Diponegoro bahkan juga disebut sebagai Wali Mudhar. Seorang bekas penghulu agama Islam yang dekat dengan pangeran mengartikannya sebagai seorang wali yang mengemban dua tugas dari Tuhan Yang Maha Esa yakni menegakkan keadilan sekaligus melaksanakan otoritas spiritual.
Namun ada juga pandangan yang menilai Wali Mudhar bermakna sebagai seorang rasul Islam yang gagal menjadi nabi. (Pendapat ini disampaikan oleh Paman Diponegoro sendiri, Mangkubumi)
Di luar itu semua, Diponegoro sebenarnya memang lebih tertarik pada sisi rohani ketimbang kekuasaan sebagai raja Jawa. Dia selalu merasa lebih terpanggil untuk menjadi seorang "imam agung" di Jawa ketimbang menjadi raja. Namun, konstelasi politik dan kondisi rakyat lah yang mendorongnya ikut tampil di gelanggang kekuasaan.
Kedekatan Diponegoro dengan Islam juga terlihat jelas saat dia memimpin perang Jawa. Tidak hanya memilih jubah ala ulama Arab sebagai pakaian perang, dalam hal struktur militer Diponegoro bahkan berkiblat pada gaya militer Turki.
Dalam sebuah perundingan perdamaian di tengah periode Perang Jawa pada September 1827, Diponegoro bahkan disebut sebut ingin berdamai asalkan Belanda mau memenuhi sejumlah syarat.
Tuntutan tersebut adalah keharusan Belanda untuk mengakui dirinya sebagai Raja Islam yang bebas memerintah di Selatan Jawa dengan otoritas menegakkan hukum Islam Jawa dan praktik agama Islam.
Menghentikan Perang di Bulan Ramadan
Ada suatu peristiwa menarik yang menunjukkan kesejatian Diponegoro sebagai muslim. Ini terjadi pada awal Maret 1830 menjelang puasa. Sebagai seorang santri yang serius mempelajari Islam, Diponegoro tahu bahwa Ramadan merupakan bulan yang harus dihormati karena keistimewaannya.
Hal itu pula yang mendorongnya untuk mengumumkan gencatan senjata sementara. Bahkan, kepada musuh bebuyutannya, pemimpin militer Belanda Jenderal de Cock, Diponegoro mengimbau untuk menghentikan pembicaraan apapun mengenai perang. Singkat kata: perang Jawa harus libur untuk menghormati puasa.
Bersama ratusan pengikutnya, pangeran yang tercatat sebagai penulis biografi pertama dalam sejarah kesusasteraan Jawa modern ini menyingkir ke Manoreh, sebuah daerah yang terletak di perbatasan Kedu dan Bagelen. Di daerah itulah Diponegoro bersama pasukannya memutuskan untuk melupakan permusuhan dan dendam serta fokus untuk berpuasa dan beribadah.