"Rasanya kecut" ungkap seorang kawan yang mencoba memakannya.
Karena lagi menunaikan ibadah puasa ramadhan, saya memendam penasaran untuk mencobanya. Saya juga penasaran bagaimana rasanya buah Sarume Maju yang serupa buah bidara ini. Memang tidak sama, tapi agak sedikit mirip. Jika buah bidara agak kecil dan tidak bening kulitnya. Sementara buah Sarume Maju sedikit besar dan terlihat bening. Setelah di rasa cukup, kami pun memutuskan untuk kembali sebelum malam menjemput.Â
Di timur, awan tebal menghalangi sapuan mentari sore. Namun keindahan semesta di kaki gunung Tambora ini begitu memanjakan. Laut di teluk Saleh begitu tenang. Lalu lalang kerbau yang keluar dari semak-semak sesekali memotong jalan. Kehidupan di pedesaan yang menyatu dengan indahnya panorama semesta membuat saya tidak berhenti berdecak kagum.
Puncak gunung Tambora dari kejauhan masih terlihat jelas. Awan menari-menari di sekitarnya serupa bidadari melentingkan jari jemarinya. Selendangnya dihempas angin hingga menghadirkan keindahan yang tak cukup dibahasakan. Kami terus berlalu. Membawa pulang cerita sehari yang berkesan untuk hari esok yang lebih baik.
Kisah ini seolah ingin mengatakan kepada semesta, bahwa kami pernah berpijak di tanah ini. Mengambil buah Sarume Maju untuk kesembuhan seorang anak manusia. Adakah waktu kembali membawa kami di tempat ini? Entahlah, hanya pemilik semesta yang kelak bisa memberi jawaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H