Mohon tunggu...
Surpi Aryadharma
Surpi Aryadharma Mohon Tunggu... Penulis - Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Dharmapracaraka

Gemar membaca, Mencintai Negara, Mendidik Anak Bangsa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Veda dan Peradaban Hindu di Nusantara

5 Juli 2020   05:53 Diperbarui: 5 Juli 2020   06:01 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis Memuja Durgamahesasuramardhini di Candi Prambanan (dokpri)

Apakah Veda Mengganggu Adat dan Tradisi Lokal ?

Tradisi membaca Veda serta mendengarkan wejangan guru-guru suci sesungguhnya merupakan tradisi yang sangat tua di nusantara. Jejak-jejak tradisi tersebut sangat banyak ditemukan. 

Namun ketika peradaban Hindu berganti dengan ajaran Islam lengkap dengan upaya arabisasi, selama ratusan tahun, akhirnya perlahan-lahan peradaban Hindu semakin menipis dan banyak tradisi yang hilang.

Tradisi membaca Veda dalam rekam sejarah sesungguhnya sudah sangat populer sejak jaman Sri Darmawangsa Teguh di Kerajaan Kediri 918 Saka (916 M).  Prof. Titib dalam karya monumentalnya mengungkapkan pada masa silam, kitab Ramayana dan Mahabharata telah lama diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa Kuno (Mangjawaken Valmikimata dan Vyasamata).

Demikian pula kitab Purana, namun sayang hanya satu purana berbahasa Jawa Kuno yakni Brahmanda Purana yang masih diwarisi. Kitab Ramayana telah disusun pada abad ke VIII-IX di Jawa Tengah, pada jaman Dinasti Sanjaya, dan Mahabharata pada jaman Darmawangsa Teguh di Jawa Timur dan tradisi penyusunan karya sastra terus berlangsung hingga jaman Majapahit.

Sementara itu di Bali, tradisi membaca Veda diduga berusia jauh lebih tua yakni dalam tradisi Watukaru, sebuah peradaban Veda kuno di pulau Dewata yang catatannya menunjukkan tradisi Veda berkembang dengan subur pada abad V Saka (641 Masehi).

Bahkan dalam tradisi Watukaru diyakini, para leluhur Bali sangat fasih dalam menguncarkan mantra-mantra Veda, memiliki tradisi membaca yang hebat serta pemahaman yang matang, ratusan tahun sebelum tahun masehi. Namun seiring dengan perjalanan sejarah di Bali, tradisi membaca Veda menjadi semakin terasing ditengah budaya masyarakat yang terus bergeser.

Karena kampanye politis terkait dengan kekuasaan di Indonesia (kebijakan luar negeri dalam konflik India-Pakistan, Indonesia memihak pada Pakistan karena alasan agama dan politik), kampanye anti-Veda dan anti India atau sentimen anti-India nyaris sukses membuat masyarakat Hindu jauh dari pengetahuan mulia ini.

Hindu nusantara yang berbeda dengan Hindu India, bahkan stigma Veda tidak diperlukan diam-diam telah dimasukkan ke dalam pemahaman masyarakat dengan tujuan utama memperlemah Hindu dari dalam sekaligus ada missi politik agama.

Namun demikian, Hindu memang memiliki kekuatan misterius yang tidak dapat dihancurkan walau dengan kampanye yang intensif yang didesain secara cerdas oleh rezim tertentu. Putra-putri Dharma akhirnya bangkit dan bersedia menanggung beban penghinaan demi terbangunnya kembali peradaban Hindu yang kokoh, dimana Veda tegak sebagai lampu menara memberikan jalan terang.

Disadari akhirnya bahwa mempelajari Veda, justru memperkuat keyakinan seseorang dari dalam diri, layaknya kekuatan dan energi di kalangan komunitas Hindu. Belajar Veda sesungguhnya tidak menganggu ritual sebagaimana kampanye anti India yang telah dilancarkan selama puluhan tahun.

Veda adalah energi, generator, listrik sementara ritual adalah sisi terluar dari Agama Hindu yang perwujudannya dapat berbeda sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan. Disinilah letak keuniversalan dan keluwesan agama Hindu. Ritual adalah ekspresi dari Bhakti, ibarat bola lampu, Veda adalah energinya, listriknya.

Veda memberikan energi dan kekuatan bagi tubuh manusia, bagi kehidupan sehingga mampu hidup dengan lebih baik dengan meninggalkan kelemahan-kelemahan seperti amarah, pikiran bingung, berjudi, mabuk-mabukan, tidak mampu mengelola uang serta dijauhi oleh Dewi Laksmi sehingga hidupnya kesusahan secara materi. Veda memberikan kekuatan sehingga hidup lebih baik.

Apakah dengan membaca Veda manusia lantas meninggalkan adat dan budayanya? Jika yang dibaca adalah Catur Veda, gveda, Yajurveda, Smaveda, Atharvaveda dan Bhagavad Gita, pustaka tersebut justru menyatukan, bukan memecah belah.

Artinya, mereka yang membaca pustaka tersebut justru akan terbangun sifat persatuan dan toleransi di tengah perbedaan. Tidak ada ajaran dalam pustaka tersebut untuk mengadopsi budaya orang lain dan membenci budaya sendiri.

Setiap Veda dibagi atas empat bagian: Sahit atau Mantra, Brhmaa, rayaka, Upaniad. Sahit secara literal berarti "menyatukan", yang merupakan teks dasar dari lagu dan doa pujaan, yang disatukan untuk memuja Dewa-Dewi. Demikian pula sebagai pustaka yang menyatukan umat manusia dengan semangat kebaikan dan bukan memecahnya.

Pustaka Brhmaa berhubungan dengan ritus dan korban-korban suci dan teknik yang benar dalam pelaksanaannya. rayaka yang artinya pustaka yang berasal dari hutan yang merupakan transisi (jembatan) dari pengorbanan dan ritual brahmanikal menuju filsafat. rayaka berisi interpretasi mistik dari mantra dan upacara.

Upaniad merupakan intisari Veda, kebenaran dalam agama Hindu yang paling mulia yang diketahui oleh umat manusia. Upanisad adalah filsafat yang dapat didiskusikan dan dapat diteliti.

Upanisad yang berarti "duduk di dekat seorang yang suci dan menerima ajaran suci, merupakan bagian pelengkap Veda yang berfokus pada pertanyaan filsafat seperti tujuan kehidupan, asal mula jagat raya, konsep atman, maya dan Brahman.

Keterangan Foto : Peneliti Ayu Nikki Avalokitesvari menikmati udara pagi di Kompleks Candi Prambanan
Keterangan Foto : Peneliti Ayu Nikki Avalokitesvari menikmati udara pagi di Kompleks Candi Prambanan
Berbeda dengan jaman lainnya, dimana Veda sangat dicintai oleh umat manusia dan putra-putri Dharma, di jaman ini, Kli Yuga, Veda lebih banyak diabaikan karena kehidupan manusia yang dituntun oleh peradaban yang salah. Kapankah Kli Yuga ini dimulai?

Sejumlah sumber sejarah menyebutkan Kli Yuga dimulai ketika dinobatkan Raja Parikit, cucu Arjuna (Paava) pada tanggal 18 Pebruari 3.102 Sebelum Masehi. Menurut ahli astronomi ryabhaa, Mahbhratayuddha berlangsung pada tahun 3.138 Sebelum Masehi yang merupakan masa akhir jaman Dvpara.

Jadi sejak penobatan Raja Parikit umat manusia telah memasuki Kli Yuga, jaman pertengkaran yang ditandai memudarnya kehidupan spiritual, redupnya nilai-nilai Dharma dan sulitnya keinginan untuk membaca Pustaka Suci Veda.

Dunia dibelenggu oleh kehidupan material dan manusia hanya berorientasi pada pemuasan hawa nafsu yang ibarat api disiram dengan bensin, terus berkobar tiada henti sampai menghancurkan diri sendiri. Kehidupan yang hedonis, kesejahteraan palsu dan cara-cara mendapatkan harta yang tidak jujur dianggap wajar pada jaman ini.

Kehidupan spiritual dianggap aneh dan menyimpang, sementara seks bebas, minuman keras, narkoba, kehamilan diluar nikah, perjudian menjadi wajar. Membaca Veda dianggap salah, Veda diselewengkan, upacara menjadi kontestasi, Brahmana yang makmur dari pelaksanaan ritual adalah pemandangan yang wajar di jaman ini.

Dr. Ni Kadek Surpi Aryadharma-Dosen, Penulis Buku, Peneliti, Hindu Motivator

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun