebon sendiri sudah diuji berkali-kali dalam perjalanannya sebagai sebuah kota multi etnis. Ketika negara bergejolak seperti saat kerusuhan etnis berkobar di Indonesia pada tahun 1998, tidak satu pun bangunan masyarakat Tionghoa dirusak atau dibakar. Masyarakat lokal bahkan cenderung melindungi masyarakat keturunan Tionghoa yang sudah hidup ratusan tahun di daerah ini.
Melalui Cirebon dan Masjid Abang Panjunan kita belajar bahwa perbedaan kepercayaan bukanlah masalah besar. Perbedaan agama tidak perlu diperuncing sehingga menimbulkan perpecahan. Perbedaan bukanlah aib, melainkan sebuah modal besar untuk membangun bangsa dan peradaban manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI