Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Memetik Sarume Maju di Kaki Gunung Tambora

17 April 2022   10:01 Diperbarui: 17 April 2022   10:12 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan mengendarai mobil Hilux, kami melakukan perjalanan ke barat Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Dari selatan pulau Sumbawa kami memulai perjalanan ini. Setelah ba'da dhuhur kendaraan yang kami tumpangi mulai membelah jalan. Melewati tanjakan, jalan berkelok hingga perkampungan yang berantai. Di balik jendela mobil, saya menatap semesta dengan perasaan yang berkecamuk.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Pasalnya, di luar sana, gunung terlihat banyak yang gundul. Di tanami jagung yang sudah siap di panen. Jika pun ada pohon yang rindang, itu pun di gunung yang tinggi dan jauh dari pemukiman warga. Selebihnya, sudah tak tampak hijau dan pegunungan yang rindang dengan pohon-pohon yang sedap di pandang hanya cerita masa lalu. Sekarang yang terlihat hanya tanaman jagung dan beberapa pohon yang sengaja tidak di tebang sebagai tempat berteduh.

Miris memang, mestinya alam harus di jaga. Di lindungi untuk bisa dinikmati generasi di masa mendatang, kini sudah menjadi pelampiasan keserakahan segelintir manusia. Sehingga tidak menjadi rahasia umum lagi, bahwa di beberapa perkampungan di kabupaten dengan slogan Bumi Nggahi Rawi Pahu ini menjadi langganan banjir. Ada menyangkal bahwa banjir bukan karena hutan dan gunung yang gundul, tapi bukankah sebelumnya banjir tidak menjadi program tahunan alam di wilayah ini.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Saya hanya sejenak membayangkan, bagaimana keadaan alam ini ke depan. Jika tidak segera ada pihak yang memiliki  inisiatif untuk menanam kembali gunung yang gundul. Maka tidak tutup kemungkinan, krisis air bersih serta banjir tahunan menjadi momok yang mengkhawatirkan di banyak perkampungan. Bukankah hal ini merupakan kesalahan dari tangan-tangan manusia yang tidak bisa bersahabat dengan alam. Alam di eksploitasi hingga benar-benar telanjang di mata manusia.

Dalam diam, ternyata kami sudah sampai di Kota Dompu sebelum adzan sholat Ashar berkumandan di toa masjid. Hiruk pikuk masyarakat perkotaan sudah terlihat. Lapak-lapak di pinggir jalan menjajakan makanan dan minuman untuk para pengendara yang melintas. Keriuhan kendaraan, baik roda dua maupun roda empat sudah memenuhi jalanan kota Dompu. Namun kami hanya numpang melintas saja, kemudian berlalu bersama kecepatan kendaraan yang terus melaju dengan tenang.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Kurang lebih dua kilo setelah keluar dari ibu kota kabupaten, saya kembali disuguhkan dengan pemandangan yang sama. Gunung gundul, sisa panen jagung terlihat di beberapa titik pegunungan. Program jagung yang ditelurkan oleh pemerintah telah mendorong masyarakat melakukan penggundulan hutan. 

Hujan tiba-tiba mengiringi perjalanan kami. Di beberapa titik perkampung seketika air meluap di parit lalu meluber di jalan. Ini hujan turun hanya sekira beberapa jam saja, parit dan selokan sudah digenangi air hingga sudah masuk ke perkampungan. Tidak bisa dibayangkan kalau hujan datang seharian, bisa saja banjir menghantam perkampungan. Miris.

Setelah melewati deretan rumah warga yang memanjang  di sepanjang perjalanan, akhirnya kami sampai di Kecamatan Kempo. Salah satu kecamatan yang berada di barat kota Dompu. 

Di sini ada kawan yang akan kami ajak menuju wilayah Tambora. Ada janji yang di sepakati sebelumnya. Dan kami menentukan titik pertemuan agar mudah bertemu. Setelah di hubungi via telpon akhirnya beberapa menit kemudian kami bertemu kawan itu. Sejenak mobil kami tepikan di pinggir jalan. 

Tidak jauh dari jalan raya, ada laut yang terhampar. Airnya tenang. Tidak ada gemuruh ombak di sana. Bahkan tiang-tiang rumah panggung di tancapkan langsung di atas pasir. Serupa masyarakat Bajo yang memang terbiasa tinggal di laut.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Sejenak berbincang dengan kawan itu, kemudian kami bersama-sama melanjutkan perjalanan. Karena jalanannya sudah di aspal licin dan hampir tidak ada kubangan, sehingga mobil melaju hampir tak ada kendala. Hanya saja di beberapa titik, kelokkan tajam menantang adrenalin kami. Tapi bersyukur, driver kami adalah orang yang sudah berpengalaman di semua medan. Sehingga kami tidak menaruh kekhawatiran yang terlalu berlebihan.

Seorang kawan menceritakan perjalanan kali ini, bahwa tujuan kami adalah mencari salah satu jenis buah yang dalam bahasa lokal di sebut Sarume Maju. Kenapa dinamakan demikian, saya pun juga memendam tanya. Sementara dalam bahasa Indonesia adalah buah Ceremai atau dalam bahasa latinnya Phyllants Acidus. Namun masyarakat lokal setempat lebih mengenal dengan sebutan Sarume Maju. Penamaan seperti itu memang sudah ada dari tetua kampung sejak dulu. Sehingga masyarakat setempat masih menyebutnya demikian hingga kini.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Gunung Tambora dari Jauh
Dokpri. Gunung Tambora dari Jauh
Dulu, kawan itu melanjutkan, bahwa pohon Sarume Maju ini sangat mudah ditemui di pinggir jalan. Hanya saja  setelah pembukaan hutan untuk di tanami jagung oleh warga, akhirnya pohon ini sudah mulai jarang di temui. Dari dalam mobil, kami mencoba melihat keberadaan pohon yang katanya, buahnya sangat khasiat ini di balik semak belukar di pinggir jalan.

Sementara dari kejauhan, gunung Tambora terlihat jelas dengan segala keanggunannya. Sebuah gunung berapi yang pernah meletus di Abad-19 dan menghancurkan beberapa kerajaan di sekitarnya. Kini gunung Tambora sudah di nobatkan sebagai taman nasional. Sebuah gunung berapi yang hingga kini masih aktif, yang walau pun sudah tak lagi mengeluarkan laharnya seperti dulu. Sementara di sini  saya menatapnya dengan penuh kekaguman.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Tak lama kemudian dengan jarak tak begitu jauh dari jalan raya, seorang kawan melihat Pohon Sarume Maju. Kami pun sepakat melihatnya dari dekat. Mobil di tepikan. Kami turun lalu bergegas. Ketika mendekat, ternyata benar. Buah Sarume Maju menggantung di dahan dan rantingnya. Kami langsung memetiknya dan memasukannya ke dalam plastik yang sudah kami siapkan sebelumnya.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Buah Sarume Maju ini memiliki khasiat untuk penyakit dalam. Berupa penyakit jantung dan lainnya. Saya sendiri belum tahu benar tentang khasiatnya. Bahkan literatur ilmiahnya pun belum saya pernah baca. Tapi, masyarakat setempat bahkan orang-orang yang pernah mengkonsumsinya merasakan langsung efek positif dari buah Sarume Maju ini. Caranya mudah, kalau buahnya sudah di petik lalu langkah berikutnya di masak dan airnya nanti di minum secara berkala. Memang efeknya tidak seketika itu langsung sembuh. Di butuhkan waktu yang agak sedikit lama dan diminum terus menerus.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Tapi bagi sebagian masyarakat setempat, buah Sarume Maju bisa langsung dimakan seperti makan rujak. Di ambil  lalu diolesin dengan sambal. Bahkan bisa juga di makan langsung dari pohonnya. Pohon ini tumbuh liar dan tidak ada yang membudidayakannya. Sementara khasiatnya bagi kesehatan sangatlah penting. Ia bisa diambil oleh siapa pun dan kapan pun orang mau.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
"Rasanya kecut" ungkap seorang kawan yang mencoba memakannya.

Karena lagi menunaikan ibadah puasa ramadhan, saya memendam penasaran untuk mencobanya. Saya juga penasaran bagaimana rasanya buah Sarume Maju yang serupa buah bidara ini. Memang tidak sama, tapi agak sedikit mirip. Jika buah bidara agak kecil dan tidak bening kulitnya. Sementara buah Sarume Maju sedikit besar dan terlihat bening. Setelah di rasa cukup, kami pun memutuskan untuk kembali sebelum malam menjemput. 

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Di timur, awan tebal menghalangi sapuan mentari sore. Namun keindahan semesta di kaki gunung Tambora ini begitu memanjakan. Laut di teluk Saleh begitu tenang. Lalu lalang kerbau yang keluar dari semak-semak sesekali memotong jalan. Kehidupan di pedesaan yang menyatu dengan indahnya panorama semesta membuat saya tidak berhenti berdecak kagum.

Puncak gunung Tambora dari kejauhan masih terlihat jelas. Awan menari-menari di sekitarnya serupa bidadari melentingkan jari jemarinya. Selendangnya dihempas angin hingga menghadirkan keindahan yang tak cukup dibahasakan. Kami terus berlalu. Membawa pulang cerita sehari yang berkesan untuk hari esok yang lebih baik.

Kisah ini seolah ingin mengatakan kepada semesta, bahwa kami pernah berpijak di tanah ini. Mengambil buah Sarume Maju untuk kesembuhan seorang anak manusia. Adakah waktu kembali membawa kami di tempat ini? Entahlah, hanya pemilik semesta yang kelak bisa memberi jawaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun