Mohon tunggu...
Surikin SPd
Surikin SPd Mohon Tunggu... Guru - Ririn Surikin

Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hijau Abu Abu

23 Februari 2022   11:50 Diperbarui: 23 Februari 2022   11:52 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HIJAU ABU-ABU

Namaku Rifana, aku seorang guru di salah satu sekolah swasta di kotaku.  Hari-hariku dipenuhi dengan semangat karena sejak kecil aku bercita-cita menjadi seorang guru. Cita-citaku itu lah yang membawaku kekehidupan sekarang. Menjadi seorang guru ya.... Seorang guru.

Bermula dari kehidupanku di desa yang sangat nyaman... yang penuh dengan suara kicauan burung, udara segar dan keasrian pohon -- pohon di sekeliling kampungku. Kekeluargaan masyarakat yang begitu kental. Gotong royong yang masih mengakar. Saling simpati dan empati antar warga yang masih sangat dalam. Kepedulian yang tak tergantikan, dan persaudaraan menjadi ikatan batin yang tak diragukan.

Teringat olehku saat aku di bawa dari pulau jawa ke sumatera, saat itu usiaku baru 5 tahun. Demi merubah nasib kedua orang tuaku ingin merantau ke sumatera. Semula kedua nenek kakekku tidak menyetujui kepergian kami , maklumlah... filosofi orang jawa yang mengatakan " mangan gak mangan asal ngumpul " . tetapi keinginan untuk merubah nasib membuat ayahku terus membujuk kedua orang tuanya untuk merestui kami sekeluarga untuk merantau. Kekuatan meyakinkan orang tua yang dilakukan oleh ayahku membuat hati nenek dan kakekku akhirnya mengizinkan kami untuk merantau.Pulau Sumatera itulah tujuan kami.

            Bermulalah kisah kehidupan kami di perantauan, suatu desa yang sangat jauh  dari kota. Kami disambut oleh saudara ayahku dengan kehangatan. Kekerabatan yang erat ku temukan di sana. Tanpa pikir panjang ayahku pun dengan semangat mempertanyakan kehidupan saudaranya itu.. dan secepat kilat ayahku langsung ingin bekerja membantu saudaranya untuk pergi ke kebun. Melakukan apa yang bisa dia lakukan karena tidak mungkin berpangku tangan di negeri orang. Ayahku bekerja keras untuk tujuan hidup yang lebih mulia, meninggikan derajat keluarga, merubah nasib. Karena ayahku selalu bilang Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum apabila kaum itu tidak merubahnya sendiri.

            Prinsip itulah yang menjadi semangat ayah untuk merubah nasip.bekerja keras untuk keluarganya. Untuk kebaikan hidupnya, dan untuk mengejar cita-citanya.

            Ibu... ialah ibuku yang selalu taat padaNya. Sekuat tenaga membantu ayahku untuk memberikan yang terbaik untuk keluarganya, untuk anak-anaknya. Ibu selalu bekerja keras dalam mendidik anak-anaknya sehingga perkembangan kami tak terlewatkan sedikitpun olehnya.

            Ibu lah yang membantuku dan kedua adikku tuk terus berusaha, belajar dan berdoa. Kasih sayangnya, tulus perhatiannya dan senyuman lembutnya membuat kami merasa terlindungi dan nyaman bila berada disisinya.

Hari berlalu, bulan berganti tahun pun mengalir seperti air. Hari-hari kami di perantauan kami lalui dengan berkebun dan berkebun. Semangat di rantau untuk merubah nasib membuat kami sekeluarga harus bekerja keras, mulai membersihkan lahan, menanam pohon  buah-buahan, sehingga saat itu rumahku serasa bagaikan kebun buah. Semua jenis buah tahunan dapat ditemui di sekitar pekarangan rumahku.  sehingga bila tiba musim buah kami bahkan tidak kehabisan.  

Begitu juga dengan keasrian pekarangan di rumahku.. ibu yang pecinta bunga menyalurkan bakatnya menanam bunga-bunga berwarna-warni di pekarangan. Sehingga sangat sejuk mata memandangnya. Lembut warna bunga, indah kelopaknya membuatku sangat mengagumi ciptaan Tuhan. Aku diberi tanggung jawab untuk menyiram bunga-bunga ibu saat pagi dan sore hari. Kata ibu bunga juga butuh makanan, minuman sama seperti manusia, makanya dia harus dirawat dan dipelihara biar bisa tumbuh dan berkembang.

Sampai akhirnya aku tumbuh menjadi gadis remaja. Aku  menamatkan pendidikan di SMA di desaku. Masa yang indah ku rasakan saat- saat di SMA. Aku tumbuh dan berkembang di lingkungan yang religi, berkarakter dan mempunyai kepedulian yang sangat tinggi. Masa tiga tahun di SMA terasa sangat pendek. Di SMA aku mulai menggali kemampuanku, pelajaran-pelajaran ku terima dengan senang hati dan aku mulai menerapkan ilmu-ilmu yang diberikan oleh guru-guruku. Keinginanku untuk menjadi guru membuatku selalu melatih diri untuk mempresentasikan pelajaran-pelajaran di sekolah. Rasa percaya diriku mulai timbul. Keinginan untuk menggapai cita-citaku semakin menggebu gebu. Tekadku untuk menjadi guru semakin bulat. Hati kecilku aku harus berusaha untuk menggapai cita-citaku.

Tiga tahun sudah... ku lewati masa SMA ku, sampai akhirnya aku harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Aku mengikuti seleksi agar dapat memasuki perguruan tinggi dan jurusan yang di inginkan. Doapun tak henti ku lantunkan. Sampai akhirnya Allah mengabulkan diriku untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri.

Aku  melanjutkan pendidikanku ke ibukota propinsi. Demi menggapai cita-citaku  ku ayunkan langkah kakiku untuk meninggalkan desaku. Ada perbedaan yang kudapati antara tempat tinggalku yang dulu dan sekarang. Kini aku tinggal di ibukota dengan semua kenyataan yang tidak kutemukan di kampungku. Suasana sesak di sekitar tempat tinggalku tak asing lagi. Kepedulian semakin  menipis, suasana seperti ini nyaris membuatku merasa asing di daerah tempat tinggalku

Sesekali aku pulang ke kampung halamanku. Keindahan alam masih tetap kurasakan . suasana yang nyaman terus kudapatkan ketika . Keadaan nyaman itulah yang membuatku betah tinggal di desa dan setelah kuliahku selesai aku tetap ingin kembali ke desa untuk meneruskan ilmu yang pernah ku dapat di perguruan tinggi.

Maret 1998 aku menyelesaikan studiku di perguruan tinggi. Predikat A menghiasi kartu kumpulan nilaiku. Aku bersyukur pada yang kuasa sekarang aku sudah mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Sarjana pendidikan yang ku cita-citakan akhirnya bisa ku raih.sampai akhirnya ku abdikan diriku di desa menjadi seorang guru.

Ku lewati hari-hari ku  dengan bahagia. Profesi guru yang ku sandang membuat hidupku semakin merasakan pentingnya pendidikan. Kunikmati pekerjaanku .sampai pada akhirnya...

Hari itu tepatnya tahun 2000 ketika aku melakukan perjalan pulang menuju kampong sahabatku. Tapi apa yang kurasakan perjalanan kami bagai di atas awan padahal aku melewati laut yang luas. Tidak terlihat sedikitpun air yang berwarna hijau. Tak tampak langit biru. Tak terlihat tanjung atau pulau di depan sana. Yang ada hanya abu-abu. Perjalanan yang seharusnya sangat kunikmati tapi terlewatkan begitu saja.

Perjalanan yang sangat tidak ku inginkan karena satu kata " Asap ". Itulah awal tahun bencana bagiku karena sampai sekarang musim itu selalu ada di propinsiku. Ya.... Kata " Asap " yang sudah menjadi musim tetap selain musim hujan dan musim kemarau di kampungku.

Keberadaan asap sampai sekarang terus kami rasakan tiap tahunnya. Merambah ke berbagai penjuru mengambil hak-hak hidup yang seharusnya kami  dapatkan , bahkan untuk menghirup udara segar yang biasanya gratis karena rahmat dari Allah kini kami harus membayarnya dengan mahal. Hidup bagaikan di negeri di atas awan.

Kebebasan anak- anak untuk bermain terenggut. Hak untuk mendapatkan pendidikan bagi anak-anak terhalangi. Semua hanya karna satu kata " Asap ".

Bahkan kehidupan di kampungku yang dulu selalu ramai oleh suara anak anak bermain sudah tidak terdengar lagi. Mereka terkurung di dalam rumah-rumah . tanpa pintu dan jendela yang terbuka. Mereka hanya melihat kehidupan dari balik kaca-kaca jendela . Hanya muka yang gelisah ku dapatkan dari tatapannya dengan satu pertanyaan " kapankah semua ini akan berakhir?"

Apa yang terjadi di luar sana hanya bisa kudapatkan informasinya dari televisi. Pemberitaan setiap hari tidak pernah lepas dari kata kebakaran... kebakaran... dan kebakaran. Kebakaran hutan, kebakaran lahan perkebunan, kebakaran...., kebakaran.... Bahkan kebakaran jenggot.

Kadang aku berfikir Kok lebih tau orang di televisi itu dibandingkan kami yang mengalami langsung ya... padahal orang yang ditelevisi itu tinggal di propinsi yang tidak terkena asap. Kok mau mereka mencari asap ke tempat kami. Sedangkan kami ingin sekali menghindari asap. Tapi itulah kekuatan media sebagai sarana komunikasi. Mereka bekerja keras untuk mencari informasi dan memberikannya pada masyarakat.

Sepengetahuanku daerah di sekitar kampungku tidak ada pembakaran tetapi mengapa asap pekat itu merajalela memasuki celah-celah rumahku. Bahkan sampai memasuki tubuh-tubuh kami. Sehingga kami merasa sesak ketika bernafas. Batuk yang tiada henti , radang tenggorokan yang menyerang.

Tiada terkecuali, baik tua, muda, bahkan balita pun turut merasakan dampaknya. Sungguh kejadian yang biasa dikatakan luar biasa.

Yang paling kusedihkan adalah aku tidak dapat lagi menatap ceria wajah-wajah siswaku. Sudah sebulan ini mereka di rumahkan mengikuti kebijakan pemda kami. Kebiasaan mereka menyapaku setiap hari terasa hilang . aku kehilangan sapaannya... kehilangan senyumannya... kehilangan canda tawanya... dan aku kehilangan proses pemberian ilmu yang tak dapat ku teruskan.

Sebulan... ya sebulan sudah kehampaan hidup karena tidak berjumpa dengan siswa-siswaku. Sebulan sudah makin berkurang ilmuku karena hanya diam dan tidak menularkan ilmu. Sebulan sudah aku sendiri melakukan aktifitasku.

Dari televisi juga kudengar pemerintah kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan api. Bahkan sampai mendapat bantuan dari negara negara lain. Namun hasilnya masih belum kurasakan . si abu-abu masih tetap menggerangsang memasuki semua tempat. Bahkan tiada tempat untuk berlindung sedikitpun.

Sampai akhirnya rahmat dari Allah itu mengucur pada kami. Siraman hujan mematikan seluruh api di lahan gambut. Langit biru kembali terlihat pohon-pohon tidak lagi abu abu tapi telah hijau kembali, dan yang paling penting keceriaan anak-anakku ku lihat kembali. Berbondong-bondong mereka datang kesekolah. Langkah semangatnya kembali membuatku semangat. Sapaan selamat pagi kembali terdengar. Senyuman serta candaan sesama mereka menghiasi hari-hariku kembali. Lengkap lah sudah kebahagiaanku sebagai guru hari ini.

            Sejak kejadian itu aku dan siswa ku bertekad untuk memelihara alam. Kami harus mulai dari diri kami dulu... memulai dari yang terkecil.. memulai untuk lingkungan sekitar kami. Dimulai dari menambah tanaman pohon di sekitar kami. Terutama lingkungan sekitar sekolah. Dari sayuran, buah-buahan menjadi andalan kami. Tak ku pikirkan lagi si abu-abu yang akan datang tahun depan. Kini yang tampak hanya hijau, hijau tanamanku, hijau sekolahku, hijau lingkunganku, hijau indonesiaku, dan hijau bumiku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun