Dengan jujur ia berkata, bahwa banyak lelaki hidung belang yang datang menghampirinya, seusai bercerai. Tapi di matanya, belum ada yang benar-benar serius untuk berijab kabul di depan penghulu. Ada yang datang tapi hanya ingin mencumbuinya, melepas hasrat, lalu pergi meninggalkan lembaran rupiah dan duka.Â
Kebanyakan lelaki bejat itu, datang dengan segudang janji demi meraih kenikmatan sesaat pada tubuhnya yang masih terawat mulus. Tapi semua itu dihempasnya dengan sejuta alasan, hanya untuk menghindari sahwat dunia yang sementara.
Yang sulit diterimanya ketika banyak pihak mengalamatkan kata Pelakor padanya. Awal mendengar kata itu, ia begitu risih dan membuat hari-harinya tidak nyaman.Â
Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai berdamai dengan kata itu. Baginya, di dunia ini tidak ada satu pun manusia ingin dilahirkan menjadi miskin, menjadi budak atau menjadi manusia dengan kulit hitam arang. Sama hal dirinya yang tidak pernah ingin menjadi janda. Semua orang ingin bahagia, dan hidup makmur di atas bumi tuhan ini bersama lelaki yang tulus mencintainya.
Setelah lama bercerita, malam mulai gelap, senja kembali keparaduan, lalu  tiba-tiba ia sandarkan kepalanya di pundak saya dan berkata lirih.
"Bisakah abang mengisi relung hati yang kosong ini, lalu bersama-sama mengarungi samudra kehidupan berdua, hanya berdua bang" Bujuknya
Mendengar itu, saya hanya terdiam sembari menikmati harum semerbak tubuhnya yang dibaluti pakaian yang dibiarkannya melorot. Ia memeluk hangat. Kami mulai menyelam dalam kenikmatan yang tak terhindarkan. Jari jemari bergerak pelan tapi pasti, merambah  seluruh titik sensitifitasnya. Tarikan nafasnya membuncah hasrat kimiawi kelelakian ini.
Bisakah tidak melanjutkan kisah ini, karena di sini saya sedang mengangkasa bersamanya di langit-langit duniawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H