Mohon tunggu...
Surpi Aryadharma
Surpi Aryadharma Mohon Tunggu... Penulis - Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Dharmapracaraka

Gemar membaca, Mencintai Negara, Mendidik Anak Bangsa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hasrat Berkuasa dan Politik Kotor, Politisi Kehilangan Moral Politik?

20 Juli 2021   18:30 Diperbarui: 20 Juli 2021   18:41 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasrat Berkuasa dan Politik Kotor, Politisi Kehilangan Moral ?

Moral politik akan berpengaruh terhadap situasi fundamen sebuah bangsa. Politik bukan sekedar mencapai kekuasaan, tetapi memiliki tujuan dan cara yang baik. Di negara kita, cara berpolitik kelompok oposisi yang paling buruk ditunjukkan dalan kontestasi politik Pilpres 2019 yang oleh sejumlah media massa disebut disebut sebagai Pilpres terpanas sepanjang sejarah. Para elit Parpol dan politisi tampak oleh publik menggunakan berbagai cara. Salah satu hal yang paling menonjol adalah playing victim yang dilakukan oleh sejumlah politisi karbitan.

Fenomena politik buruk di Indonesia memberikan pelajaran sekaligus ancaman serius berupa penurunan kualitas cara berpikir elite politik bangsa. Dengan jelas terlihat  bagaimana api sentimen kebohongan langsung disebarkan tanpa ada konfirmasi terhadap fakta yang sebenarnya terjadi. Elite politik hari ini, terutama yang dilakukan oleh kelompok oposisi, merupakan pola pikir barbar yang sama sekali tak peduli bagaimana menyehatkan partisipasi politik masyarakat.

Menajamnya dua kutub politik ini menghasilkan kejadian-kejadian politik yang menjerumuskan kesadaran politik dan membunuh moral politik di ranah publik. 

Kebohongan-kebohongan yang diproduksi dan disebarkan secara massif telah mampu menggoyang sendi yang paling fundamental dari bangsa yakni persatuan. 

Para elit politik, para politisi tampaknya tidak memiliki tanggung jawab membangun bangsa yang besar, selain syahwat berkuasa yang  menggebu-gebu.  Apa yang terjadi di Indonesia, mirip seperti apa yang dimainkan Paman Sakuni lima ribu tahun lalu dalam sejarah Mahbhrata. Sebagai kelompok yang haus dengan kekuasaan, menganggap segala bentuk kecurangan adalah sah demi meraih tujuan kekuasaan. 

Bahkan keadilan menurutnya adalah apa yang menguntungkan dan sebaliknya apapun yang merugikan kelompoknya, tidak peduli sebenar apapun, tetap dianggap tidak adil. Demikian pula kerusuhan yang terjadi di Ibu Kota Jakarta, pasca pengumuman hasil Pilres dan Pileg 2019, mencerminkan betapa tidak bermartabatnya cara-cara yang digunakan. 

Kerusuhan 22 Mei 2019 tersebut tidak dapat dipandang sebagai sebuah kejahatan semata, tetapi rusaknya konsep berbangsa dan rusaknya moral politik para politisi.  Sangat diperlukan sebuah moral politik yang dapat digunakan untuk menghasilkan fungsi politik yang baik. Hakikat  politik yang baik itu tentu dapat diimplementasikan dalam proses perjuangan politik. Hadirnya moral politik oposisi yang baik tentu akan mendorong hadirnya gerbong penyeimbang yang baik dalam proses mengawal pemerintahan.

Namun, politik yang hanya mengejar kekuasaan dengan membangun sentiment politik identitas rasial serta menyebar ketakutan sudah tidak sesuai dengan kultur kuno Nusantara sebagaimana diajarkan dalam Lontar Sevaka Dharma, pustaka yang menjadi landasan politik kuno.

Pun apa yang diajarkan ratusan tahun lalu oleh Cakya sebagai Teachers of Political Morals.

Bagaimanapun, pertarungan politik tidak boleh mengabaikan kemanusiaan apalagi berpotensi meruntuhkan sendi fundamen bangsa yakni semangat persatuan. Apa yang diajarkan oleh Cakya dan Machiavelli lebih banyak pelajaran untuk menghadapi musuh dari luar yang bersifat kejam dan ingin menguasai sehingga seorang pemimpin harus bangkit dengan segala cara melindungi tanah airnya. Namun Cakya dengan risalahnya yang panjang mengajarkan bagaimana pola-pola menghadapi musuh yang dekat, yakni mereka yang ingin menghancurkan tatanan kehidupan bangsa, namun tidak menimbulkan

Pengaruh Negatif Politisi

Pertarungan politik telah menjadi ajang pecah belah. Sebab bukan persoalan perhelatan politik melainkan moral politik yang rapuh. Politik ini harus ditangani dan dibangun demi membangun peradaban politik yang sehat, bermartabat dan tidak memecah belah bangsa karena syahwat kekuasaan. 

Dunia saat ini membutuhkan ditumbuhkannya moral politik guna mengembalikan esensi dari ilmu politik yakni demi kesejahteraan masyarakat. Politisi yang buruk, yang hanya mengejar kekuasaan, harta dan tahta telah memberikan pengaruh yang buruk di berbagai belahan dunia. Termasuk di Indonesia. 

Ujaran-ujaran kebencian para politisi akan disambut dengan pengikutnya bahkan oleh mereka yang tidak memahami apa-apa tentang politik. Hanya berlandaskan kesamaan semata, walau hanya kesamaan emosi. Semburan kebencian para politisi bisa mengacaukan pikiran manusia yang membuat kehidupan menjadi merosot pada titik nadir tanpa kehormatan peradaban. 

Demikian pula, pola-pola kejahatan pada masyarakat akan semakin kuat apabila ada energi dukungan dari para politisi atau tokoh tertentu. Energi kejahatan ini bagai bola api yang siap menghancuran sebuah negara.

Selain para pemikir politik, Islam pun sangat menjunjung moral politik.  Menurut al-Ghozali moral dan politik adalah sesuatu yang tidak boleh dipisahkan. Moral diperlukan oleh masyarakat untuk menentukan nilai baik dan buruk tindakan serta keinginan orang didalam masyarakat dan politik diperlukan sebagai pengatur masyarakat supaya sesuai dengan aturan-aturan moral yang diterima masyarakat. 

Sehingga dalam pembahasannya bukan moral dan politik tetapi moral politik, yang tentu saja moral politik yang dimaksud adalah moral yang didasarkan kepada agama Islam. Mestinya, tidak ada halangan apapun, walaupun atas dasar agama untuk membangun politik yang menjunjung moral di Indonesia.

Moral politik sangat menentukan kualitas sebuah peradaban. Penguasa yang baik, dengan tujuan dan cara yang baik namun kuat sangat diperlukan untuk mendidik masyarakat. Kekuasaan yang diraih dengan cara-cara yang licik oleh orang-orang yang jahat sesungguhnya telah menghancurkan peradaban, budaya adi luhung, sebagaimana semangat yang ingin dibangun oleh orang-orang yang memiliki pikiran besar. Hasrat berkuasa telah melumpuhkan cara-cara baik dan etika-moralitas dalam dunia politik. 

Sebuah kemunduran akan terjadi ketika moral politik diabaikan dalam tujuan politik untuk meraih kekuasaan. Sejak jaman lampau, Kauilya Pandit dalam risalahnya Arthastra telah mengajarkan bagaimana kekuasaan politik harus diraih dan dipertahankan namun tidak boleh mengabaikan kesejahteraan masyarakat termasuk kualitas moral dan cara berpikirnya. 

Politik justru didedikasikan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk menghancurkan fundamen bangsa yang disusun atas moralitas dan kesatuan. Cakya dan Machiavelli adalah dua kubu pemikir politik pada jaman yang berbeda dan tanah yang berbeda-namun ajarannya terdapat benang merah walau tersamar dalam tatanan moralitas politik guna membangun nilai kebaikan ditengah masyarakat.

Ajaran Nasionalisme dan Cinta Tanah Air dalam Hindu-bahwa umat Hindu senantiasa menjadi simbol perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Ada doktrin sentral dalam ajaran Hindu bahwa bumi lebih tinggi dari Surga dan setiap orang harus menghormati bumi. 

Dalam pengertian luas, bumi yang dimaksud adalah planet Bumi dan dalam pengertian sempit berarti tempat dimana seseorang hidup dan tinggal. Umat Hindu senantiasa menganut paham nasionalis dan tidak ingin terlibat konflik yang dapat memecah belah persatuan bangsa. 

Olehnya, integrasi bangsa merupakan sumbangan besar dari umat Hindu, baik dalam bentuk pikiran maupun tingkah laku. Tajamnya isu radikalisme tidak menggoyang pendirian umat Hindu, bahkan mengambil posisi sebagai penjaga Pancasila, cita-cita dan amanat luhur bangsa. Olehnya, umat Hindu dapat memberikan sumbangan pemikiran ideologi bangsa dan upaya membangun moral politik bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun