Mohon tunggu...
Surtan Siahaan
Surtan Siahaan Mohon Tunggu... Penulis -

Berbahagialah orang yang tidak sukses, selama mereka tidak punya beban. Bagi yang memberhalakan kesuksesan, tapi gagal, boleh ditunggu di lapangan parkir: siapa tahu meloncat dari lantai 20. -Seno Gumira Ajidarma-

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengikuti Jejak Damai Diponegoro Menyambut Ramadan

15 Mei 2018   15:46 Diperbarui: 18 Mei 2018   12:21 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Pangeran Diponegoro Memukul Patih Danurejo dengan Sandal Karena Skandal Penyewaan Tanah Kerajaan di Rojowinangun/Sumber Foto: Kompas.com

Diponegoro bahkan juga disebut sebagai Wali Mudhar. Seorang bekas penghulu agama Islam yang dekat dengan pangeran mengartikannya sebagai seorang wali yang mengemban dua tugas dari Tuhan Yang Maha Esa yakni menegakkan keadilan sekaligus melaksanakan otoritas spiritual.

Namun ada juga pandangan yang menilai Wali Mudhar bermakna sebagai seorang rasul Islam yang gagal menjadi nabi. (Pendapat ini disampaikan oleh Paman Diponegoro sendiri, Mangkubumi)

Di luar itu semua, Diponegoro sebenarnya memang lebih tertarik pada sisi rohani ketimbang kekuasaan sebagai raja Jawa. Dia selalu merasa lebih terpanggil untuk menjadi seorang "imam agung" di Jawa ketimbang menjadi raja. Namun, konstelasi politik dan kondisi rakyat lah yang mendorongnya ikut tampil di gelanggang kekuasaan.

Kedekatan Diponegoro dengan Islam juga terlihat jelas saat dia memimpin perang Jawa. Tidak hanya memilih jubah ala ulama Arab sebagai pakaian perang, dalam hal struktur militer Diponegoro bahkan berkiblat pada gaya militer Turki.

Dalam sebuah perundingan perdamaian di tengah periode Perang Jawa pada September 1827, Diponegoro bahkan disebut sebut ingin berdamai asalkan Belanda mau memenuhi sejumlah syarat.

Tuntutan tersebut adalah keharusan Belanda untuk mengakui dirinya sebagai Raja Islam yang bebas memerintah di Selatan Jawa dengan otoritas menegakkan hukum Islam Jawa dan praktik agama Islam.

Menghentikan Perang di Bulan Ramadan

Lukisan Penangkapan Diponegoro Karya Raden Saleh saat Direstorasi oleh Ahli Restorasi Jerman, Susanne Erhards/Sumber Foto: Kompas.com
Lukisan Penangkapan Diponegoro Karya Raden Saleh saat Direstorasi oleh Ahli Restorasi Jerman, Susanne Erhards/Sumber Foto: Kompas.com

Ada suatu peristiwa menarik yang menunjukkan kesejatian Diponegoro sebagai muslim. Ini terjadi pada awal Maret 1830 menjelang puasa. Sebagai seorang santri yang serius mempelajari Islam, Diponegoro tahu bahwa Ramadan merupakan bulan yang harus dihormati karena keistimewaannya.

Hal itu pula yang mendorongnya untuk mengumumkan gencatan senjata sementara. Bahkan, kepada musuh bebuyutannya, pemimpin militer Belanda Jenderal de Cock, Diponegoro mengimbau untuk menghentikan pembicaraan apapun mengenai perang. Singkat kata: perang Jawa harus libur untuk menghormati puasa.

Bersama ratusan pengikutnya, pangeran yang tercatat sebagai penulis biografi pertama dalam sejarah kesusasteraan Jawa modern ini menyingkir ke Manoreh, sebuah daerah yang terletak di perbatasan Kedu dan Bagelen. Di daerah itulah Diponegoro bersama pasukannya memutuskan untuk melupakan permusuhan dan dendam serta fokus untuk berpuasa dan beribadah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun