Kita semua terperanjat, betapa fanatisme mampu menghilangkan akal sehat sehingga mendorong pelaku terorisme mengikutsertakan anak-anak kecil untuk melakukan aksi bom bunuh diri.
Spiral Kebencian di Media Sosial
Untuk berkomunikasi dan bersilaturahmi, kita tidak lagi dibatasi jarak dan waktu. Cukup menggunakan aplikasi dari ponsel pintar, kita dapat berkomunikasi dengan siapa saja, kapan dan di mana saja.
Sayangnya, kemajuan teknologi informasi juga digunakan oleh pihak tertentu untuk menyebarluaskan kebencian. Orang seakan bebas menghina, mengancam, menghasut, menyebarkan kabar bohong melalui media sosial.
Di Indonesia, penyebarluasan kebencian melalui media sosial memiliki karakteristik khusus. Biasanya, menjelang momen politik seperti Pilkada maupun Pilpres, peredaran konten-konten bernada kebencian meningkat.
Pada Pilkada DKI Jakarta yang lalu, misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informasi mencatat pengaduan terkait konten ujaran kebencian mencapai 10.000 pengaduan per hari.
Sementara, data Kepolisian Republik Indonesia menunjukkan adanya tren peningkatan kasus ujaran kebencian. Jika pada tahun 2016 polisi hanya menangani 1.829 kasus ujaran kebencian, pada tahun 2017 jumlahnya meningkat 44,99% menjadi 2.018 kasus.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya, siapa yang memproduksi spiral kebencian di media masa? Konten-konten intoleransi di media masa pada umumnya dibuat dan disebarluaskan oleh pihak dengan latar belakang keberpihakan atas ideologi atau latar belakang politis.
Pihak dengan latar belakang ideologi biasanya memiliki keterkaitan dengan jaring terorisme global. ISIS contohnya, organisasi terorisme ini dikenal sangat aktif di media sosial.
Dikutip dari laporan Brookings Institute seperti diberitakan Tirto.id (21/8/2016), diketahui sedikitnya terdapat 46.000 akun twitter yang terafiliasi dengan organisasi terorisme berpusat di Syria dan Irak tersebut.