Mohon tunggu...
Surajsmi Rasyid
Surajsmi Rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Parepare

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, jika tak bisa, maka jadilah orang yang menyenangkan, jika tidak bisa juga, maka minimal jadilah orang yang tidak merugikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Miris!! Tergerusnya Tradisi Mappatabe' di Kalangan Generasi Millenial

5 Agustus 2022   20:47 Diperbarui: 5 Agustus 2022   21:02 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Instagram.com/iain.parepare

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang memiliki beragambudaya atau tradisi. Salah satu keunikan Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain adalah keaneragaman suku dan budaya yang tersebar dari Sambang sampai Marauke, setiap kelompok etnik yang ada di Indonesia memiliki ragam budaya, tradisi yang berbeda-beda dan tentu memiliki beberapa sudut pandang berbeda, namun cenderung memiliki tujuan kesamaan tertentu.

Masyarakat suku Bugis contohnya, Masyarakat Bugis merupakan salah satu suku yang sangat mempertahankan budaya dan adat istiadatnya di Indonesia. Suku Bugis tergolong ke dalam suku-suku Melayu Proto  dimana berasal dari kata To Ogi’ , yang berarti orang Bugis. Penamaan Ogi’, Ugi, atau Bugis merujuk pada raja pertama kerajaan Cina.

Ditengah peradaban, Masyarakat Indonesia dihadapkan dengan berbagai persoalan yang mendasar seperti generasi millenial, isu lokal–global, dan ada berbagai persoalan lainnya yang kiranya gagal memanfaatkan potensi serta tidak dapat beradaptasi dengan dinamika global.  

Dalam hal ini adalah generasi millenial yang semakin hari memperlihatkan peradaban manusia yang semakian hari semakian retak, khususnya dikalangan Masyarakat Bugis. Pengetahuan mendalam tentang prinsip kekerabatan sangat penting untuk membentuk tatanan sosial seperti tradisi budaya Mappatabe’ atau Tabe’ dikalangan masyarakat bugis yang semakin hari merosot dan bahkan hampir hilang di kalangan anak muda masa kini (generasi millenial).

Tabe’ atau Mappatabe’ merupakan suatu warisan sangat indah yang ditinggalkan oleh leluhur, dengan budaya sopan dan santun yang  tidak hanya melalui ucapan tapi juga dengan gerak. budaya Mappatabe’ atau tabe’ sangatlah penting dalam pembentukan karakter anak dalam sikap sopan, santun dan juga hormat baik dilingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat.

Demikian pula dengan adat istiadat masyarakat bugis dengan Budaya tabe’ ini dapat menjadi kebiasaan apabila kita pelajari dan direalisasikan dengan baik juga akan kita ambil hikmanya, biasanya kata tabe’ digunakan oleh masyarakat bugis sebagai ungkapan penghormatan kepada orang yang lebih tua (anak mappatabe’ ke orang tua, guru disekolah, maupun orang yang dianggap tua yang ditemui di jalan).

Tidak hanya itu tabe’  juga merupakan salah satu bentuk komunikasi non verbal yang bisa ditunjukkan sikap Taro Ada Taro Gau, yaitu keselarasan antara perkataan dan perbuatan, biasanya dibarengi oleh gerakan badan yang sedikit membungkuk dan condong kedepan diiringi dengan tangan kanan kebawah dkepada orang yang dilewatu sambil memberikan senyuman.

Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang, maka semakin kita mengenal budaya dan adat istiadat yang ada, maka kita akan semakin menyayanginya, dan begitulah kiranya apabila kita kaitkan adat dan budaya.

Mirisnya, kini budaya mappatabe’ perlahan-lahan telah luntur khususnya dikalangan remaja Abg atau istilah gaulnya “Anak Millenial”, mereka tidak lagi mengedepankan adab, sopan, santun kepada orang yang dituakan, kata tabe’ nek…,tabe’ pak…, tabe’ bu…, sudah sangat jarang lagi digunakan dan bahkan sudah jarang di dengarkan dari generasi sekarang, paling yang ditemui hanya mereka yang lewat tanpa permisi bahkan kepada orang tua mereka sendiri.

Norma dan Tata karma ataupun sopan santun sebisa mungkin tidaklah hilang dalam diri manusia. Oleh karena itu  sangatlah penting mengajarkan budaya Mappatabe atau tabe’ melalui pola asuh keluarga, sekolah, dan lingkungan bermain. Bagaimanapun itu, hal ini perlu tetap dijaga karena tidak hanya diperuntukkan kepada yang muda melakukan kepada yang lebih tua tetapi juga sebaliknya.

Tergerusnya suatu budaya budaya lokal ditentukan oleh bagaimana intensitas budaya tersebut dalam  penerapannya di setiap perkembangan zaman yang begitu pesat dan adanya arus globalisasi, kebudayaan Indonesia semakin terkikis atau luntur tergerus oleh arus zaman. 

Di tengah – tengah arus globalisasi ini budaya kebarat – baratan (westernisasi) merupakan salah satu yang menyebabkan budaya Indonesia (lokal) pudar. Dikarenakan banyaknya nilai – nilai budaya barat yang masuk ke dalam nilai – nilai budaya Indonesia (lokal). (Siregar & Nadiroh, 2016)

Budaya Mappatabe’ merupakan tradisi yang cukup fleksibel yang artinya dalam pengimplementasiannya bersifat bebas karena menyangkut tentang tata krama, sehingga dalam hal ini  dapat dikatakan bahwa tergerusnya Budaya Mappatabe’ merupakan salah satu efek dari pengaruh modernisasi.

Perlu kita garis bawahi bahwa pergeseran nilai-nilai budaya mappatabe’  tidak terlepas dari modernisasi  yang berkembang dalam aspek budaya Dunia barat yang mendotrin anak untuk ikut membudayakan kebiasaan orang barat, yang di karenakan tuntutan zaman yang semakin maju. 

Dampak yang signifikan dari adanya modernisasi dalam suatu bidang budaya yaitu berkembangnya budaya Barat di Indonesia yang sebenarnya bertentangan dengan nilai dan norma sosial yang ada di Indonesia, selain itu perkembangan teknologi juga memberikan perubahan terhadap kehidupan. 

Terlepas dari fungsinya yang memberikan kemudahan terhadap masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, teknologi juga berkembang bersama dampak negatif yang dihasilkannya, yang di mana salah satu dampak tersebut yaitu menjadi pemicu anak mengalami krisis atau kemunduran moral. 

Tata krama, sopan santun yang kini mulai luntur terlihat dari cara anak yang mulai berbicara dengan nada keras di depan orang tua yang dalam bahasa bugis (Ma’bali-bali), berani memotong pembicaraan orang tua, mondar-mandir di depan orang tua, menghiraukan nasihat orang tua, dan masih banyak kebiasaan-kebiasaan lain yang mulai dilakukan oleh anak-anak sehingga tergerusnya moral saat ini. 

Anak juga terkesan individualis dan kurang melakukan interaksi atau sosialisasi, maka tak heran jika anak lebih tertarik dan mudah mengenal teknologi-teknologi yang maju dibandingkan dengan tradisi-tradisi yang condong terkesan kuno.

Ditinjau dari berbagai permasalahan tergerusnya budaya lokal, pendidikan merupakan aspek yang dapat dijadikan sebagai media atau metode pembelajaran dalam pembentukan moral anak. Namun sayangnya, kurangnya pendidikan tentang bersikap baik terhadap orang lain masih kerap diabaikan oleh orang tua. 

Padahal memiliki tata krama ataupun sopan santun dapat berguna bagi anak kedepannya untuk berteman, memiliki relasi, hingga menumbuhkan empati dalam diri anak.

Berdasarkan realita yang ada disekitar kita, generasi sekarang yang dikenal dengan istilah generasi millennial malah menjadi ancaman terhadap tradisi mappatabe’. mereka pun mulai melupakan budaya – budaya negera mereka sendiri. 

Mereka lebih respek terhadap budaya baru yang masuk dibandingkan melestarikan budaya mereka sendiri. Walaupun masih ada beberapa anak muda yang peduli dengan budaya lokal, tetapi tidak sebanyak mereka yang lebih suka dengan budaya baru yang mereka terima dari globalisasi tersebut.

MATTABE' KI'... :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun