Dengan mengendarai mobil Hilux, kami melakukan perjalanan ke barat Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Dari selatan pulau Sumbawa kami memulai perjalanan ini. Setelah ba'da dhuhur kendaraan yang kami tumpangi mulai membelah jalan. Melewati tanjakan, jalan berkelok hingga perkampungan yang berantai. Di balik jendela mobil, saya menatap semesta dengan perasaan yang berkecamuk.
Miris memang, mestinya alam harus di jaga. Di lindungi untuk bisa dinikmati generasi di masa mendatang, kini sudah menjadi pelampiasan keserakahan segelintir manusia. Sehingga tidak menjadi rahasia umum lagi, bahwa di beberapa perkampungan di kabupaten dengan slogan Bumi Nggahi Rawi Pahu ini menjadi langganan banjir. Ada menyangkal bahwa banjir bukan karena hutan dan gunung yang gundul, tapi bukankah sebelumnya banjir tidak menjadi program tahunan alam di wilayah ini.
Dalam diam, ternyata kami sudah sampai di Kota Dompu sebelum adzan sholat Ashar berkumandan di toa masjid. Hiruk pikuk masyarakat perkotaan sudah terlihat. Lapak-lapak di pinggir jalan menjajakan makanan dan minuman untuk para pengendara yang melintas. Keriuhan kendaraan, baik roda dua maupun roda empat sudah memenuhi jalanan kota Dompu. Namun kami hanya numpang melintas saja, kemudian berlalu bersama kecepatan kendaraan yang terus melaju dengan tenang.
Hujan tiba-tiba mengiringi perjalanan kami. Di beberapa titik perkampung seketika air meluap di parit lalu meluber di jalan. Ini hujan turun hanya sekira beberapa jam saja, parit dan selokan sudah digenangi air hingga sudah masuk ke perkampungan. Tidak bisa dibayangkan kalau hujan datang seharian, bisa saja banjir menghantam perkampungan. Miris.
Setelah melewati deretan rumah warga yang memanjang  di sepanjang perjalanan, akhirnya kami sampai di Kecamatan Kempo. Salah satu kecamatan yang berada di barat kota Dompu.Â
Di sini ada kawan yang akan kami ajak menuju wilayah Tambora. Ada janji yang di sepakati sebelumnya. Dan kami menentukan titik pertemuan agar mudah bertemu. Setelah di hubungi via telpon akhirnya beberapa menit kemudian kami bertemu kawan itu. Sejenak mobil kami tepikan di pinggir jalan.Â
Tidak jauh dari jalan raya, ada laut yang terhampar. Airnya tenang. Tidak ada gemuruh ombak di sana. Bahkan tiang-tiang rumah panggung di tancapkan langsung di atas pasir. Serupa masyarakat Bajo yang memang terbiasa tinggal di laut.
Seorang kawan menceritakan perjalanan kali ini, bahwa tujuan kami adalah mencari salah satu jenis buah yang dalam bahasa lokal di sebut Sarume Maju. Kenapa dinamakan demikian, saya pun juga memendam tanya. Sementara dalam bahasa Indonesia adalah buah Ceremai atau dalam bahasa latinnya Phyllants Acidus. Namun masyarakat lokal setempat lebih mengenal dengan sebutan Sarume Maju. Penamaan seperti itu memang sudah ada dari tetua kampung sejak dulu. Sehingga masyarakat setempat masih menyebutnya demikian hingga kini.
Sementara dari kejauhan, gunung Tambora terlihat jelas dengan segala keanggunannya. Sebuah gunung berapi yang pernah meletus di Abad-19 dan menghancurkan beberapa kerajaan di sekitarnya. Kini gunung Tambora sudah di nobatkan sebagai taman nasional. Sebuah gunung berapi yang hingga kini masih aktif, yang walau pun sudah tak lagi mengeluarkan laharnya seperti dulu. Sementara di sini  saya menatapnya dengan penuh kekaguman.
Karena lagi menunaikan ibadah puasa ramadhan, saya memendam penasaran untuk mencobanya. Saya juga penasaran bagaimana rasanya buah Sarume Maju yang serupa buah bidara ini. Memang tidak sama, tapi agak sedikit mirip. Jika buah bidara agak kecil dan tidak bening kulitnya. Sementara buah Sarume Maju sedikit besar dan terlihat bening. Setelah di rasa cukup, kami pun memutuskan untuk kembali sebelum malam menjemput.Â
Puncak gunung Tambora dari kejauhan masih terlihat jelas. Awan menari-menari di sekitarnya serupa bidadari melentingkan jari jemarinya. Selendangnya dihempas angin hingga menghadirkan keindahan yang tak cukup dibahasakan. Kami terus berlalu. Membawa pulang cerita sehari yang berkesan untuk hari esok yang lebih baik.
Kisah ini seolah ingin mengatakan kepada semesta, bahwa kami pernah berpijak di tanah ini. Mengambil buah Sarume Maju untuk kesembuhan seorang anak manusia. Adakah waktu kembali membawa kami di tempat ini? Entahlah, hanya pemilik semesta yang kelak bisa memberi jawaban.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI