Persimpangan Mushollah
Pulau Dewata, January, 2006
      Aku terpaku menatap sang MC yang mengantarkan acara demi acara dalam diskusi yang dihadiri oleh beberapa pejabat dan jajaran kepolisian di Bali.  Inilah untuk pertama kalinya aku harus meliput kegiatan dialog muslim yang berlangsung sedikit panas.  Berbagai kalimat keberatan yang bernada protes atas beberapa awig-awig yang diterapkan oleh beberapa desa pakraman meluncur dari peserta diskusi.  Aku mendengarkan dengan seksama, sambil sekali-sekali menatap wajah sang MC yang manis, lengkap dengan kerudung hitam putih yang membalut kepalanya-hingga membuatnya lebih manis.
      Akhirnya saat acara istirahat aku sempat berbincang dengannya walau, aku terlalu segan untuk menanyakan siapa namanya, apalagi acara ini di sebuah pondok pesantren, untung profesi wartawanku membantu aku untuk mendekatinya.  Dengan segenap rasa segan, diakhir acara aku menitipkan kartu nama padanya seraya berkata " Jika ada kegiatan lagi, anda bisa mengundang saya," Ia hanya mengangguk sopan, seperti layaknya etika muslimah terhadap kaum adam.
Ternyata jurus sakti ku berhasil, keesokan harinya muncullah sebuah SMS dari nomor yang tidak tercatat di hp ku. Â "Makasi Bli, tiang sudah baca beritanya...," yahhh aku sangat lega, bukan karena aku mampu menuangkan tulisan ke dalam Headline, tetapi aku tidak kehilangan jejaknya. Â "Makasi juga, Anda telah banyak berikan info tuk tiang...eh maaf, bisa tiang panggil siapa anda..?"
"Tiang Rabhita Maharani, bisa dipanggil Rani saja....." hatiku pun berdebar hebat dengan jawaban SMS-nya, ternyata nama itu luar biasa..seindah senyumnya.
      Sesekali akupun mengirim SMS lagi padanya, sekedar mengucapkan selamat malam atau menanyakan keadaannya....dan tidak hanya itu, waktu kembali mempertemukan kami pada acara Idul Adha, dia kembali menjadi MC dan aku kembali meliput kegiatan.  Bukan hanya itu, kami kian akrab, kadang kami bertemu di perpustakaan, di toko buku, terlibat dalam diskusi atau masa berikutnya aku mulai terlibat dalam kegiatan amal yang dilaksanakan pondok pesantrennya.  Dia adalah seorang santri senior yang baik hati dan bisa menerima keberadaan yang lainnya. tapi bukanlah perbedaan itu yang menjadi masalahnya tetapi kian hari, hubungan kami kian dekat dan aku serasa tidak mampu jika sehari saja tanpa menerima SMS darinya.  Terkadang kami berkirim email hanya untuk bercerita lucu. Dan tanpa kami sadari, kami telah menambatkan hati kami masing-masing pada sebuah harapan, harapan yang tanpa kami tahu akan menjadi tangisan hebat bagi kami.
      Angga menengadahkan wajahnya pada lembutnya cahaya senja di Tanah Lot, ia hanya bisa mengenang kembali saat-saat kebersamaannya bersama gadis muslim yang taat.  Teringat kembali perbincangannya dengan orang tua serta segenap keluarga Rani semalam.Â
"Kami semua tidak melarang kedekatan kalian, hanya saja sebelum kalian memutuskan sesuatu, mohon dipikirkan kepercayaan kita berbeda," suara ayah Rani terdengan berat dan menusuk hatiku.
 "Rani seorang muslimah dan ia hanya boleh dimiliki oleh seorang muslim, dan saya tahu anda seorang Hindu yang taat," Aku mencoba meyakinkan bahwa kami bisa bersama walau perbedaan, tetapi akupun tak memungkiri bahwa jika ingin membangun sebuah keluarga, landasan agama haruslah kokoh. Dengan sangat sopan, mereka menawarkan angga menjadi pengikut Muhammad sementara Rani hanya bisa menangis tersedu di seberang meja.  Akupun tidak membuat keputusan, hanya meminta kepada mereka untuk memberikan sedikit waktu...yahhh sedikit waktu untuk merenung. "Carilah gadis yang bisa kau ajak ke pura," entah suara siapa, aku tak peduli. Diakhir perbincangan panas itu, sang kepala pondok pesantren yang sejak tadi membisu tiba-tiba angkat bicara.
"Selain itu, Rani adalah seorang ustadjah, seorang intelektual yang menjadi panutan bagi santri muda, tolong jangan permalukan kami," suara itu membuat Rani semakin terisak. Â Tangisnya telah menyayat luka yang dalam dihati ku. Akhirnya, malam itu aku hanya bisa menatap Rani dalam tangisan dan meninggalkannya dalam pelukan orang-orang yang mengasihinya. Â Aku pergi tanpa sedikitpun Rani menoleh kepada ku.