Agama, Intelek, Debat dan Konversi Agama
Dr. Ni Kadek Surpi Aryadharma
Dosen Filsafat Hindu, Pengajar Veda (Vedic Preacher), Penulis, Peneliti
Dalam Tradisi Hindu, seorang cendekiawan dipersyaratkan untuk menguasai berbagai seni berkomunikasi, termasuk berdiskusi dan debat (Tarkasastra). Para Dharmapracharaka, para pengabdi Hindu, pemimpin organisasi semestinya menguasai tarkasastra dengan baik. Inilah letak kelemahan terbesar Hindu dimana sebagian besar orang-orang yang semestinya menguasai tarka-Vada (Cabang ilmu Diskusi dan Debat), tetapi sangat minim pengetahuan ini.
Para cendekiawan, guru, dosen, pendharma wacana, penyuluh agama Hindu, pengurus PHDI dan pengurus organisasi Hindu, para Dharma duta, pegawai Kementerian Agama semestinya menguasai ilmu berbicara di depan publik, berkomunikasi dengan baik dan mampu berdebat/berdiskusi. Sebab Veda menyebut sebagai para penerus kebenaran, para orator yang memiliki tubuh kedewataan dan berperan sangat penting bagi transformasi masyarakat. Pustaka Suci Veda menyatakan :
divakaso agnijihv tvdhah
Rgveda X.65.7
"Para guru adalah para penyebar (penerus) kebenaran, para orator yang cemerlang dan suci bagaikan memiliki tubuh kedewaan. (Titib, 2006 : 431).
Agama Hindu tidak mematikan intelek atau nalar, malah kemampuan intelek yang tinggi justru akan menajamkan pengetahuan sebagaimana dinyatakan Rgveda VIII.15.7 berikut :
Vajram iti dhia vareyam
"Intelek itu menajamkan pengetahuan yang berkilauan bagaikan kilat (halilintar)." (Titib, 2006 : 433).
Dengan demikian, intelek, kemampuan rasio sangat penting sebab akan menajamkan pengetahuan. Dalam sejarahnya, tarka-Vada digunakan untuk mengukuhkan suatu kebenaran bahkan digunakan untuk melindungi peradaban. Banyaknya guru-guru spiritual dan cendekiawan yang menguasai tarka akan memberikan inspirasi kepada masyarakat dan membantu dalam memahami kebenaran sehingga masyarakat tetap kokoh pada keyakinan dan Dharma-nya.
Dalam sejarah Hindu nusantara dan di Bali, tidak sedikit kasus konversi agama yang terjadi karena kalah berdebat tentang keyakinan, dimana para ulama, misionaris dibekali ilmu perbantahan dan mempengaruhi pikiran orang lain secara baik untuk menerima kebenaran agama atau keyakinan yang dibawanya.
Veda menyatakan para sarjana hendaknya melebihi kemampuan orang lain, cerdas, bercahaya (karena mengembangkan sifat mulia), bijak bagaikan para Dewa, menyebar-luaskan ilmu pengetahuan, memancarkan gelombang kesucian, mengembangkan ilmu pengetahuan, melaksanakan upacara agama, memiliki wawasan kedepan, mengembangkan perbuatan luhur dan bijaksana.
Kaum cendekiawan hendaknya senantiasa memiliki dan mengembangkan kecerdasan, kemuliaan, mampu menyingkirkan sifat-sifat buruk dan bekerja untuk kemakmuran masyarakat. Kemampuan intelektual sangat ditekankan dalam Veda yang harus dimiliki oleh kaum cendekiawan guna memahami secara baik gudang pengetahuan dan kebijaksanaan.
Jadi dalam Hindu tidak menerima kebenaran secara membabi buta sebagai kebenaran Tuhan melainkan mengembangkan intelek untuk memahami segala sesuatu dengan lebih baik. Yajur Veda XXV.15 menyatakan "devn bhadr sumatir jyatm-Semoga kami memperoleh intelek kedewataan dari para Dewa yang mulia, untuk kesejahteraan kami."
Seorang cendekiawan, seorang sarjana diisyaratkan untuk lihai berkomunikasi dan mengerti makna pembicaraan sebagaimana dinyatakan Rgveda IX.87.3 :
sa cid viveda nihita yad sm
apcya guhya nma gonm
Rgveda IX.87.3
"Seorang sarjana mengetahui rahasia (makna) pembicaraan."
Selain itu, bukan sekedar memahami pengetahuan dan rahasia pembicaraan, seorang cendekiawan juga harus mampu memiliki mata ketiga dari pengetahuan, artinya memahami hal yang paling rahasia dari pengetahuan.
Ttyena jyoti sa viasva
Rgveda X.56.1
"Wahai umat manusia, milikilah mata ketiga dari pengetahuan itu."
Debat dan dialog tidak dapat dihindarkan dewasa ini, baik yang sifatnya formal maupun informal. Tidak jarang debat dan dialog mampu merintuhkan keimanan seseorang. Donder (2006 :2), Surpi Aryadharma (2011 : 126) menguraikan ada tiga peristiwa penting debat teologis yang berakhir dengan hilangnya keyakinan terhadap Hindu.
Pertama, Raja Majapahit (Brawijaya V) tidak mampu melakukan dialog teologis dengan Sunan Kalijaga, yang berujung pada konversi agama ke Islam. Kedua, sejumlah sumber menunjukkan Raja Buleleng A.A Pandji Tisna tidak mampu melayani atau memenangkan debat teologis dengan para zendeling sehingga masuk Kristen dan mendirikan gereja. Ketiga kekalahan debat dan adu kesaktian tokoh leak dengan seorang misionaris menjadi sejarah kemunculan agama Kristen di Buduk, Dalung dan Untal-Untal, di Kabupaten Badung Bali.
Selain itu, peristiwa bersejarah runtuhnya kerajaan Hindu Kutai Kertanegara menjadi kesultanan Islam ditandai dengan masuk Islamnya sang Raja setelah kalah berdebat dengan penyebar Islam. Raja Makota Mulia Alam yang memerintah sekitar abad ke-14 didatangi oleh dua orang mubaligh dari tanah Bugis yakni Syekh Yusuf atau Tuan Tuanggang Parangan dan Abdul Kadir Chatib atau Tuan Di Bandang[1] Â setelah kalah berdebat teologis tentang kebenaran yang dianut oleh Raja dan Rakyatnya dibandingkan dengan ajaran Islam, dilanjutkan dengan adu kesaktian dan jika kalah Raja bersedia masuk Islam.
Raja akhirnya kalah dan kerajaan Hindu berubah menjadi kesultanan Islam, yang pada abad ke-16 kerajaan ini menyerang Kerajaan Kutai Martadipura terletak di Muara Kaman (Kutai Mulawarman). Raja Kutai Martadipura, Dharma Setia, sebagaimana namanya gugur sebagai seorang yang beragama Hindu.Â
Oleh karenanya, Tarka-Vada mestinya menjadi pembelajaran setiap Universitas Hindu, Organisasi Hindu, pelajaran Agama Hindu, materi dalam penggodokan kaderisasi Hindu, mempersiapkan Dharma Duta Hindu, Dharmapracharaka atau calon pemimpin organisasi Hindu. Sebab pengetahuan ini sangat penting guna menjelaskan dan menjaga Dharma. Kemampuan menjelaskan sangat penting dan kelihaian untuk keluar dari jeratan doktrin lawan yang hanya bertujuan mengalahkan juga sama pentingnya.
Asi Sankaracarya mengunjungi Sarvajapha (Sharada Peeth) di Kashmir (sekarang di Pakistan-Kashmir). Negara Madhaviya Shankaravijayam candi ini memiliki empat pintu untuk sarjana dari empat arah mata angin. Pintu selatan (mewakili India Selatan) tidak pernah dibuka, menunjukkan bahwa tidak ada ahli dari India Selatan telah memasuki Sarvajna Pitha. Adi Sankaracarya  membuka pintu selatan dengan mengalahkan dalam perdebatan semua ahli dalam semua berbagai disiplin ilmu yang skolastik seperti Mimamsa, Vedanta dan cabang lain dari filsafat Hindu; ia naik tahta kebijaksanaan Transenden candi itu. Menjelang akhir hidupnya, melanjutkan perjalanan ke daerah Himalaya Kedarnath-Badrinath dan mencapai Videha mukti (kebebasan dari perwujudan).
Sudah menjadi tugas dari kaum cendekiawan, para sarjana, terlebih sarjana/magister Filsafat Hindu untuk menguasai keahlian di akarcrya dan orang suci lainnya ini. Dengan pengetahuan yang baik dan penguasaan Tarka-Vada, akan sangat bermanfaat bukan saja demi kepentingan dialog dengan umat lain melainkan meyakinkan umat sendiri akan kebenaran ajaran agamanya. Sepanjang ini, titik inilah yang lemah, yakni para penceramah belum mampu meyakinkan kebenaran dan belum mampu membahasakan secara baik kepada masyarakat luas sehingga mendorong terjadinya transformasi di masyarakat. Padahal peran kaum cendekiawan sangat besar dan membangun masyarakat di segala bidang.
Metode mendebat, sudah lama dijadikan alat untuk memindah-agamakan orang lain. Sejumlah pendakwah menggunakan metode ini untuk mengunggulkan ajarannya dan membuat orang lain terkesan. Demikian pula di jaman ini, berbagai Youtube Chanel hadir dengan maksud mendebat keyakinan orang lain. Pindah agama bisa terjadi karena 'kesan unggul' dari agama tertentu yang sengaja dihadirkan untuk mempengaruhi pikiran umat lain, terutama mereka yang tidak terdidik secara baik dalam agamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H