Mohon tunggu...
Surtan Siahaan
Surtan Siahaan Mohon Tunggu... Penulis -

Berbahagialah orang yang tidak sukses, selama mereka tidak punya beban. Bagi yang memberhalakan kesuksesan, tapi gagal, boleh ditunggu di lapangan parkir: siapa tahu meloncat dari lantai 20. -Seno Gumira Ajidarma-

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengkampanyekan Islam yang Penuh Kasih adalah Target Puasa Saya

16 Mei 2018   11:32 Diperbarui: 16 Mei 2018   11:55 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jirhas Rani dan Suaminya Ahmad Muttaqin, Pasangan Muslim yang Ikut Membersihkan Gerja Santa Lidwina Yogyakarta yang Diserang Orang Tidak Dikenal awal Februari 2018. Keduanya Mengajarkan Kita Perbedaan Bukan Halangan untuk Saling Memanusiakan Sesama./Sumber Foto: Kompas.com

Puasa adalah ibadah yang kontekstual. Ketika kita kecil, menahan lapar dan haus menjadi tantangan terbesar ibadah puasa.

Namun, seiring bertambahnya usia, aral puasa pun berubah. Selain lapar dan haus, ujian utama ibadah puasa adalah menahan amarah.

Tesis di atas didukung oleh data. Berdasarkan survey 9APPS pada tahun 2016 seperti dikutip dari Kompas.com (01/072016), dari 8.084 umat Islam yang menjalankan puasa Ramadan, 35% di antaranya mengakui, mengontrol emosi jauh lebih sukar daripada menahan haus dan lapar.

Sementara, 13% lainnya sepakat bahwa tantangan tersulit saat berpuasa adalah tidak mempergunjingkan orang lain.

Peliknya, hari ini kita hidup di dalam dunia yang penuh kebencian. Sastrawan kelahiran India, Salman Rushdie, bahkan menyebut ciri khas dari zaman kekinian adalah tumbuh suburnya budaya permusuhan.

Dalam sebuah kesempatan di tahun 2013, penulis yang pernah hidup dalam teror setelah menerima fatwa mati tersebut juga menyoroti kemunculan politik identitas yang ekstrem.

Dikatakannya, umat manusia saat ini tidak lagi mengidentifikasi diri berdasarkan apa yang kita cintai seperti asal daerah kita, keluarga, bahasa yang kita gunakan maupun siapa teman kita.

Rushdie memang benar. Di zaman ini, orang lebih suka mengidentifikasi dirinya pada apa yang dia musuhi atau dibenci, dan apa yang tidak dia musuhi atau benci.

Kebencian dan permusuhan yang telah menjadi budaya global juga sudah memakan korban yang tidak sedikit. Di Amerika Serikat, misalnya, kita menyaksikan berulangnya kasus penembakan masal yang dilatarbelakangi kebencian berbasis rasial.

Begitu pun di Myanmar, kemunculan kaum nasionalis Budha berpandangan radikal membuat ribuan etnis Rohingya terbunuh dan terusir.

Sementara di Indonesia, kebangkitan fanatisme dan radikalisme agama melahirkan terorisme. Contoh paling anyar dari mematikannya fanatisme dan radikalisme agama adalah peristiwa pemboman di Surabaya pekan lalu.

Kita semua terperanjat, betapa fanatisme mampu menghilangkan akal sehat sehingga mendorong pelaku terorisme mengikutsertakan anak-anak kecil untuk melakukan aksi bom bunuh diri.

Spiral Kebencian di Media Sosial

Umat Islam Seharusnya Ikut Aktif Melawan Penyebaran Hoax dan Kebencian di Media Sosial/ Sumber Foto: Tribunnews.com
Umat Islam Seharusnya Ikut Aktif Melawan Penyebaran Hoax dan Kebencian di Media Sosial/ Sumber Foto: Tribunnews.com
Seiring masifnya penggunaan internet dan ponsel pintar, interaksi manusia pun beralih dari tatap muka ke interaksi melalui media sosial dan pesan instan seperti Facebook, Twitter, Instagram maupun WhatsApp. Masyarakat modern lebih memilih komunikasi secara virtual karena memang lebih mudah dan cepat.

Untuk berkomunikasi dan bersilaturahmi, kita tidak lagi dibatasi jarak dan waktu. Cukup menggunakan aplikasi dari ponsel pintar, kita dapat berkomunikasi dengan siapa saja, kapan dan di mana saja.

Sayangnya, kemajuan teknologi informasi juga digunakan oleh pihak tertentu untuk menyebarluaskan kebencian. Orang seakan bebas menghina, mengancam, menghasut, menyebarkan kabar bohong melalui media sosial.

Di Indonesia, penyebarluasan kebencian melalui media sosial memiliki karakteristik khusus. Biasanya, menjelang momen politik seperti Pilkada maupun Pilpres, peredaran konten-konten bernada kebencian meningkat.

Pada Pilkada DKI Jakarta yang lalu, misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informasi mencatat pengaduan terkait konten ujaran kebencian mencapai 10.000 pengaduan per hari.

Sementara, data Kepolisian Republik Indonesia menunjukkan adanya tren peningkatan kasus ujaran kebencian. Jika pada tahun 2016 polisi hanya menangani 1.829 kasus ujaran kebencian, pada tahun 2017 jumlahnya meningkat 44,99% menjadi 2.018 kasus.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya, siapa yang memproduksi spiral kebencian di media masa? Konten-konten intoleransi di media masa pada umumnya dibuat dan disebarluaskan oleh pihak dengan latar belakang keberpihakan atas ideologi atau latar belakang politis.

Pihak dengan latar belakang ideologi biasanya memiliki keterkaitan dengan jaring terorisme global. ISIS contohnya, organisasi terorisme ini dikenal sangat aktif di media sosial.

Dikutip dari laporan Brookings Institute seperti diberitakan Tirto.id (21/8/2016), diketahui sedikitnya terdapat 46.000 akun twitter yang terafiliasi dengan organisasi terorisme berpusat di Syria dan Irak tersebut.

Setiap harinya media propaganda ISIS memproduksi 90.000 pesan digital baik yang disebarluaskan melalui Facebook, Twitter, YouTube hingga blog. ISIS sengaja menggunakan konten digital untuk menarik minat anak-anak muda. Cara-cara serupa pun diikuti oleh organisasi simpatisan ISIS di Indonesia.

Sementara, pihak kedua yang turut memproduksi dan menyebarluaskan konten bernada kebencian adalah kelompok oportunis yang memiliki kepentingan politis terhadap meluasnya permusuhan dan kebencian.

Target Puasa Kontekstual

Ramadan Sudah di Depan Mata, Saatnya Membersihkan Hati dari Amarah/Sumber Foto: Kompas.com
Ramadan Sudah di Depan Mata, Saatnya Membersihkan Hati dari Amarah/Sumber Foto: Kompas.com

Islam adalah agama rahmatan lil alamin artinya agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan pada seluruh mahluk. Oleh karenannya, seluruh target ibadah umat Islam harus mampu menerjemahkan wacana tersebut.

Dalam ibadah puasa Ramadan, misalnya, banyak muslim menyederhanakannya menjadi sebatas aktivitas fisik. Target puasa dimaknai sebatas menahan lapar dan dahaga, mengkhatamkan alquran, membayar sedekah, melaksanakan itikaf, melakukan salat malam dan lain sebagainya.

Semua pelaksanaan aktivitas tersebut memang sangat baik bahkan dianjurkan oleh para ulama dan ahli agama. Namun, target puasa tersebut masih bersifat pribadi. Padahal, Islam adalah agama yang memberi manfaat melintasi kepentingan individu penganutnya.

Oleh karenannya, target puasa kita harus menjadi lebih kontekstual atau berhubungan dengan situasi yang terjadi di sekitar kita. Lantas, apa yang harus dilakukan agar target puasa menjadi lebih menginjak realita?

Seperti sudah disebutkan pada awal artikel, hari ini kita sedang hidup di sebuah zaman yang penuh kebencian dan permusuhan, di mana media sosial menjadi sarana penyebarannya. Umpatan, ancaman, dan intoleransi yang dilakukan oleh mereka yang mengatasnamakan Islam telah menutupi keindahan Islam.

Sudah selayaknya, para penganut muslim untuk mengambil sikap nyata. Caranya dengan tidak menjauhi media sosial. Namun aktiflah di media sosial untuk melawan narasi kebencian dan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang mengatasnamakan Islam. Lawan dengan memenuhi media sosial baik itu Facebook, Twitter maupun Instagram dengan kampanye Islam yang damai, ramah, simpatik dan penuh kasih sayang.

Ramadan merupakan waktu yang tepat untuk mengumpulkan pahala. Banyak tafsir meyakini, pahala suatu ibadah yang dilakukan di bulan puasa nilainya 70 kali lipat lebih besar dibandingkan pahala ibadah di bulan lain. Pahala yang kita peroleh niscaya akan jauh lebih berlibat jika puasa kita berperan mengembalikan fitrah Islam yang sejati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun