Mohon tunggu...
Surikin SPd
Surikin SPd Mohon Tunggu... Guru - Ririn Surikin

Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payung Kehidupan

28 Januari 2022   08:38 Diperbarui: 28 Januari 2022   08:46 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Payung Kehidupan -- Surikin, S.Pd

Berjalan menelusuri getirnya kehidupan. Tanpa seorang ayah dan ibu juga saudara-saudaraku. Ku beranikan diri menatap masa depan meski kusadari bertanya rintangan.

Satu kekuatan hanya kalimat yang pernah terucap dari bibir mungil ibuku " Allah itu tidak pernah tidur Nak ". Satu kalimat yang sampai saat ini kujadikan penyemangat. Hal yang disampaikan tepat seminggu sebelum kepergiannya.

Masih teringat jelas ketika peristiwa itu terjadi. Saat kami sedang asyiknya menikmati cucuran rahmat Tuhan. Suasana malam hari yang dingin karena curah hujan. Ibu yang biasa kupanggil koki terhebat di dunia menyajikan makanan hangat untuk kami. Sepiring sayur genjer dan tempe goreng yang sangat luar biasa nikmatnya.  

Tetesan air hujan diluar yang merintih pedih membuat hidangan di atas meja habis dalam hitungan menit. Kedua adikku bahkan berebut tempe goreng yang hanya tinggal satu. Sebagai ayah yang bijaksana ayahku membagi tempe tersebut menjadi dua bagian dan menyerahkan kepada kedua adikku.

Semakin lama tetesan air hujan semakin  tak berjarak.  Semenjak seminggu ini memang tiap malam turun hujan.  Kata ibuku hujan itu rahmat dari Tuhan. Jadi kita harus tetap syukuri. Ibuku memang sangat ahli dalam bidang bersyukur. Dia tidak pernah mengeluh sakalipun pendapatan ayahku sebagai petani tidak bisa diharapkan setiap hari. Ibuku selalu memperlihatkan senyuman manis dibalik guratan awan mendung diwajahnya. Beliau selalu mengangkat jemari untuk memohon kepada Illahi tentang perubahan nasib kami.

Aku sebagai putri tertua di keluarga tentu harus peka dengan keadaan ekonomi orang tua. Sebisa mungkin aku membantu ibu dengan mengerjakan pekerjaan sederhana di rumah. Sepulang sekolah aku meringankan ibu untuk menjaga kedua adiku. Sementara ibu pergi kekebun untuk membantu ayah walau sekedar menyiangi rumput di sela-sela tanaman. 

Pekerjaan rumah selanjutnya menjadi tanggung jawabku . aku ingin selalu membuat senyuman di bibir ibu ketika dia pulang dari kebun. Aku merasa senang kalau melihatnya bahagia.

Sampai suatu hari peristiwa itu terjadi tepat dimalam ketujuh dimusim hujan dibulan desember. Setelah kegiatan makan bersama aku disuruh ibuku untuk membeli obat nyamuk bakar ke warung tetangga. 

Warung yang jaraknya kurang lebih 20 meter dari rumahku. Dengan menggunakan payung usang  aku memenuhi perintah ibu. Kulangkahkan kaki ditengah gerimisnya malam.

Belum 10  meter kakiku berjalan aku mendengar ada dentuman keras yang sangat memekakkan telinga. Spontan aku mencari sumber suara . 

Ya Tuhan.... mataku terbelalak , langkahku terhenti mulutku mendadak tak dapat bicara, hanya air mata yang mengalir. Ku susun seluruh tenaga berteriak sekuat kuatnya.  " Ibu........ " teriakanku memecahkan keheningan malam.

Suara terikanku  yang begitu menghujam membuat tetanggaku keluar rumah.  Seketika dipegangi tubuhku yang lunglai. Aku menjerit, menangis sekuat tenaga tak sanggup menyaksikan rumahku yang tertimbun tanah. 

Aku berlari melihat kondisi keluargaku tapi tangan kuat tetanggaku melarangnya. " sabar mbak nisa, tunggu aja di sini. Takutnya longsor terjadi lagi " itu yang ku dengar dari bibirnya.

Aku hanya bisa meronta ronta dari kejauhan . menebak nebak apa yang terjadi di dalam rumah sana. Bagaimana keadaan ibuku, bagaimana kabar adik adikku. Dimana ayahku. Sampai pada saat sudah aman baru aku dibawa pulang. Seluruh persendianku hilang tak mampu menyangga tubuhku. Tak sanggup aku Tuhan. Begitu kusaksikan pemandangan  seluruh tubuh keluargaku kaku, tak bernyawa lagi.

Kini  seluruh keluargaku pergi meninggalku untuk selamanya. Jenazah mereka dikebumikan dalam satu liang yang sama. Kini aku sendiri mengahadapi hari hari yang sepi. Tak akan pernah kulihat senyum ibu lagi. Tak pernah kusaksikan adikku yang berebut makanan. Tak kudengar suara ayah yang selalu melantunkan ayat ayat suci.

Ujian terberat dalam hidupku adalah kehilangan seluruh keluargaku. Aku tak sanggup untuk mengenang masa masa indah bersama mereka lagi. Tiada lagi payung kehidupan yang selalu melindungiku dari panas dan hujan. 

Dulu... ibuku seperti payung, yang selalu melindungi dari teriknya matahari dan tetesan air hujan. Ibukulah yang selalu menenangkanku setiap aku berkeluh kesah tentang sulitnya mata pelajaran. Ayahku yang selalu mengajariku tentang huruf huruf hijaiyah yang menjadi pedoman hidup. 

Dengan telaten dia membimbingku merangkai huruf huruf menjadi lantunan ayat ayat yang sangat merdu untuk di dengar. Dia yang selalu mengajariku cara yang benar bersujud, rukuk, bertasbih. Kini payung hidupku telah terbang, menghadap keharibaan Tuhan.

Sejak kajadian itu aku tidak sanggup untuk tinggal di desaku. Terlalu banyak kenangan ku dengan keluarga. Setiap aku menatap puing puing rumahku kenangan bersama keluargaku terngiang kembali. Rasanya aku selalu tak sanggup menghadapi ujian Tuhan ini. Aku selalu rindu senyuman ibuku. Canda ria adik adikku dan kerja keras ayahku.

Sejak kejadian itu Aku memilih untuk tinggal dengan pamanku di lain desa. Adik ibuku ini menjadi guru di sebuah pesantren. Beliau sudah berumah tangga sejak lima tahun lalu , tapi sampai kini  belum dikarunia seorang anak. Dia menyaranku tinggal  bersamanya. Aku pun mengikuti sarannnya karena aku tak mau terlarut dalam kesedihan.

Langkah ini tak akan berhenti . Kulangkahkan kaki, siapa tau di luar sana masih ada payung yang tersisa. Payung yang bisa membuatku berlindung  dalam terik matahari atau derasnya hujan.  

Payung yang bisa membawaku berjalan menyongsong masa depan. Payung yang selalu bisa ku pegang untuk menyandarkan tubuh, menjadi tongkat dalam perjalannan.

Ketika kita ikhlas menghadapi ujian , Allah telah mempersiapkan hadiah untuk kita. Pamanku begitu menyayangiku, begitu juga dengan istrinya. Baginya aku adalah anaknya. Anak yang selalu dirindukan selama ini.

Kini telah kutemukan payung baru, pamanku telah menjadi payung  bagiku, yang siap melindungiku dari kerasnya kehidupan. Yang siap membimbingku dari godaan dunia luar. Payung kehidupanku telah ku kembangkan menemaniku dalam setiap perjalanan, untuk menyongsong masa depan. Terimakasih Tuhan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun